Di Balik Perang Dagang AS-Tiongkok
AMERIKA Serikat (AS) beserta sejumlah negara Barat adalah kampiun ideologi ekonomi kapitalis dan liberal. Mereka penyokong perdagangan bebas (free trade), yang dipercaya memunculkan kemakmuran. Juga, AS sejak dulu –siapa pun presidennya– selalu mengampanyekan sistem perdagangan bebas dunia dan sangat kritis apabila ada negara di dunia ini yang menutup perdagangan bebas dengan proteksionisme negaranya dari negara lain.
Sekarang AS di bawah pemerintahan Donald Trump seolah menelan ludah sendiri karena melakukan praktik proteksionisme dengan alasan melindungi ekonomi dalam negeri dari praktik dagang tidak fair dari luar negeri. Para pendukung Trump setuju dengan kebijakan tersebut karena diyakini bisa melindungi perekonomian negaranya. Sebaliknya, para penentang menuduh Trump mengisolasi AS dari dunia, terutama sekutu-sekutunya.
Dalam perdagangan internasional, ada tiga kebijakan utama proteksionisme. Pertama, pengenaan tarif dengan persentase tertentu atas barang-barang negara lain yang masuk ke negara. Kedua, pengenaan kuota atau pembatasan kuantitas barang asing yang masuk negara. Ketiga, pemberian subsidi terhadap produk-produk dalam negeri agar harganya lebih murah daripada produk negara lain.
Apabila ada negara yang memberikan subsidi kepada produk-produknya secara tidak fair (terlalu besar), negara itu dituduh melakukan praktik yang tidak fair. Ada juga kebijakan nontarif –misalnya suatu negara tidak melakukan perdagangan dengan negara lain– yang melanggar HAM. Secara umum, tujuan utama kebijakan proteksionisme adalah mengurangi ketergantungan dari negara lain.
Sejak awal, kampanye Trump memiliki slogan yang nasionalistis, yaitu Makes America Great Again dan America First. Slogan tersebut berkontribusi dalam kemenangannya menjadi presiden AS. Juga, kebijakan Trump menerapkan tarif atas barangbarang impor merupakan terjemahan dari slogan tersebut. Bentuk proteksionisme AS yang mengejutkan dunia baru-baru ini adalah penerapan tarif 25 persen atas impor baja dan 10 persen atas impor aluminium, tidak tanggung-tanggung kepada negaranegara sekutunya sendiri. Yaitu, Kanada, Meksiko, dan masyarakat Eropa serta ”musuh” Tiongkok. Semua negara itu secara tegas melakukan perlawanan balik (retaliation) dengan mengeluarkan kebijakan serupa atas barang-barang dari AS.
Yang terbaru adalah kebijakan Trump terhadap Tiongkok dengan menerapkan tarif 25 persen atau senilai USD 50 miliar atas beberapa produk impor dari Tiongkok. Antara lain, obat-obatan, produk kimia, elektronik, produk permesinan, kendaraan, dan peralatan kedokteran. Kebijakan lainnya membatasi investasi Tiongkok di AS atau akuisisi perusahaan-perusahaan AS yang sensitif seperti perusahaan IT atau teknologi canggih.
Kebijakan tersebut dikeluarkan Trump setelah pemerintah AS menyelidiki praktik perdagangan dan kebijakan industri Tiongkok yang dianggap tidak fair serta merugikan AS. Terutama kebijakan Tiongkok soal pemberian izin perusahaan teknologi AS yang beroperasi di Tiongkok. Penyelidikan tersebut dilakukan berdasar pasal 301 UU Perdagangan AS Tahun 1974.
Memang sejak dibentuknya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 1995 –di mana AS ikut berperan membidani pembentukannya–, AS berusaha mengajukan keberatan atas praktik perdagangan yang tidak fair dari negara lain lewat WTO. Sebab, salah satu fungsi WTO adalah menyelesaikan perselisihan perdagangan antarnegara. Namun, Trump secara sepihak melawan Tiongkok dengan menerapkan tarif dan membatasi investasi Tiongkok tanpa lewat WTO dengan pasal 301 UU Perdagangan AS. Tentu Tiongkok melawan kebijakan AS tersebut karena dianggap menyalahi aturan WTO dan akan melakukan tindakan balasan terhadap AS.
Pasal 301 UU Perdagangan AS memberikan otoritas kepada presiden untuk menerapkan semua tindakan yang dianggap layak, termasuk melakukan kebijakan balasan, hingga mendapatkan kepastian dihilangkannya kebijakan perdagangan negara lain yang tidak fair terhadap AS.
Tentu saja Tiongkok marah dengan kebijakan sepihak tersebut. Media Tiongkok menuduh Gedung Putih mengobarkan perang dagang serta menyebut pemerintahan Trump egois, kasar, dan membosankan. Bahkan, koran Xinhua menyindir AS dengan kritik pedas: Orang Bijak Membangun Jembatan, sedangkan Orang Bodoh Membangun Dinding Pembatas. Dalam Perekonomian Globalisasi, Tidak Ada Pulau yang Terilosasi. Juga, Tiongkok akan melakukan balasan yang setimpal, antara lain bakal menerapkan tarif terhadap lebih dari 500 produk AS.
Indonesia harus menyadari bahwa kondisi perekonomian dunia ke depan penuh dengan ketidakpastian. Penyebabnya, kebijakan proteksi negara-negara lain dan tindakan balasan dari pihak lain. Karena itu, semua perencanaan perlu dievaluasi dengan baik. Asumsi-asumsi yang melandasi perencanaan ekonomi juga harus dievaluasi.
Indonesia memang akan melakukan kebijakan yang agresif utuk memanfaatkan peluang akibat perseteruan AS dan Tiongkok. Namun, perlu diperhatikan dan disadari bahwa Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang memanfaatkan peluang itu. Negara lain juga bakal melakukan hal serupa. Selain itu, perlu diingat, negara yang efisien, tidak korup, dan memiliki birokrasi yang tidak jelimet atau complicated-lah yang akan berhasil memanfaatkan peluang.