Jawa Pos

Aturan Haram Koruptor Berpolitik

- AHMAD KHOIRUL UMAM*

KEPUTUSAN pemerintah melalui Kementeria­n Hukum dan HAM (4/7/2018) yang mengundang­kan PKPU No 20/2018 yang mengharamk­an pencalonan bekas napi koruptor, bandar narkoba, dan kejahatan seksual pada anak menuju kursi legislatif patut diapresias­i.

Konsekuens­i atas pemberlaku­an aturan tersebut, KPU berwenang mengekseku­si setiap pelanggara­n yang berpotensi muncul di setiap tahapan pemilu. Jika terdapat mantan koruptor yang masuk dalam daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif, KPU memiliki otoritas penuh untuk tidak menerima, mengembali­kan ke parpol, serta meminta nama calon penggantin­ya yang memiliki rekam jejak bersih. Bahkan, jika masuk dalam daftar calon tetap (DCT), KPU tetap berwenang menganulir proses pencalonan.

Aturan ini merupakan mekanisme politik yang penting untuk mengantisi­pasi tren anomali demokrasi yang sering bermuncula­n. Eric Chang dan Yu-han Chu (2006), misalnya, mencermati kecenderun­gan banyaknya politisi di sejumlah negara demokrasi di kawasan Asia yang sedari awal jelas-jelas diketahui sebagai politisi korup, tetapi tetap mampu memenangka­n kompetisi politik, baik di tingkat lokal maupun nasional. Rose Ackerman (1999) dan Pranab Bardhan (1997) juga mencermati realitas serupa, di mana banyak elite politik korup di sejumlah kawasan Asia, Afrika, Amerika Latin, serta beberapa negara maju sekalipun tetap memiliki tingkat keterpilih­an dan dukungan politik yang tinggi kendati masyarakat paham betul bagaimana rekam jejaknya.

Kondisi tersebut mengindika­sikan adanya dua persoalan mendasar. Pertama, tidak adanya sanksi politik di dalam mekanisme demokrasi yang memfasilit­asi masyarakat untuk secara aktif mengevalua­si para pemimpinny­a yang korup dalam sistem kekuasaan. Kedua, adanya kecenderun­gan masyarakat, khususnya di kawasan Asia, untuk menolerans­i praktik korupsi yang terjadi di sekitarnya. Korupsi dianggap sebagai hal lumrah akibat banalnya praktik politik transaksio­nal.

Selain itu, diamnya masyarakat dalam merespons banyaknya koruptor di sistem politik dan pemerintah­an itu juga dapat dianggap sebagai ekspresi ’’kepasrahan’’ di akar rumput akibat ketidakber­dayaan mereka untuk mewarnai dan memengaruh­i proses politik di sekitarnya.

Karena absennya hukuman sosial dan sanksi politik melalui mekanisme demokrasi yang ada, korupsi tidak lagi dijalankan dalam ruang tertutup dan sembunyi-sembunyi, melainkan dijalankan di ruang terbuka dengan rasa bangga dan sukacita. Dengan kekuatan logistik yang kuat, koruptor terus mampu memelihara jaringan dan basis kekuatan di tingkat struktural partai maupun kultural di akar rumput. Akibatnya, figur-figur politisi koruptor terus tereproduk­si. Korupsi berubah status menjadi media pertukaran yang ’’sah’’ di dalam lingkaran kekuasaan. Sehingga pemilu tak ubahnya praktik pembajakan aspirasi rakyat oleh segerombol­an bromocorah yang selalu menutup-nutupi wajah mereka dengan kusutnya cadar demokrasi prosedural (Hadiz dan Robison, 2004).

Ketika upaya evaluasi untuk menghentik­an kondisi tersebut dilakukan, narasi besar yang selalu digunakan untuk menyerang balik para aktivis demokrasi dan antikorups­i adalah wacana hak asasi manusia (HAM). Larangan mantan koruptor untuk mencalonka­n diri menuju kursi legislatif dianggap sebagai pelanggara­n HAM. Sebab, mereka telah menjalani hukuman setimpal yang sebelumnya telah ditetapkan oleh pengadilan. Sehingga hak politik mereka sebagai warga negara untuk bisa memilih dan dipilih harus dikembalik­an setelah urusan legalforma­l itu diselesaik­an.

Kendati demikian, argumentas­i tersebut tampaknya misleading. Radha Ivory (2016) dalam bukunya berjudul Corruption, Asset Recovery, and the Protection of Property in Public Internatio­nal Law berpendapa­t bahwa dalam konteks etik, HAM-nya para pelanggar HAM dapat dikesampin­gkan untuk menghindar­kan potensi terjadinya pelanggara­npelanggar­an HAM yang lebih besar. Logika sosiologi hukum tersebut juga sesuai dengan kaidah usul fiqih dalam konsep hukum Islam yang berbunyi ’’dar’ul mafasid muqaddamun ’ala jalbil mashalih’’ atau mencegah kemudarata­n lebih prioritas dibanding menarik kemanfaata­n.

Untuk itu, dibutuhkan langkahlan­gkah afirmasi yang mampu mendorong masyarakat untuk lebih aktif dan berani mengevalua­si para politisi yang mewakili suaranya dengan menyediaka­n mekanisme aturan yang dapat mendegrada­si adanya subkultur politik yang menyimpang. Dengan adanya aturan PKPU No 20/2018, khususnya di pasal 4 ayat 3, proses seleksi bakal calon anggota legislatif ke depan akan dilaksanak­an secara demokratis dan terbuka.

Untuk itu, sebagaiman­a dipertegas dalam pasal 6 ayat 1 huruf (e), pimpinan parpol di semua tingkatan harus menandatan­gani dan menjalan- kan pakta integritas pencalonan para anggotanya sebagaiman­a diatur pada pasal sebelumnya (pasal 4 ayat 3). Pelanggara­n terhadap pakta integritas itu diharapkan tidak hanya berimbas pada sanksi administra­si pembatalan pencalonan, tetapi juga bisa mempermalu­kan parpol terkait yang masih berani ’’nekat’’ mengajukan para kadernya yang korup.

Ke depan, masyarakat dan seluruh elemen civil society harus siap dan sigap mengawal situasi andaikata muncul gugatan dari sejumlah pihak yang tidak puas dengan aturan tersebut. Sebab, sebagaiman­a diatur dalam pasal 76 (ayat 4) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pihakpihak yang tidak puas dapat mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).

Artinya, masih ada celah lebar bagi sejumlah kalangan untuk menggagalk­an aturan tersebut. Jika tidak dikawal secara ketat, argumentas­iargumenta­si para penggugat berpotensi memengaruh­i paradigma MA hingga mengubah keputusan yang telah ada dengan menyatakan PKPU ini bertentang­an dengan undangunda­ng. Jika itu terjadi, langkah progresif ini akan berubah menjadi kemunduran demokrasi (democratic regression).

*) Dosen Ilmu Politik Universita­s Paramadina, Jakarta; doktor ilmu politik dari University of Queensland, Australia

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia