Tambahan Subsidi Picu Ketimpangan
JAKARTA – Tambahan subsidi energi dalam APBN 2019 bisa memicu efek yang bertolak belakang. Di satu sisi, anggaran subsidi ditambah untuk memperbaiki daya beli masyarakat. Namun, di sisi lain, upaya itu justru bisa memperlebar ketimpangan.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengakui, ada dampak lain yang bisa muncul dari penambahan subsidi energi tersebut. ’’Subsidi energi tidak pernah bisa mengurangi ketimpangan. Sebab, sifat subsidi itu subsidi harga,’’ kata Bambang di kantornya akhir pekan lalu.
Mekanisme subsidi harga akan membuat tingkat ketimpangan makin besar. Sebab, tidak ada larangan bagi orang kaya untuk tidak mengonsumsi BBM atau elpiji bersubsidi. Dia mencontohkan ketika ada dua konsumen yang menggunakan elpiji 3 kilogram (kg). Yang pertama adalah konsumen dengan tingkat pendapatan yang tinggi. Yang lainnya adalah konsumen berpenghasilan rendah. Akibatnya, tingkat ketimpangan di antara keduanya makin lebar.
’’Kenapa? Karena saat yang kaya membeli elpiji 3 kilogram, kekayaannya hanya berkurang sedikit. Sementara yang miskin, dengan membeli barang yang sama, pendapatannya tergerus lebih banyak,’’ jelasnya.
Selama ini pemerintah memberlakukan sistem distribusi tertutup untuk penyaluran subsidi tersebut. Namun, upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil.
Sebelumnya, Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengungkapkan bahwa pemerintah mengusulkan penambahan subsidi untuk solar sebesar Rp 1.500–Rp 2.000 per liter. Selain subsidi ditambah, pemerintah mengajukan kenaikan volume untuk solar menjadi 16 juta–17,18 juta kiloliter.
’’Karena realisasi dari 2018 itu rata-rata sudah 2.000 per liter. Kami usulkan penambahan subsidi dan volume BBM,’’ katanya. Volume elpiji subsidi diusulkan menjadi 6,825 juta ton. ’’Ini dilakukan karena ada perluasan wilayah jangkauan subsidi hingga Indonesia Timur,’’ lanjutnya.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Andy M. Sommeng menjelaskan, jumlah subsidi energi pada APBN 2019 diperkirakan meningkat menjadi Rp 53,96 triliun–Rp 58,89 triliun. ’’Pertimbangan ini memperhitungkan pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, dan Indonesian crude price (ICP) pada tahun depan,’’ katanya.