Banyak Peluang di Perang Dagang
Buka Celah Ekspor Lebih Besar ke Tiongkok dan AS
JAKARTA – Mata pemerintah dan pelaku usaha kini tertuju pada sengitnya perang dagang (trade war) antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Apalagi, keduanya merupakan mitra dagang utama Indonesia
Risiko ancaman maupun peluang pun terus dimitigasi.
Apa itu perang dagang? Di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, AS menebar ancaman ke seluruh dunia terkait dengan perdagangan. Menurut Trump, Negeri Paman Sam sering dizalimi berbagai negara. Praktik perdagangan yang kurang sehat itu menghasilkan defisit perdagangan yang tertinggi sejak 2008.
Akhir pekan lalu, dunia dikejutkan keputusan Trump yang melepaskan ’’tembakan pertama’’ dalam perang dagang dengan Tiongkok. Tembakan itu berbentuk kebijakan menaikkan tarif pada barang-barang Tiongkok dengan nilai puluhan miliar dolar AS (USD) mulai pukul 00.00, Jumat (5 Juli 2018).
Tiongkok tidak tinggal diam. Mereka menyatakan segera membalas tarif impor atas barangbarang dari AS dengan nilai yang sama. Ketegangan tersebut dikhawatirkan memicu perang dagang terbesar dalam sejarah ekonomi dunia.
Apalagi, di bawah bendera kebijakan ’’America First’,’ Trump juga menargetkan mitra dagang tradisional lain dari AS seperti Uni Eropa, Jepang, Meksiko, Kanada, serta mitra dagang yang neraca perdagangannya dengan AS masih negatif, termasuk Indonesia.
Para ahli telah memperingatkan, langkah-langkah tit-for-tat antara dua raksasa ekonomi itu mengirimkan gelombang kejut pada ekonomi global. Awalnya, pebisnis akan terpukul dengan biaya lebih tinggi akibat efek kenaikan tarif.
Kemudian, terjadi efek domino. Perusahaan sulit mencari tahu bagaimana mendapatkan bahan baku yang mereka butuhkan. Akhirnya, kepercayaan di kalangan eksekutif dan rumah tangga akan menurun. Pebisnis bakal merespons dengan menarik kembali rencana belanjanya sehingga ujung-ujungnya perekonomian dunia melesu.
Bagaimana sikap yang tepat mengantisipasi perang dagang AS dan Tiongkok? Pelaku usaha menganggap Indonesia bisa mengambil posisi yang diuntungkan jika bisa memaksimalkan peluang.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat membeberkan, dengan semakin ketatnya barang AS masuk ke Tiongkok, Indonesia bisa mempelajari produksi komoditas-komoditas tersebut untuk kemudian mencari celah masuk ke pasar Tiongkok. Demikian pula dengan komoditas Tiongkok yang semakin sulit menembus pasar AS.
’’Toh, tarif yang dikenakan pada kita lebih rendah. Juga, ini kesempatan kita untuk memberi insentif pengusaha AS maupun Tiongkok yang ada di sini supaya mereka tetap
mau investasi di Indonesia,’’ jelas Ade saat dihubungi kemarin (8/7).
Dia mengungkapkan, anggapan AS sedang memberikan ancaman dagang kepada Indonesia adalah kurang tepat. Menurut Ade, dua negara yang bersitegang tersebut, secara perdagangan jika dibandingkan dengan negara berkembang seperti Indonesia, bukan lawan yang seimbang.
Yang tengah dilakukan AS saat ini adalah me-review produkproduk Indonesia yang masuk ke dalam GSP (Generalized System
of Preferences). ’’AS sedang mereview GSP dari negara-negara berkembang. Mana yang sudah ada perbaikan, tidak perlu lagi diberi GSP,’’ ungkapnya.
Berbicara soal GSP, meski selama ini AS merupakan pasar terbesar industri tekstil Indonesia, Ade menegaskan bahwa produk tekstil tidak masuk dalam review GSP yang dilakukan AS. ’’Tekstil sudah bebas GSP sejak 15 tahun lalu. Jadi, adanya review tersebut tidak akan berpengaruh di kita,’’ ujarnya.
Senada dengan Ade, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Sutrisno juga menyatakan, Indonesia bisa memanfaatkan peluang dari perang dagang antara AS dan Tiongkok. Dia pun mengaku bahwa pihaknya tengah mempelajari peluang yang bisa dimaksimalkan Indonesia.
’’Bagi eksporter, kita harus mencari komoditas apa yang dari Tiongkok dikenai tambahan bea masuk ke AS. Kita perbesar produksi dengan mencari pembeli dari AS untuk barang tersebut,’’ jelasnya.
Selain itu, Benny menganggap posisi perdagangan Indonesia dengan kedua negara, baik AS maupun Tiongkok, cukup diuntungkan oleh adanya sejumlah perjanjian yang disepakati selama ini. ’’Kita dengan Tiongkok mempunyai perjanjian Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). Jadi, tidak ada masalah hambatan apa pun. Sedangkan dengan AS kita sedang menyelesaikan perjanjian dagang dan investasi (Trade Investment),’’ bebernya.
Ketua Forum Komunikasi Asosiasi Pengusaha (Forkas) Jatim Nur Cahyudi menuturkan, sudah semestinya Indonesia mengambil keuntungan dari perang dagang tersebut. ’’Produk-produk Indonesia cukup kompetitif dan Amerika adalah pasar utama kita setelah Eropa,’’ ujarnya kemarin.
Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jatim Winyoto Gunawan mengungkapkan bahwa perang dagang itu bisa menguntungkan Indonesia. Sebab, kuantitas ekspor ke AS bisa ditingkatkan. Selama ini, AS memesan produk alas kaki dari Tiongkok.
Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo menambahkan, meski perang dagang AS dengan Tiongkok bisa membuka peluang bagi Indonesia untuk memperbesar pasar di AS, dirinya mengaku tidak senang dengan adanya perang dagang tersebut. ’’Karena situasi itu bisa merembet ke mana-mana, termasuk ke Indonesia. Padahal, pasar udang Indonesia lebih dari 60 persen dipasarkan ke AS,’’ urainya.
Di lain pihak, pengamat perdagangan internasional dari Universitas Indonesia Fithra Faisal memberikan rekomendasi, untuk strategi jangka menengah, pemerintah harus mulai memetakan pasar-pasar ekspor baru nontradisional sebagai alternatif kerja sama perdagangan.
Sementara itu, lanjut Fithra, strategi jangka panjang bisa dijalankan melalui penguatan sektor industri. ’’Penguatan industri dan segala infrastrukturnya harus ada di dalam dimensi jangka panjang. Artinya, supaya kita punya fundamental industri yang baik, daya saing ekspor yang baik, dan kerja sama dagang internasional yang kuat,’ tegasnya.
Koordinasi Bagaimana persiapan pemerintah? Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menyatakan, pihaknya sudah menjalin komunikasi dengan pihak AS. Rencananya, pertemuan bilateral Indonesia-AS digelar dalam waktu dekat. ’’Kami lagi menunggu. Mari kita duduk bersama,’’ katanya seusai rapat di kantor Kemenko Perekonomian tadi malam.
Dalam rapat kemarin, hadir Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan, Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menlu Retno Marsudi, Menpar Arief Yahya, Mendag Enggartiasto Lukita, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong.
Rencananya, hasil rapat kemarin disampaikan dan dibahas dalam sidang kabinet di Istana Bogor hari ini.