Rasa Urgensi untuk Berkompetisi
AMERIKA Serikat (AS) yang dulu menjadi negara kampiun ekonomi liberal dan kapitalis kini berbalik proteksionis. Dengan dalih melindungi ekonomi dalam negeri, AS menerapkan tarif tinggi untuk produk-produk Tiongkok
Tidak mau kalah, Tiongkok juga menerapkan tarif tinggi untuk sejumlah produk AS. Perang dagang pun tak terelakkan.
Indonesia yang tidak terkait langsung dengan perang dagang AS-Tiongkok, mau tak mau, harus kena getahnya. Pertama, imbasnya ke nilai tukar rupiah akan sangat terasa. Hal itu sudah terlihat dari koreksi rupiah terhadap dolar AS dalam beberapa waktu terakhir. Dampak selanjutnya akan berimbas pada kinerja ekspor-impor. Sebab, dua negara itu adalah pasar terbesar Indonesia. Tentu, ini menjadi wake up call bagi kita semua.
Untuk itu, perlu segera dilakukan transformasi kultur. Khususnya, pemerintah harus meningkatkan sense of urgency untukberkompetisi. Menanamkan sejak dini semangat untuk berkompetisi sehingga meningkatkan daya saing produk. Selain itu, segi perizinan masih terlalu banyak dan bertingkat. Hal tersebut membuat proses produksi tidak efisien.
Yang juga tidak kalah penting adalah persoalan ketenagakerjaan. Kalau semua bisa dibenahi, tentu investasi yang masuk ke Indonesia bisa tinggi. Semua negara akan tertarik untuk masuk dan berinvestasi. Besarnya aliran dana investasi bisa mengompensasi lesunya ekonomi sebagai imbas perang dagang AS-Tiongkok.
Bidang usaha kecil dan menengah (UKM) juga perlu dioptimalkan. Apalagi, UKM adalah ujung tombak perekonomian. Pemerintah perlu lebih serius memberikan bantuan kepada UKM. Selama ini, kalau dari segi jumlah, UKM sudah banyak. Namun, kualitas dan wawasan masih rendah. Untuk itu, perlu ada peningkatan pendidikan dan wawasan. Jadi, tidak sekadar berusaha memproduksi barang, tapi juga menghasilan produk yang kompetitif.
Kalau tidak kompetitif, produk UKM tidak akan diminati pasar. Ketika pasar ekspor seperti Tiongkok atau AS menurun, tentu market baru harus dicari. Entah di luar negeri atau dalam negeri.
Saat ini banyak pebisnis di dalam negeri yang tidak mengambil produk UKM lokal lantaran secara kualitas dan kreativitas masih kurang. Tentu, itu menjadi pukulan tersendiri ketika pasar ekspor berkurang. Di sini diperlukan inovasi, baik dari segi fungsi maupun desain.
Bukan hanya UKM. Kualitas dan inovasi juga perlu menjadi prioritas industri manufaktur. Di Tiongkok, tenaga kerja sangat produktif karena bisa dengan mudah menaikkan UMK. Berbeda dengan di Indonesia.
Contoh lain, Thailand terkenal dengan banyaknya pabrik otomotif karena di sana disiplin. Ditambah skill yang memadai di bidang itu. Tentu, itu menjadi pelajaran bagi kita semua. Peningkatan sense of urgency sangat penting di sini.
Strategi lain untuk mendorong UKM maupun industri dalam negeri adalah menggandeng universitas yang bisa diajak bekerja sama. Yakni, memanfaatkan mereka secara lebih intensif. Sebab, mereka menjadi pusat penelitian yang bisa digunakan untuk mengembangkan produk dan perekonomian dalam negeri.
Di samping itu, kebijakan-kebijakan pemerintah di dalam negeri semestinya dipersiapkan secara matang. Contohnya, one single submission. Kebijakan yang belum siap, tapi sudah diluncurkan. Dampaknya, penanaman modal di Indonesia oleh investor asing berhenti. Dunia menjadi bingung. Semestinya, pemerintah memikirkan grand design-nya. Diikuti roadmap untuk menuju tujuan tersebut.
Terakhir, saat ini Indonesia juga sedang menjalani dua proses review terkait dengan Generalized System of Preference (GSP) dengan AS. Yakni, review terhadap kelayakan Indonesia untuk memperoleh GSP. Juga, review terhadap produkproduk yang akan diberi pemotongan bea masuknya oleh AS yang diekspor Indonesia. Hal itu juga harus diantisipasi karena dampaknya justru lebih nyata ketimbang perang dagang ASTiongkok. Ketua Bidang UMKM-IKM Dewan Pengurus Nasional Apindo, Presdir PT Wismilak Inti Makmur Tbk