Butuh Fokus Kembangkan Baterai
Mengejar Target Pengembangan Mobil Listrik di Indonesia
Masa depan era kendaraan listrik di Indonesia memang belum menemui titik terang. Namun, pelaku otomotif cukup konsisten mengembangkan kendaraan ramah lingkungan tersebut. Produsen otomotif berharap pemerintah mendukung investasi riset dan pengembangan (R&D) serta memantapkan regulasi.
PENDALAMAN R&D amat penting karena Indonesia belum memiliki persiapan apa pun tentang komponen dasar EV (kendaraan listrik), yakni baterai. Selama ini produk ramah lingkungan yang mampir ke Indonesia, sebut saja Toyota Camry Hybrid, Honda CR-Z, BMW i8, dan lain sebagainya, didatangkan secara CBU (completely builtup). Padahal, punya modal pengembangan baterai di dalam negeri dianggap penting. Bukan hanya untuk mengurangi beban impor kendaraan secara utuh, tetapi juga berkaitan dengan mewujudkan mimpi bisa memproduksi mobil listrik sendiri. Juga, menyiapkan segala aftersales dan pengolahan limbahnya.
Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi menyatakan, pemerintah harus berfokus pada pengembangan baterai sebagai komponen penting dalam kendaraan listrik. ’’Yang paling utama harus kita kuasai sebenarnya industri baterainya. Kalau itu sudah dikuasai, harga bisa lebih murah,’’ ujar Nangoi.
Dia menuturkan, jika mobil listrik diproduksi dengan mengimpor baterai, Indonesia hanya akan menjadi perakit. Padahal, porsi baterai pada kendaraan listrik mencapai 30–40 persen. Bila baterai bisa diproduksi di dalam negeri, penggunaan komponen lokal pun lebih maksimal.
Karena itu, pelaku industri otomotif mulai tahun ini gencar bekerja sama dengan pemerintah terkait studi teknologi EV. Menyusul Mitsubishi yang menghibahkan 10 kendaraan listrik kepada Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Toyota juga menyerahkan 12 kendaraan listrik kepada kementerian dan universitas untuk keperluan studi. Pembelajaran tersebut bertujuan mengenal lebih dekat teknologi EV, kemudian dipelajari visibilitas komponen mana saja yang produksinya bisa disiapkan di Indonesia.
Toyota, misalnya. Kendaraan yang dihibahkan untuk riset adalah jenis hybrid dan plug-in hybrid yang bakal dibandingkan dengan kendaraan konvensional atau internal combustion engine (ICE). ’’Setiap unit kendaraan itu akan dilengkapi data logger untuk pengambilan data konsumsi bahan bakar, kondisi
charging, kebutuhan data infra
charging, user experience, convenience, dan lain-lain,’’ jelas Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono.
Di samping mempelajari visibilitas produksi baterai, fondasi yang disebut perlu didorong adalah regulasi. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menuturkan bahwa pihaknya masih menunggu kebijakan fiskal dari Kementerian Keuangan. Menyinggung soal baterai, Airlangga mengklaim bahwa Indonesia mempunyai sumber daya baterai yang dapat dimanfaatkan. Yaitu, hasil bumi nikel dan kobalt yang terdapat di Morowali, Sulawesi Tengah. ’’Harapannya, itu bisa dimanfaatkan untuk menjadi bahan bakunya,’’ ujar Airlangga.
Seperti diketahui sebelumnya, pemerintah menargetkan Indonesia mampu memproduksi 20 persen kendaraan emisi karbon rendah (low carbon emission vehicle/LCEV) pada 2025.
Executive General Manager PT Toyota-Astra Motor (TAM) Fransiscus Soerjopranoto mengungkapkan, insentif perpajakan dapat mengubah harga jual kendaraan. Saat ini, menurut Soerjo, pemerintah masih menerapkan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) yang sama antara kendaraan nonemisi dan emisi. ’’Misalnya, jika PPnBM tidak ada, harga Prius itu berkurang. Saat ini harga Prius sekitar Rp 700 juta, kalau PPnBM hilang, bisa berkurang Rp 100 juta,’’ terangnya.
Soerjo menegaskan, komponen harga juga terkait dengan investasi. Jika ada insentif tax allowance dan tax holiday, prinsipal bisa tertarik berinvestasi, terutama kalai ingin menyasar pasar ekspor. Insentif pajak untuk riset dan pengembangan, menurut dia, juga dapat menarik investor.
Sementara itu, komponen harga bagi konsumen terdiri atas PPnBM (pajak penjualan barang mewah) 0–125 persen, kendaraan hybrid 20–40 persen, serta bea masuk impor dan PPh 2,5–7,5 persen.