Era Zonasi Kurang Cocok Pakai Nilai Unas
INDRA CHARISMIADJI Proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ini berbasis zonasi secara nasional. Namun, pada praktiknya, basis zonasi tidak diberlakukan secara tepat. Berikut wawancara wartawan Jawa Pos M. Hilmi Setiawan dengan pengamat sekaligus
Pemberlakuan PPDB berbasis zonasi tahun ini dijalankan secara nasional. Bagaimana pendapatnya?
Tujuan PPDB berbasis zonasi sangat baik. Tidak ada lagi sekolah negeri favorit dan nonfavorit. Saat ini kualitas sekolah negeri juga relatif setara meski tidak sama persis 100 persen.
Apakah ada dampak langsung yang dirasakan masyarakat dengan sistem zonasi?
Sistem zonasi bisa memberikan akses kepada siswa ekonomi menengah ke bawah. Pada sistem sebelumnya yang murni dari nilai ujian nasional (unas), nilai tertinggi umumnya dari anak-anak keluarga mampu. Saya juga berharap seleksi masuk PTN tidak lagi melihat sekolah, tetapi pribadi siswa. Jadi, bisa ikut andil menghapus keberadaan sekolah favorit dan tidak favorit. Saya prihatin dengan adanya kasus anak bunuh diri karena khawatir tidak bisa diterima di sekolah negeri favorit.
Di sejumlah daerah, termasuk di DKI Jakarta, PPDB berbasis zonasi. Tetapi, pemeringkatannya menggunakan nilai unas. Bagaimana komentarnya?
Menurut saya, tetap menggunakan nilai unas pada PPDB berbasis zonasi sudah tidak cocok lagi. Tidak sesuai dengan semangat zonasi yang dirancang Kemendikbud. Kalaupun ada beberapa anak yang dari satu kecamatan, bisa menggunakan acuan kelurahan terdekat dengan sekolah. Siapa yang tinggal paling dekat ada di urutan paling atas untuk diterima. Tidak pakai nilai unas lagi.
Anda sempat menyebut PPDB di Lampung berbayar hingga puluhan juta rupiah. Kenapa masih terjadi dan apakah itu jual beli kursi?
Ketika sudah tidak ada sekolah favorit dan tidak favorit, tidak perlu lagi ada jual beli kursi siswa baru. Dia menyebut ada PPDB di sekolah negeri yang masih berbayar. Bisa jadi, alokasi anggaran pendidikan di APBD-nya masih rendah. Di Provinsi Lampung, contohnya, dana pendidikan di APBD murni hanya 8 persen. Padahal seharusnya 20 persen sesuai amanah undang-undang. Seharusnya, dana pendidikan di APBD murni, sebelum digerojok dari pusat, harus 20 persen.