Jawa Pos

Paspor Mereka Tenggelam di Banten Selatan

-

ROHAEMAH akhirnya memang pulang. Setelah 20 hari menjadi juru masak rombongan peneliti di Pulau Tinjil.

Namun, bukan kegembiraa­n yang dirasakan keluarga yang menyambut di Dermaga Muara Binuangeun, Lebak, Banten, kemarin. Melainkan kepedihan

Sebab, Rohaemah pulang dalam kondisi tak bernyawa.

”Saya sebenarnya udah melarang ibu untuk menjadi juru masak di sana. Tapi, ibu tetap pergi dan sekarang pulang dalam kondisi meninggal,” kata Nurlela, anak Rohaemah, sembari terus terisak, seperti dilansir Radar Banten (Jawa Pos Group).

Rohaemah adalah satu di antara dua korban meninggal tiga kecelakaan kapal yang hanya berselisih 6,5 jam di perairan Banten Selatan kemarin (19/7). Ratusan kilometer dari Banten, di perairan Jember, Jawa Timur, sebuah perahu nelayan juga terbalik, lalu tenggelam di Pantai Puger. Akibatnya, enam orang tewas.

Di kapal Orange, korban tewas adalah Atyah, juru masak lain. Kapal tersebut mengangkut 20 orang yang terdiri atas dosen dan mahasiswa Institut Pertanian Bogor dan Universita­s Sebelas Maret yang baru meneliti populasi monyet di Pulau Tinjil. Juga ikut dalam kapal tersebut enam peneliti dari Amerika Serikat dan seorang lain dari Thailand.

Setelah penelitian selesai, rombongan meninggalk­an pulau untuk kembali ke base camp di Hotel Berkah, Kecamatan Ci- keusik, Kabupaten Pandeglang. Tapi, ketika akan bersandar, kapal tersebut mengalami kesulitan. Sebab, gelombang tinggi menghadang.

”Sebelum pulang ke Dermaga Muara Binuangeun, kami telah menerima informasi bahwa gelombang di laut cukup tinggi. Tapi, rombongan yang telah meneliti populasi monyet tetap memutuskan untuk pulang,” kata Bangkit Dika Pradana, mahasiswa Universita­s Sebelas Maret yang ikut dalam penelitian itu.

Kapal itu tenggelam di dekat Dermaga Muara Binuangeun. Nakhoda, dua anak buah kapal, beserta para mahasiswa, dosen, dan peneliti asing selamat. Namun, Rohaemah dan Atyah, keduanya warga Lebak, yang sedang tidur di atas kapal meninggal.

Turut tenggelam bersama kapal Orange paspor para peneliti asing. ”Kami akan upayakan paspor para warga asing bisa ditemukan. Agar mereka dapat segera kembali ke negara masing-masing,” jelas Kapolres Lebak AKBP Dani Arianto.

Dari Jakarta, Badan Meteorolog­i, Klimatolog­i, dan Geofisika (BM KG) mengeluark­an peringatan, sebagian besar perairan Indonesia akan mengalami gelombang tinggi. Juga, dari semua wilayah, Samudra Hindia di selatan dan barat Indonesia paling berbahaya.

Tinggi gelombang 4 hingga 6 meter. Peringatan BMKG dikeluarka­n kemarin (19/7) dan berlaku untuk semingggu ke depan.

Kepala Humas BMKG Hary Tirto Djatmiko mengatakan, berdasar citra satelit dari BMKG, puncak gelombang tinggi akan terjadi sejak 23 hingga 25 Juli. Dengan skala merah (4–5 meter) hingga ungu (5, 6, hingga 7 meter). Sebab, ada aliran masa udara dingin dari Australia yang cukup kuat.

”Kecepatan anginnya bisa lebih dari 15 knot (15 km/jam), bahkan bisa sampai 20 knot (36 km/ jam),” kata Hary kemarin.

Sekitar 6,5 jam sebelum kapal Orange mengalami musibah, dua kapal nelayan juga bernasib nahas di perairan yang sama. Informasi yang dihimpun Radar Banten, sekitar pukul 07.30 WIB, KM Barokah yang ditumpangi enam nelayan dihantam ombak setinggi lebih dari 5 meter.

Nelayan lain di dekat lokasi kemudian berupaya menolong dengan perahu kincang. Namun, dua perahu itu tenggelam. Akibatnya, 2 orang hilang, sedangkan 10 lainnya berhasil selamat. Dua orang yang hilang itu adalah Andi dan Rudi.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia