Jawa Pos

Suhu Dingin Tidak Ganggu Pariwisata

-

WONOSOBO – Warga Dataran Tinggi Dieng sudah akrab dengan suhu dingin. Termasuk cuaca ekstrem beberapa hari belakangan. Suhu di lokasi tersebut sempat terukur di bawah 5 derajat Celsius. Jawa Pos kemarin (8/7) turut merasakan langsung dinginnya suhu di wilayah yang berada di ketinggian 2.000 mdpl itu

Dalam perjalanan Semarang– Wonosobo, perubahan suhu mulai terasa begitu masuk wilayah Desa Reco, Kecamatan Kertek. Sepanjang sore kemarin jalur lintas di wilayah itu berkabut cukup tebal. ”Baru hari ini (kemarin, Red) begini,” ungkap Damar Ismail.

Pemuda 26 tahun tersebut menyampaik­an bahwa perubahan suhu memang terasa signifikan sejak Jumat (6/7). Menurut Damar, ada masyarakat Dataran Tinggi Dieng yang sempat dibuat repot lantaran kendaraan angkut berbahan bakar solar sulit dihidupkan. ”Sampai beku solarnya,” ucapnya.

Alhasil, sebelum menghidupk­an mesin, mereka harus memanaskan tangki bahan bakar. Damar menerangka­n, perubahan cuaca memang biasa terjadi ketika peralihan musim. Biasanya Dieng berada di titik paling dingin Agustus mendatang.

Tapi, tahun ini kondisinya lain. Mulai awal Juli perubahan sudah terasa. Berbagai foto lapisan es di atas dedaunan yang sempat viral, sambung Damar, memang benar ada. Meski demikian, hal itu tidak lantas membuat wisatawan menahan diri untuk menikmati keindahan alam di Dataran Tinggi Dieng. ”Tetap padat (wisatawan yang berkunjung, Red) Sabtu dan Minggu ini,” ucap Damar.

Kepala Humas Badan Meteorolog­i, Klimatolog­i, dan Geofisika (BMKG) Hary Tirto Djatmiko mengungkap­kan, sejauh ini fenomena menuju puncak musim kemarau masih menunjukka­n tanda-tanda normal. Saat puncak kemarau datang, jelas dia, ada beberapa konsekuens­i yang bisa terjadi.

Pertama, hadirnya angin monsun dari Australia yang membawa udara dingin. Gara-gara angin itu, masyarakat akan merasakan embusan angin dingin dan kering. Terutama pada jam-jam menjelang senja hingga pagi. Kecepatan embusan angin bervariasi, 15–36 kilometer per jam. ”Gejala lain adalah cuaca yang selalu relatif cerah tanpa hujan,” lanjut Hary.

Karena relatif cerah tanpa hujan maupun awan, radiasi matahari lebih leluasa menuju bumi saat siang. Sedangkan pada malam pelepasan panas berlangsun­g cepat. ”Jadi, siangnya terasa lebih panas, malamnya lebih dingin,” imbuh Hary.

Akibat embusan angin dingin dan kencang itulah, diperkirak­an permukaan laut tidak akan tenang. Embusan-embusan angin kencang terutama akan terjadi di wilayah selatan khatulisti­wa. Kondisi tersebut setidaknya harus diwaspadai selama dua bulan pertama musim kemarau atau sekitar Juli hingga Agustus. ”Itu normal terjadi di setiap musim kemarau,” ucapnya.

Suhu dingin ekstrem, sambung Hary, tidak banyak berubah. Suhu normal tiap hari bisa drop 2–3 derajat Celsius. Di daerah Lembang, Jawa Barat, misalnya, suhu bisa drop sampai di bawah 9–13 derajat Celsius. Daerah-daerah dingin lain yang bersuhu rata-rata 18–20 derajat Celsius bisa drop sampai 13–16 derajat Celsius.

Soal kekeringan, sifatnya bervariasi antardaera­h. Ada beberapa daerah yang hari tanpa hujan (HTH)-nya bersambung sampai 60 hari. Atau bahkan lebih dari 90 hari. Ada beberapa wilayah seperti Jogjakarta, sebagian besar Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. ”Jadi, para petani perlu menyesuaik­an pola tanam. Bukan dilarang, tapi sesuaikan dengan ketersedia­an air tanah,” tuturnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia