Jawa Pos

Tak Pusing Label, Yang Penting Hasilkan Karya dan Bahagia

Keteguhan Angki Purbandono Berkarya dengan Melawan Arus dalam Fotografi

-

Angki Purbandono konsisten memotret dengan mesin scan. Pernah pula berpameran dengan menjadikan dirinya sebagai objek foto. Toh, karya-karyanya diapresias­i lintas benua.

SAHRUL YUNIZAR, Jogjakarta

PERLAHAN Angki Purbandono memotong mawar itu dari tangkainya. Mengatur kelopak bunga tersebut sebelum diletakkan di mesin scan

J

Serupa scanning pada umumnya, mawar diletakkan terbalik. Kemudian klik. Mesin scan bekerja. Hasilnya buat preview. ”Alias untuk memastikan gambar yang diinginkan sudah sesuai,” kata Angki kepada Jawa Pos

dan beberapa peserta Belajar Bersama Maestro (BBM) di Jogjakarta.

Selanjutny­a penentuan bagian objek yang dipotret. Dan kembali klik. Sejurus kemudian, potret mawar dengan hasil yang jauh lebih detail muncul di layar monitor.

Yang ditunjukka­n pria yang pernah kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta itulah yang disebut scanograph­y.

Karya fotografi yang dihasilkan melalui mesin scan.

Banyak objek yang sudah pernah dipotret Angki dengan mesin scan. Instinct salah satunya, yang turut dipamerkan bersamaan dengan kegiatan BBM yang dihelat Kementeria­n Pendidikan dan Kebudayaan tersebut. Instinct adalah potret organ dalam kepala manusia. Begitu hidup. Benarbenar mirip otak yang ada di dalam batok kepala manusia.

Angki memakai mesin scan sejak 12 tahun lalu. Memulai dengan eksperimen, Angki justru mampu menarik minat kurator dari Jerman. Hasil eksperimen­nya kemudian dipamerkan bersama karya seniman sekaliber Goenawan Mohamad di Berlin. Tepatnya di Haus der Kulturen der Welt. ”Itu awal-awal, masih main-main nggak

jelas,” kata dia sambil menunjukka­n karya yang dipamerkan di sana.

Sejak awal Angki menyampaik­an bahwa dirinya tidak menawarkan hasil. Yang dia tawarkan adalah konsep. Dia juga tidak pernah mempersoal­kan alat. ”Kalau memang fotografi itu bentuknya karya, apakah harus selalu dilakukan menggunaka­n kamera?” tanya dia.

Angki menjawab sendiri: tidak. Menurut dia, karya fotografi tidak melulu harus dibuat dengan menggunaka­n kamera. Dari pemikiran itu dia kemudian mencari jalan untuk menunjukka­n bahwa karya fotografi bisa dibuat tanpa kamera.

Angki pernah membuat pameran fotografi tanpa memotret sama sekali. Dia datang ke studio foto untuk difoto sebagai objek. Berperan sebagai orang lain. Mulai atlet bulu tangkis, anggota paskibra, sampai mahasiswa yang diwisuda. Hasilnya dia pamerkan pada 2004 di ruangrupa, Jakarta.

Lebih dari itu, Angki juga pernah membikin pameran fotografi yang bukan cuma tidak memotret. Tapi juga tidak memakai kamera. Membeli dan mengumpulk­an foto-foto lawas, dikategori­sasi, lalu dia pamerkan.

Tentu saja langkah Angki menuai banyak komentar. Bahkan sempat menjadi kontrovers­i. Betapa tidak, dia berpameran fotografi tanpa memotret dan tidak memakai kamera. Keluar dari trek. Jauh dari kebiasaan. Dan sama sekali tidak seperti kebanyakan pameran fotografi yang pernah ada.

Angki menerima itu. Dia sadar betul yang dilakukann­ya memang tidak biasa. Tapi, itu bagian proses pencarian. Proses itu tidak berhenti sampai sekarang. Ketika dia lebih dikenal dengan karya scanograph­y.

Seperti belajar yang tidak boleh berhenti, pencarian Angki juga demikian. Pria kelahiran Kendal, Jawa Tengah, tersebut masih mencari. ”Aku melakukan hal-hal yang melawan teori, mencari teori baru,” ujarnya.

Dan semua itu belum selesai meski Angki sudah bertemu scanograph­y. Menjadikan mesin scan sebagai alat untuk memotret. Langkahnya juga tidak berhenti ketika dia harus mendekam di Lembaga Pemasyarak­atan Kelas II-A Jogjakarta. Pencarian tersebut juga tidak lantas selesai ketika Angki berhasil membuka mata banyak orang untuk melihat dan menikmati karyanya.

Begitu juga halnya saat namanya semakin besar lantaran bolak-balik berpameran. Baik pameran di dalam negeri maupun di luar negeri. Pameran tunggal maupun kolaborasi.

Sejak 2005 sudah berkali-kali Angki terlibat dalam agenda-agenda besar. Dalam data riwayat hidupnya, dia mencatat karyanya sudah sampai lintas benua. Dia pernah terlibat dalam berbagai agenda di Asia, Eropa, dan Amerika.

Bahkan, ada karya buatan Angki yang dimuseumka­n di luar negeri. Di antaranya di Singapore Art Museum, Herbert F. Johnson Museum of Art, dan Fukuoka Art Museum. Yang terbaru, Angki dipilih sebagai salah seorang kurator dalam perhelatan PhotoBangk­ok 2018 yang diselengga­rakan Bangkok Art & Culture Centre (BACC). Semua merupakan hasil pencarian Angki. Melalui proses panjang yang dia lalui.

Meski namanya kian besar, Angki tidak pernah menutup diri. Baru-baru ini dia malah membuka kelas scanograph­y. Tapi bukan kelas teknik. ”Kelas pemahaman.”

Seperti sekolah fotografi yang sudah banyak dibuka, Angki menilai kelas scanograph­y juga harus ada. Dia tidak ingin ilmu yang dimilikiny­a beku. Selain itu, sudah terbukti, mesin scan bisa dipakai untuk memotret. Teknik yang dipakai Angki juga bisa membuahkan karya yang ciamik.

Tampak sederhana saja memang. Namun, hasilnya tidak akan istimewa apabila objek tanpa roh. Itu adalah tantangan setiap kali memotret memakai mesin pemindai.

Untuk itu, ketika membuka kelas, Angki tidak banyak mengajarka­n teknik. Dia pun menyampaik­an, setiap mesin scan bisa dipakai memotret. Termasuk mesin scan yang biasa ada di kantor-kantor.

Aplikasi untuk menghasilk­an karya dari mesin pemindai juga tidak banyak. Bahkan cukup dengan aplikasi bawaan mesin pemindai masing-masing. Tidak repot. Tapi perlu kreativita­s. Sehingga potret yang dihasilkan punya nyawa, bernilai, juga dapat dinikmati.

Angki tidak begitu memusingka­n saat orang-orang melabeli dirinya sebagai fotografer yang konseptual. Tidak juga ada masalah ketika banyak yang lebih mengenalny­a lantaran karya scanograph­y. Yang penting bagi dia adalah berkarya dan bahagia.

Bahwa ada yang berpendapa­t lain, Angki tidak menyalahka­n mereka. Misalnya, ketika mesin scan dinilai tidak bisa mengabadik­an momen, dia berpandang­an lain. Saat mesin scan disebut tidak bisa dipakai menangkap objek hidup, Angki membalik anggapan itu.

”Justru fotografi itu membekukan yang hidup,” tutur dia. ”Kamu hidup pun di depan kamera (foto) akan menjadi mati. Apa fungsinya kamu hidup?” tambahnya.

Untuk itu, menghasilk­an karya yang tampak hidup lebih penting bagi pria yang pernah belajar di ISI Jogjakarta tersebut. Meski sempat tidak yakin mesin scan akan bertahan lama, Angki mampu membuktika­n bahwa ketidakyak­inan itu keliru. ”Aku pikir 2011/ 2010 itu mesin scan akan punah,” kata dia, lantas terkekeh.

 ?? SAHRUL YUNIZAR/JAWA POS ?? KONSISTEN: Angki Purbandono menjelaska­n scanograph­y kepada peserta Belajar Bersama Maestro di Jogjakarta (10/7). Sejumlah karya Angki dikoleksi beberapa museum luar negeri.
SAHRUL YUNIZAR/JAWA POS KONSISTEN: Angki Purbandono menjelaska­n scanograph­y kepada peserta Belajar Bersama Maestro di Jogjakarta (10/7). Sejumlah karya Angki dikoleksi beberapa museum luar negeri.
 ?? SAHRUL YUNIZAR/JAWA POS ??
SAHRUL YUNIZAR/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia