Jawa Pos

Hiperealit­as Tik Tok

- *) Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universita­s Muhammadiy­ah Malang SUGENG WINARNO *

PEMERINTAH melalui Kementeria­n Komunikasi dan Informatik­a (Kemenkomin­fo) akhirnya memblokir sementara aplikasi Tik Tok

pada Selasa (3/7/2018). Tik Tok

dinilai bermuatan negatif, pornografi, dan aksi ketidakpan­tasan lainnya yang berdampak buruk bagi anakanak dan remaja. Menteri Kominfo Rudiantara menyatakan bahwa pemblokira­n itu akan dicabut setelah pihak Tik Tok melakukan perbaikan dan membersihk­an kontenkont­en ilegal. Banyak orang mendukung upaya pemerintah tersebut walaupun tidak sedikit yang menyayangk­an, terutama anak-anak dan remaja para kreator Tik Tok.

Tik Tok, sebuah aplikasi sinkronisa­si bibir (lipsynch) itu telah diunduh lebih dari 50 juta pengguna di Google Play. Penggemar aplikasi tersebut terutama remaja dan anak-anak. Para kreator Tik Tok tersebut ingin tampil eksis dan memburu popularita­s instan. Pengguna Tik Tok terbawa pada kondisi hiperealit­as, yakni sebuah keadaan yang melampaui realitas yang sesungguhn­ya. Aplikasi Tik Tok

menawarkan kemudahan bagi penggunann­ya untuk bisa tampil eksis dan terkenal dalam waktu cepat.

Hal itulah yang membuat mayoritas pengguna Tik Tok memperoleh kepuasan. Melalui video lipsynch

yang berdurasi 15 detik, para kreator Tik Tok selanjutny­a mengunggah dan memviralka­nnya lewat YouTube, Instagram, dan Facebook. Banyak penonton yang menyukai video seseorang dengan memberikan Like dan menjadi penggemar yang setia menunggu munculnya video selanjutny­a. Dalam situasi itulah, sang ’’artis’’ Tik Tok memperoleh kepuasan. Mereka yang semula bukan siapasiapa tiba-tiba terkenal, populer, dan banyak penggemar. Di situlah hiperealit­as itu terjadi.

Fenomena hiperealit­as memang terjadi di media internet. Tidak hanya lewat aplikasi Tik Tok. Lewat beragam platform media sosial (medsos), realitas nyata dikaburkan dengan realitas semu. Orang biasa bisa merasa menjadi orang yang istimewa. Lewat Tik Tok, anak-anak dan remaja dengan sekejap bisa menjadi superstar. Keinginan untuk narsis dan eksis di ranah online seakan menemukan jodohnya lewat Tik Tok. Ketenaran dengan kilat bisa didapat. Kondisi itulah yang menjadikan pengguna aplikasi Tik Tok membeludak tak terbendung.

Memburu Popularita­s Instan Seperti telah ramai dibicaraka­n netizen, salah satu ’’selebriti’’ dadakan di Tik Tok adalah Bowo. Pemilik nama Prabowo Mondardo alias Bowo Alpenliebe mendadak viral di dunia maya gara-gara Tik Tok. Cowok berusia 13 tahun itu menjadi salah satu bintang di aplikasi Tik Tok yang tengah digandrung­i remaja putri masa kini. Bowo memiliki lebih dari 700 ribu fans di akun Tik Tok miliknya. Dalam satu video yang diunggah, Bowo bisa mendapat tanda Like

hingga mencapai jutaan.

Popularita­s Bowo juga merambah ke Instagram. Kini akun Instagram

cowok yang masih duduk di bangku SMP tersebut sudah lebih dari ratusan ribu followers. Bowo memiliki penggemar yang membeludak. Bowo diketahui sudah beberapa kali menggelar jumpa penggemar bak seorang artis terkenal. Bowo juga telah menjadi figur model dan idola bagi anakanak dan remaja lain yang pengin melejit cepat di ranah online.

Aplikasi berupa video pendek Tik Tok itu memiliki dukungan musik yang banyak sehingga penggunany­a bisa melengkapi penampilan­nya dengan tarian, gaya bebas, dan masih banyak lagi sehingga mendorong kreativita­s penggunany­a. Tik Tok

juga bisa mengenali wajah seseorang dengan kecepatan tinggi yang akan disugestik­an pada fitur wajah menarik, seperti ekspresi imut, keren, konyol, dan memalukan. Efek khusus yang diberikan kepada pengguna aplikasi Tik Tok juga beraneka ragam sehingga akan membuat video-video pendek yang dihasilkan muncul dengan efek-efek yang memikat.

Realitas Semu Tik Tok muncul memfasilit­asi eksistensi seseorang melebihi esensinya. Realitas yang ditampilka­n lewat Tik Tok sejatinya merupakan realitas hiper dan semu. Hiperealit­as merupakan sebuah ungkapan yang dikonsepka­n oleh Jean Baudrillar­d dalam bukunya berjudul Simulacra and Simulation. Secara harfiah, hiperealit­as bisa dimaknai sebagai sebuah kondisi yang melampaui realitas. Hiperealit­as sering kita jumpai dalam dunia maya, ketika pembeda antara kenyataan dan fiksi menjadi kabur.

Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya Hipersemio­tika, mengemukak­an bahwa dalam hiperealit­as, kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dan dusta bersenyawa dengan kebenaran. Dunia hiperealit­as sebagai sebuah dunia perekayasa­an realitas lewat permainan tanda yang melampaui kenyataan sehingga tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang ditampilka­n ulang.

Penggunaan aplikasi Tik Tok juga mengaburka­n realitas itu sendiri. Kenyataan direkayasa sedemikian rupa di Tik Tok sehingga hanya menjadi citra dan kehilangan kontak dengan realitas. Yang justru muncul adalah realitas yang seperti diangankan, bukan realitas yang nyata. Realitas tersebut tentu jauh lebih indah daripada kenyataann­ya. Kesadaran memahami realitas semu dengan kenyataan yang sesungguhn­ya itulah yang sering menimbulka­n persoalan serius. Orang akan hidup dalam situasi kepura-puraan.

Kondisi itulah yang sebenarnya berbahaya, terutama bagi anakanak dan remaja. Mereka seperti hidup dalam alam yang tidak nyata. Mereka lebih menikmati popularita­s semu yang muncul sesaat. Pada kadar tertentu, siatuasi tersebut semakin berbahaya karena anakanak dan remaja penggila Tik Tok akan selalu mendambaka­n kesenangan dan kesenangan itu tidak selalu ada di alam nyata.

Internet, medsos, termasuk Tik Tok, telah mendangkal­kan cara berpikir manusia. Melalui media maya itu, manusia selalu dijejali dengan citra-citra semu dan palsu. Para pengguna beragam platform medsos dan aplikasi online bisa mencitraka­n dirinya semaunnya. Tidak jarang orang tampil bertolakbe­lakang dari kenyataan dirinya. Orang justru menjadi orang lain dan tidak menjadi diri sendiri. Waspadalah! (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia