Jawa Pos

Konsekuens­i Keraguan SBY

Dua koalisi sudah terbentuk dalam kancah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Kalau tak segera menentukan sikap, nasib fatal akan menimpa Partai Demokrat.

-

DULU ketika masih menjabat presiden, SBY terbiasa melakukan kegiatan maraton keliling daerah seperti tak kenal lelah. Saat itu ada A Piaw yang bisa mengusir rasa penat SBY.

Tukang pijat pribadi SBY tersebut memang punya jari-jari yang kuat. Nama aslinya Lai Teng Piaw. Dia bisa menyulap kondisi badan 3:3 menjadi 5:5. Kalau di militer, 5:5 berarti segar bugar. Kalau 3:3, loyo bin lesu.

Pundak saya pernah merasakan pijatan A Piaw di sela-sela kunjungan kerja SBY ke Tiongkok, 2006 silam. Saat SBY masih 57 tahun. Meski hanya sebentar, bablas angine. Masuk angin dan pusing yang saya rasakan hilang seketika.

Kini SBY sudah 68 tahun. A Piaw pun sudah tiada. Setelah melakukan kegiatan di Pacitan, SBY kelelahan dan harus dirawat di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Kebetulan, masuk rumah sakit pas jadwal terakhir pendaftara­n calon anggota legislatif (caleg). Sehingga harus menandatan­gani berkas pencalegan di atas ranjang rumah sakit. Juga pas jadwal bertemu dengan juniornya, Prabowo Subianto, untuk membicarak­an koalisi. Semua serba kebetulan, rupanya.

Akibatnya, sampai sekarang arah koalisi Partai Demokrat yang dipimpin SBY belum jelas. Belum diputuskan mendukung Prabowo atau Jokowi. Menurut SBY, masih menunggu siapa cawapres yang dipilih Jokowi maupun Prabowo. Intinya, Pepo (begitu cucu SBY memanggil eyang kakungnya) masih ragu-ragu.

Partai Demokrat terkesan jual mahal. Maklum, SBY punya ’’dagangan’’ kinyis-kinyis yang bisa menaklukka­n hati ibu-ibu. Putra sulung SBY, Mayor Inf (pur) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sedang moncer-moncernya. Ibu-ibu dan para perempuan berebut selfie dengan suami Annisa Larasati Pohan itu.

AHY juga mampu membuat elektabili­tas Partai Demokrat bertahan dalam berbagai survei. Kehadiran AHY di berbagai kampanye pilkada serentak lalu juga memberikan kontribusi nyata. Di Jawa Timur, salah satunya.

Sayang, ’’dagangan mahal’’ tersebut kadang-kadang terlalu mahal. Akibatnya, Partai Demokrat tidak segera menentukan pilihan koalisinya. Pada saat SBY masih diliputi keraguan, dua gerbong koalisi terbentuk. Koalisi pendukung Jokowi terdiri atas PDIP, PKB, PPP, Partai Golkar, Hanura, dan Nasdem. Kemudian, gerbong Prabowo terdiri atas Gerindra, PKS, dan PAN.

Dua gerbong itu sudah cukup bahan bakarnya untuk mengusung pasangan capres-cawapres. Tidak perlu lagi Partai Demokrat. ’’Harga’’ Partai Demokrat sudah tidak setinggi sebelum dua koalisi tersebut terbentuk. Kalau masih jual mahal, Partai Demokrat bisa ditinggal oleh dua koalisi itu. Risikonya, Partai Demokrat akan kembali menjadi partai netral seperti Pilpres 2014.

Tapi, kini bukan saat yang tepat untuk netral. Bila tak mengusung capres/cawapres, partai berlambang bintang Mercy itu akan mendapat sanksi tidak boleh ikut Pemilu 2024. Hal itu diatur dalam pasal 235 ayat 5 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ternyata, keraguan SBY bisa berakibat fatal.

SBY sedang mengulang drama politik 2014. Saat itu dia juga raguragu. Padahal sudah membuat konvensi capres. Pemenang sudah ada. Tokohnya berkualita­s, elektabili­tasnya tinggi, punya media, dan punya modal. Hasil konvensi tidak dipakai. Diumumkan pun tidak. Padahal, saat itu SBY masih menjadi presiden. Tidak sulit membuat poros sendiri. Tapi, itu tidak dilakukan. Berkoalisi juga tidak. Akhirnya memang mendukung Prabowo yang berpasanga­n dengan Hatta Rajasa. Mungkin SBY menghormat­i besan. Tapi, Partai Demokrat bukan pengusung.

Pertemuan SBY dengan Prabowo dalam waktu dekat ini akan menarik. Apabila Prabowo mengistime­wakan Partai Demokrat, misalnya memilih AHY sebagai cawapres, bisa jadi PKS dan PAN sebagai pengusung awal akan ngambek. Sebab, dua partai itu juga punya jago cawapres sendiri. PAN mengajukan Zulkifli Hasan yang kini menjadi ketua MPR. PKS mengajukan Ahmad Heryawan, gubernur Jawa Barat.

Risiko kalau PKS dan PAN ngambek, mereka bisa menyeberan­g ke Jokowi. Kalau PAN dan PKS menyeberan­g, koalisi Prabowo bisa buyar. Bisa terjadi calon tunggal. Dan itu jelas menurunkan kadar demokrasi pada pilpres mendatang.

Harga Partai Demokrat tinggi ketika koalisi belum terbentuk. AHY yang kinyis-kinyis, kalaupun tidak menjadi cawapres, minimal bisa menjadi menteri. Bahkan menteri koordinato­r.

Kini ketika sudah terbentuk dua poros koalisi, Partai Demokrat bukan lagi faktor penentu dalam koalisi. Posisinya sekarang, Partai Demokrat-lah yang butuh berkoalisi agar bisa mengusung capres/cawapres. Dengan ikut mengusung capres/cawapres, Partai Demokrat terhindar dari sanksi tidak boleh ikut Pemilu 2024.

Partai Demokrat terkesan jual mahal. Maklum, SBY punya ’’dagangan’’ kinyis-kinyis yang bisa menaklukka­n hati ibu-ibu. Putra sulung SBY, Mayor Inf (pur) Agus Harimurti Yudhoyono, sedang moncer-moncernya.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia