Jawa Pos

Pantang Menyerah, Bermodal Besar, dan Punya Jaringan

-

ORANGORANG yang lolos ke Senayan sebagai anggota DPR memiliki kisah tersendiri. Kemampuan untuk meraih kepercayaa­n rakyat menjadi modal penting

J

Di sisi lain, para anggota dewan juga menghadapi fakta naiknya biaya kampanye dari setiap periode.

Firman Soebagyo adalah salah satu sosok yang mencicipi posisi anggota dewan di zaman Orde Baru dan era reformasi. Anggota Fraksi Partai Golkar itu menyebutka­n, ada perbedaan mendasar saat berproses menjadi anggota dewan di dua rezim tersebut. ”Saya dulu masuk (parlemen, Red) pada 1997, ditentukan sistem nomor urut. Faktor yang menjadi perhatian DPP Partai Golkar waktu itu adalah hierarki keturunan, sangat ketat,” katanya kemarin. Firman menjadi anggota dewan periode 1997–1999, 2009–2014, dan 2014–2019.

Menurut dia, di era Orba, untuk bisa masuk parlemen, seseorang harus mendapat nomor cantik di pencalonan internal partai. Posisi kader dalam organisasi pendiri Partai Golkar seperti MKGR, SOKSI, maupun Kosgoro 1957 sangat strategis. Saat itu jalur A (TNI) ditentukan oleh panglima TNI, jalur B (sipil) ditentukan Mendagri, dan jalur G (Golkar) ditentukan oleh ketua umum. ”Tapi, tiga jalur itu bisa diveto Pak Harto (Soeharto, Red). Kalau Pak Harto coret, tidak bisa lanjut,” kata anggota Komisi II DPR dari dapil Jawa Tengah III (Grobogan, Blora, Rembang, dan Pati) itu.

Hal yang berbeda terjadi di era reformasi. Firman menyebutka­n, pemilihan langsung membuat jalur ormas pendiri Golkar tidak laku. Baru pada Pemilu 2009, Firman kembali terpilih untuk duduk di Senayan. Ditempatka­n di dapil kota kelahiran, Pati, membuat Firman memiliki banyak keuntungan. Terhitung sebelum Pemilu 2009, Firman sudah aktif bertemu masyarakat dengan pendekatan geografis.

Saat terpilih untuk periode 2009–2014, Firman mengaku sadar diri. Kebiasaan terjun ke masyarakat terus dia lakukan hampir tiap pekan. Firman juga aktif berkomunik­asi dengan masyarakat. Tak lupa, dia memberikan bantuan alat-alat tani kepada konstituen. ”Terakhir ini, saya sudah kirim ekskavator. Ada juga traktor sama sapi. Semangat mereka tani lagi. Ini foto-fotonya lengkap,” kata Firman.

Pada periode 2014–2019, Firman mengakui bahwa kompetisi semakin ketat. Dia menyebutka­n, politik uang marak pada kampanye Pemilu 2014. Namun, saat itu dia sudah memiliki modal elektoral di mata masyarakat. Saat terpilih pada 2009, perolehan suara Firman mencapai hampir 50 ribu. Lalu, pada 2014, perolehan suaranya melonjak di kisaran 90 ribu.

Jika bicara soal biaya, Firman mengakui bahwa biaya kampanye terus membengkak. Pada periode sebelumnya, rata-rata dengan modal Rp 1 miliar, seorang bakal caleg bisa maju untuk level DPR. Namun, pada Pemilu 2014, biaya kampanye terbilang tinggi, terutama untuk pengadaan alat peraga kampanye (APK).

”Baliho, spanduk, itu cukup mahal. Satu baliho melintang jalan itu, ada yang sewanya Rp 50 juta, itu per bulan,” tutur dia, memberikan gambaran.

Jalan Ketua DPR Bambang Soesatyo untuk bisa masuk ke Senayan juga tidak mudah. Terhitung, Bamsoet –sapaannya– empat kali gagal terpilih. ”Namun, itu jadi pemicu semangat saya untuk maju lagi,” ucap Bamsoet.

Kali pertama maju sebagai caleg di era Orba pada Pemilu 1992, Bamsoet hanya duduk di nomor urut 18. Dengan sistem nomor urut, bisa ditebak Bamsoet hanya bisa gigit jari. Pada Pemilu 1997, Bamsoet dapat nomor urut 8, nasib serupa dialami. ”Maju ketiga kalinya (Pemilu 1999, Red), dapat nomor urut 4, juga masih gagal,” kenang pria kelahiran Jakarta, 10 September 1962, tersebut.

Pada Pemilu 2004, Bamsoet mendapat kesempatan emas. Sebab, dia mendapat nomor urut 2 di dapil Jateng VII (Purbalingg­a, Banjarnega­ra, dan Kebumen). Namun, dewi fortuna tidak berpihak kepadanya.

”Saya sempat kecewa. Uang simpanan dari bisnis juga habis terkuras,” kata Bamsoet tanpa memerinci jumlah yang dihabiskan.

Bamsoet kembali mencoba peruntunga­n sebagai caleg pada Pemilu 2009. ”Karena pemilihan dengan suara terbanyak, saya masih harus bekerja keras. Alhamdulil­lah, dapat suara terbanyak,” terang Bamsoet. Pada Pemilu 2014, dia terpilih untuk kali kedua.

Di pihak lain, Nizar Zahro juga melalui perjuangan yang cukup panjang untuk menjadi anggota DPR. Awalnya, dia hanya seorang kepala desa. Dia menjabat kepala Desa Pesanggrah­an, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, mulai 2001 hingga 2008. Saat itu dia juga dipercaya sebagai sekretaris asosiasi kepala desa seluruh Bangkalan.

Dengan posisi itu, dia pun kenal banyak kepala desa. Mereka juga berjuang bersama-sama menyuaraka­n aspirasi masyarakat desa. Dia dan pejabat desa lainnya aktif mendorong otonomi desa. Banyak aspirasi mereka yang diakomodas­i oleh pemerintah kabupaten, provinsi, hingga pusat.

Pada 2009, dia ingin berkiprah lebih luas. Karena itu, dia bergabung dengan Partai Bintang Reformasi (PBR). Dia mendaftar sebagai calon anggota legislatif DPRD Provinsi Jawa Timur melalui PBR. Nizar menggunaka­n jaringan kepala desa yang sudah lama dia kenal. Dia sudah punya hubungan yang sangat erat dengan para perangkat desa.

Pada 2014, dia memutuskan untuk mencalonka­n diri sebagai caleg DPR dari Partai Gerindra. Dia pindah ke Gerindra karena PBR tidak lolos sebagi partai peserta Pemilu 2014.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia