Hilir Dibangun, Hulu Tak Dijaga
Kepala Departemen Kajian, Pembelaan, dan Hukum Lingkungan Walhi
KEKERINGAN di Indonesia bukan perkara baru. Sudah terjadi sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun yang lalu. Dalam kurun waktu tersebut, pemerintah berusaha terus membangun ketahanan negara dan masyarakat dalam menghadapi bencana kekeringan J
Salah satu strategi andalan pemerintah adalah membangun embung, reservoir, ataupun dalam skala besar: bendungan. Namun, saya ingin mengatakan bahwa kebijakan pemerintah untuk mengatasi kekeringan itu, beberapa tidak relevan, beberapa semakin memperparah keadaan.
Tidak relevan karena, pertama, dalam proses pembangunan dam dan embung yang besar-besaran, pemerintah terkesan tidak memperhatikan struktur hidrologis. Benar, di pertengahan atau di hilir dibangun bendungan. Namun, sumber air asal di hulu malah tidak dijaga. Izin-izin penebangan maupun pembukaan lahan terus diobral. Beberapa sumber air saat ini pun sudah terlihat mengering.
Bukannya bermanfaat, keberadaan embung dan dam-dam ukuran besar di beberapa daerah justru memutus berbagai ekosistem di hilir sungai. Itu, menurut saya, selain kejahatan lingkungan, juga adalah bentuk mitigasi kekeringan yang gagal.
Belum lagi jika berbicara soal pembangunan dan tata ruang. Kepedulian terhadap lingkungan, khususnya struktur hidrologis, sangat rendah. Izin-izin bangunan hanya sebagai pelengkap administrasi, atau lebih parah, memang rencana tata ruang dan wilayahnya yang tidak ramah lingkungan.
Ada hal yang dilupakan pemerintah, yakni kearifan lokal warga dalam menghadapi kekeringan. Dalam waktu puluhan tahun, masyarakat yang semakin terbiasa dengan kekeringan mengembangkan berbagai sistem mitigasi. Sistem-sistem tersebut mewujud dalam penanggalan dan jadwal tanam, pemilihan jenis tanaman, cara penanaman, serta pola budi daya.
Bahkan, di beberapa wilayah semangat adaptasi terhadap kekeringan ini tumbuh berkembang menjadi nilai-nilai adat yang penuh unsur spiritual. Seharusnya pemerintah mengkaji dan merekognisi sistem adaptasi ini. Sehingga pembangunan sistem ketahanan terhadap kekeringan tidak melulu soal embung dan bendungan. Seolah-olah pembangunan itu harus mewujud dalam hal-hal baru dan teknik.
Apalagi, saat ini arah pembangunan dan ekonomi masih tertuju pada eksplorasi sumbersumber daya yang ekstraktif. Seperti produk tambang dan mineral. Kalaupun ada yang organik, sifanya monokultur seperti sawit. Ketika kultur tunggal ini semakin diperluas, yang jadi korban adalah diversifikasi ekosistem itu sendiri.
Indonesia memiliki tujuh ekosistem unik yang sangat penting bagi keseimbangan. Yakni ekosistem karst (pegunungan kapur), danau, rawa-rawa, gambut, sabana, pesisir dan laut (maritim), serta ekosistem pulau-pulau kecil. Ciri ekosistem yang seimbang adalah semakin banyak dan beragamnya kehidupan di dalamnya.
Sementara pada ekosistem yang tidak seimbang, akan terus terjadi gerakan geomorfologis untuk mencari keseimbangan. Hasilnya adalah bencana-bencana alam berupa banjir, tanah longsor, maupun kekeringan.
Di masa depan, jika pemerintah tetap membangun ekonomi dengan bahan bakar energi ekstraktif dan membangun tanpa mempertimbangkan faktor kelestarian lingkungan, Indonesia akan mengeluarkan harga yang sangat mahal untuk memperbaiki keseimbangan ekosistem. Apalagi, belum ada teknologi yang mampu memperbaiki struktur hidrologis jika sudah rusak.