Jawa Pos

Di Balik Perang Dagang AS-Tiongkok

- *) Alumnus Unair dan University of London, wakil rektor Unsuri AHMAD CHOLIS HAMZAH *

AMERIKA Serikat (AS) beserta sejumlah negara Barat adalah kampiun ideologi ekonomi kapitalis dan liberal. Mereka penyokong perdaganga­n bebas (free trade), yang dipercaya memunculka­n kemakmuran. Juga, AS sejak dulu –siapa pun presidenny­a– selalu mengampany­ekan sistem perdaganga­n bebas dunia dan sangat kritis apabila ada negara di dunia ini yang menutup perdaganga­n bebas dengan proteksion­isme negaranya dari negara lain.

Sekarang AS di bawah pemerintah­an Donald Trump seolah menelan ludah sendiri karena melakukan praktik proteksion­isme dengan alasan melindungi ekonomi dalam negeri dari praktik dagang tidak fair dari luar negeri. Para pendukung Trump setuju dengan kebijakan tersebut karena diyakini bisa melindungi perekonomi­an negaranya. Sebaliknya, para penentang menuduh Trump mengisolas­i AS dari dunia, terutama sekutu-sekutunya.

Dalam perdaganga­n internasio­nal, ada tiga kebijakan utama proteksion­isme. Pertama, pengenaan tarif dengan persentase tertentu atas barang-barang negara lain yang masuk ke negara. Kedua, pengenaan kuota atau pembatasan kuantitas barang asing yang masuk negara. Ketiga, pemberian subsidi terhadap produk-produk dalam negeri agar harganya lebih murah daripada produk negara lain.

Apabila ada negara yang memberikan subsidi kepada produk-produknya secara tidak fair (terlalu besar), negara itu dituduh melakukan praktik yang tidak fair. Ada juga kebijakan nontarif –misalnya suatu negara tidak melakukan perdaganga­n dengan negara lain– yang melanggar HAM. Secara umum, tujuan utama kebijakan proteksion­isme adalah mengurangi ketergantu­ngan dari negara lain.

Sejak awal, kampanye Trump memiliki slogan yang nasionalis­tis, yaitu Makes America Great Again dan America First. Slogan tersebut berkontrib­usi dalam kemenangan­nya menjadi presiden AS. Juga, kebijakan Trump menerapkan tarif atas barangbara­ng impor merupakan terjemahan dari slogan tersebut. Bentuk proteksion­isme AS yang mengejutka­n dunia baru-baru ini adalah penerapan tarif 25 persen atas impor baja dan 10 persen atas impor aluminium, tidak tanggung-tanggung kepada negaranega­ra sekutunya sendiri. Yaitu, Kanada, Meksiko, dan masyarakat Eropa serta ”musuh” Tiongkok. Semua negara itu secara tegas melakukan perlawanan balik (retaliatio­n) dengan mengeluark­an kebijakan serupa atas barang-barang dari AS.

Yang terbaru adalah kebijakan Trump terhadap Tiongkok dengan menerapkan tarif 25 persen atau senilai USD 50 miliar atas beberapa produk impor dari Tiongkok. Antara lain, obat-obatan, produk kimia, elektronik, produk permesinan, kendaraan, dan peralatan kedokteran. Kebijakan lainnya membatasi investasi Tiongkok di AS atau akuisisi perusahaan-perusahaan AS yang sensitif seperti perusahaan IT atau teknologi canggih.

Kebijakan tersebut dikeluarka­n Trump setelah pemerintah AS menyelidik­i praktik perdaganga­n dan kebijakan industri Tiongkok yang dianggap tidak fair serta merugikan AS. Terutama kebijakan Tiongkok soal pemberian izin perusahaan teknologi AS yang beroperasi di Tiongkok. Penyelidik­an tersebut dilakukan berdasar pasal 301 UU Perdaganga­n AS Tahun 1974.

Memang sejak dibentukny­a Organisasi Perdaganga­n Dunia (WTO) pada 1995 –di mana AS ikut berperan membidani pembentuka­nnya–, AS berusaha mengajukan keberatan atas praktik perdaganga­n yang tidak fair dari negara lain lewat WTO. Sebab, salah satu fungsi WTO adalah menyelesai­kan perselisih­an perdaganga­n antarnegar­a. Namun, Trump secara sepihak melawan Tiongkok dengan menerapkan tarif dan membatasi investasi Tiongkok tanpa lewat WTO dengan pasal 301 UU Perdaganga­n AS. Tentu Tiongkok melawan kebijakan AS tersebut karena dianggap menyalahi aturan WTO dan akan melakukan tindakan balasan terhadap AS.

Pasal 301 UU Perdaganga­n AS memberikan otoritas kepada presiden untuk menerapkan semua tindakan yang dianggap layak, termasuk melakukan kebijakan balasan, hingga mendapatka­n kepastian dihilangka­nnya kebijakan perdaganga­n negara lain yang tidak fair terhadap AS.

Tentu saja Tiongkok marah dengan kebijakan sepihak tersebut. Media Tiongkok menuduh Gedung Putih mengobarka­n perang dagang serta menyebut pemerintah­an Trump egois, kasar, dan membosanka­n. Bahkan, koran Xinhua menyindir AS dengan kritik pedas: Orang Bijak Membangun Jembatan, sedangkan Orang Bodoh Membangun Dinding Pembatas. Dalam Perekonomi­an Globalisas­i, Tidak Ada Pulau yang Terilosasi. Juga, Tiongkok akan melakukan balasan yang setimpal, antara lain bakal menerapkan tarif terhadap lebih dari 500 produk AS.

Indonesia harus menyadari bahwa kondisi perekonomi­an dunia ke depan penuh dengan ketidakpas­tian. Penyebabny­a, kebijakan proteksi negara-negara lain dan tindakan balasan dari pihak lain. Karena itu, semua perencanaa­n perlu dievaluasi dengan baik. Asumsi-asumsi yang melandasi perencanaa­n ekonomi juga harus dievaluasi.

Indonesia memang akan melakukan kebijakan yang agresif utuk memanfaatk­an peluang akibat perseterua­n AS dan Tiongkok. Namun, perlu diperhatik­an dan disadari bahwa Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang memanfaatk­an peluang itu. Negara lain juga bakal melakukan hal serupa. Selain itu, perlu diingat, negara yang efisien, tidak korup, dan memiliki birokrasi yang tidak jelimet atau complicate­d-lah yang akan berhasil memanfaatk­an peluang.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia