Menyikapi Kenaikan Harga BBM
BARU sejenak masyarakat ”bernapas” setelah menghadapi kenaikan harga bahan makanan dan bahan kebutuhan pokok saat bulan puasa dan Idul Fitri. Kini masyarakat sudah dihadapkan lagi dengan ke_ naikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi yang cukup tinggi (Jawa Pos, 2/7/2018).
Kenaikan itu terutama terjadi pada harga bahan bakar khusus (BBK), yaitu pertamax dari Rp 8.900 menjadi Rp 9.500 per liter dan pertamax turbo dari harga Rp 10.150 menjadi Rp 10.700 per liter. Selain itu, dexlite naik paling tinggi dari Rp 8.100 menjadi Rp 9.000 dan Pertamina dex naik dari harga Rp 10.000 menjadi Rp 10.500.
Yang melegakan, harga BBM yang bersubsidi (solar dan premium) serta pertalite, yang banyak digunakan masyarakat, tidak dinaikkan. Kenaikan harga BBM tersebut semakin memperkuat ancaman naiknya harga-harga barang kebutuhan dan tingkat inflasi setelah pelemahan nilai rupiah. Yang juga telah membuat pelaku usaha waswas dan berancang-ancang menaikkan harga hasil produksi mereka ke konsumen.
Jika dibandingkan dengan kenaikan-kenaikan harga BBM sebelumnya, kenaikan harga BBM mulai Minggu (1/7) tengah malam itu berbeda. Sebagai kebijakan yang tidak populer, bahkan sering dikritik sebagai kebijakan yang bersifat proneoliberal (lebih berorientasi pasar dan tidak memihak rakyat kecil), kebijakan dan strategi pemerintah dalam menaikkan harga BBM kali ini terbilang cukup efektif.
Dengan pola silent atau bahkan
lack of publication, kenaikan harga BBM kali ini tidak menimbulkan gejolak atau menjadi komoditas politik melawan kebijakan pemerintah. Tanpa publikasi atau gembargembor di media massa sebelumnya, kenaikan harga BBM itu –meskipun banyak dikeluhkan masyarakat yang merasa kaget atas kenaikan harga sebagaimana terlihat di banyak status di media sosial– seakan dimaklumi dan diambil secara taken for granted, yaitu dianggap sebagai suatu hal yang benar (tidak salah), nyata, dan karena itu harus diterima serta dihadapi dengan lapang dada.
Tipe kebijakan seperti itu sebagaimana telah lama dijelaskan ahli-ahli kebijakan publik seperti Pressman dan Wildavsky (1973) adalah tipe kebijakan yang bersifat
command and control (perintah dan kontrol). Dalam artikel What Ever Happened to Policy Implementation? An Alternative Approach, Linda and Peter deLeon (2002) menjelaskan bahwa kebijakan dan implementasi (pelaksanaan) kebijakan yang bersifat command and control adalah suatu pola kebijakan yang bersifat top-down. Kebijakan lahir sebagai suatu mekanisme paksaan dan mengedepankan kewenangan suatu lembaga publik serta memperoleh kepatuhan. Lembaga publik itu adalah PT Pertamina Indonesia, yang kewenangannya dalam menaikkan harga BBM kali ini diatur dalam Permen ESDM 34/2018.
Meskipun Linda and Peter deLeon mengakui terdapat lebih banyak kebijakan yang berorientasi command and control (top-down) dan karena itu diperlukan kebijakan serta pelaksanaan kebijakan yang lebih demokratis (bottom-up); untuk kenaikan harga BBM, pendekatan command dan control atau topdown lebih efektif dan cocok diterapkan (termasuk untuk tipe kebijakan seperti keamanan nasional serta hukum). Sedangkan untuk suatu kondisi tertentu, kebijakan akan lebih efektif jika semua aktor atau pemangku kepentingan terkait dilibatkan karena hal itu lebih mampu meng-capture kompleksitas proses implementasi.
Penerimaan masyarakat akan kenaikan harga BBM itu juga menunjukkan semakin dewasanya masyarakat sebagai salah satu aktor dalam tata kelola pemerintahan (governance) yang adaptif, kolaboratif, dan informatif. Di era informasi digital yang sangat masif, masyarakat telah sering terpapar oleh beritaberita tentang naiknya harga minyak mentah dunia serta melemahnya nilai tukar rupiah beberapa bulan terakhir. Ditambah dengan kebijakan pemerintah yang telah sedikit banyak mengadopsi pendekatan pro-poor dan inclusive growth (pencapaian pertumbuhan ekonomi yang memihak kelompok masyarakat marginal), tidak mengherankan jika kebijakan yang kurang populer seperti kenaikan BBM ini dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Kebijakan berkaitan dengan BBM yang bersifat pro-poor dan inclusive growth ini telah dimulai dengan adanya pembedaan antara BBM bersubsidi yang diperuntukkan bagi golongan masyarakat bawah dan BBM nonsubsidi untuk masyarakat umum (baca: golongan masyarakat menengah ke atas). Kebijakan yang bersifat pro-poor growth harus bisa memengaruhi peningkatan dan distribusi pendapatan dengan suatu mekanisme yang menguntungkan masyarakat marginal. Sedangkan inclusive growth harus merefleksikan pendekatan kesejahteraan yang berupaya menciptakan pekerjaan (untuk kelompok masyarakat marginal) sehingga meningkatkan pendapatan, aset, dan kepemilikan sosial masyarakat dan selanjutnya peningkatan ekonomi mereka (Gupta dkk, 2015).
Akhirnya, upaya pemerintah untuk menaikkan BBK nonsubsidi itu perlu disikapi sebagai suatu kebijakan positif yang bersifat command and control serta pro-poor
untuk mewujudkan inclusive growth.
Sebab, seyogianya, melalui kenaikan BBM nonsubsidi (yang berarti pengurangan subsidi dan pengurangan beban APBN) secara implisit dinyatakan, tanggung jawab mengentaskan kemiskinan tidak hanya berada di pundak pemerintah, tapi juga tanggung jawab sosial masyarakat dan khalayak umum demi menciptakan kesejahteraan individu yang lebih merata. *) Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara/ Kepala Departemen Administrasi FISIP Universitas Airlangga