Ada Yang Beku, Ada Yang Kekeringan
JAKARTA – Berada di Dieng atau Bromo hari-hari ini tak ubahnya berada di dalam freezer raksasa. Begitu brrrr. Alias ekstradingin.
Lereng Pegunungan Dieng, Jawa Tengah, dan Puncak Bromo, Jawa Timur, memang dua dataran tinggi di Indonesia yang tengah mengalami fenomena embun beku. Menurut Kepala Humas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Hary Tirto Djatmiko, embun beku itu sejatinya lumrah saja. Hary mengungkapkan bahwa warga lokal di wilayah-wilayah dataran tinggi tersebut sudah sering mengalami fenomena itu J
”Hanya, hari-hari ini jadi lebih heboh karena arus informasi sudah lebih cepat,” katanya kepada Jawa Pos Kemarin (4/8).
Fenomena itu, kata Hary, disebabkan kondisi meteorologis puncak musim kemarau yang saat ini tengah berlangsung. Saat puncak kemarau Juli dan Agustus, angin monsun dari Australia tengah bertiup kencang menuju Asia. Aliran massa dingin tersebut menyebabkan perubahan suhu menjadi lebih dingin di sejumlah wilayah Indonesia.
Hary menuturkan, kondisi lebih dingin terutama dirasakan di wilayah sebelah selatan khatulistiwa. Mulai Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT. ”Jadi, ini biasa terjadi setiap tahun,” jelas Hary.
Hary menjelaskan, saat puncak kemarau, umumnya suhu udara lebih dingin dan permukaan bumi lebih kering. Cuaca setiap hari juga rata-rata lebih cerah dan tanpa awan. Karena ketiadaan awan itulah, panas matahari lebih cepat terserap bumi. Namun, saat malam, pelepasan panas terjadi sangat cepat. ”Sehingga siangnya panas, malamnya dingin sekali,” jelas Hary.
Karena panas matahari yang lebih banyak terbuang dan hilang ke angkasa, suhu udara musim kemarau lebih dingin daripada suhu udara musim hujan. Kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara pun sangat sedikit jumlahnya.
”Jadi, kelembapan udara men- jadi sangat rendah,” katanya.
Hary menuturkan, pada puncak kemarau ini, beberapa dataran tinggi di Jawa akan berpeluang mengalami kondisi udara permukaan kurang dari titik beku 0 derajat Celsius (°C). Itu disebabkan molekul udara di daerah pegunungan lebih renggang daripada dataran rendah. ”Sehingga sangat cepat mengalami pendinginan, lebih lebih pada saat cuaca cerah tidak tertutup awan atau hujan,” ujar pria asal Kediri, Jawa Timur, tersebut.
Sementara itu, es yang terbentuk di dedaunan adalah hasil dari uap air yang mengalami kondensasi pada malam hari. Uap air tersebut kemudian mengembun dan menempel di tanah, dedaunan, atau rumput. ”Karena suhu yang sangat dingin, uap air ini membeku,” katanya.
Sementara itu, kekeringan juga mulai terasa di berbagai daerah. Berdasar analisis BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) terhadap dasarian (10 hari) pertama bulan Agustus, curah hujan yang sangat rendah di bawah 50 mm tersebar di sebagian besar Sumatera serta Kalimantan Selatan dan Timur. Juga, di Sulawesi Selatan dan Tenggara, Gorontalo, Jawa, Bali bagian barat, Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku bagian selatan, serta Papua bagian barat dan selatan.
Khusus wilayah Jawa, terutama Jogjakarta dan Jawa Timur, sebagian besar dilanda kekeringan ekstrem dengan hari tanpa hujan (HTH) lebih dari 90 hari. Nusa Tenggara Timur tercatat sebagai provinsi dengan banyak wilayah yang mengalami HTH paling tinggi.
Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Sumardjo Gatot Irianto mengungkapkan, total lahan yang terdampak kira-kira 50 hektare. ”Tapi, belum ada laporan sawah yang puso. Kami juga melakukan pemantauan khusus di beberapa kabupaten seperti Indramayu, Bojonegoro, dan Lamongan,” katanya.
Sumardjo mengatakan, Kementan telah berkoordinasi dengan komando daerah militer (kodim) di beberapa kabupaten yang rawan kekeringan panjang. Unsur Kementan, komandan kodim, dan asisten teritori TNI-AD sepakat untuk mendirikan pos siaga bencana kekeringan di wilayahwilayah tersebut. ”Akan berlangsung dua bulan ini,” katanya.
Selain itu, pihaknya mengusahakan agar irigasi tetap berjalan dengan memanfaatkan kemampuan daerah. ”Seperti di Indramayu, salah satu bendungan yang dimanfaatkan untuk wahana perahu wisata dialihkan untuk kepentingan irigasi,” jelasnya.
Sumardjo menyatakan, hingga saat ini belum ada tanda-tanda kekeringan memengaruhi pertanian. Namun, pihaknya sudah menyiapkan beberapa hektare lahan rawa di Sumatera Selatan, Lampung, dan Kalimantan Barat yang pada puncak kemarau ini berubah menjadi lahan basah yang bagus untuk ditanami. ”Hasilnya bahkan bisa lebih dari produksi di lahan pertanian umumnya,” katanya.