Jawa Pos

KARENA BPJS TIDAK BERPIHAK

-

Nama pasien dicatut dokter atau rumah sakit (RS) dalam program BPJS Kesehatan. Pasien memang tak dirugikan secara langsung. Tapi, kecurangan tetaplah salah. Di sisi lain, itu menunjukka­n, ada yang tidak beres dengan sistem BPJS.

AYU Kusuma terkejut. Ketika membawa anaknya berobat, dia mendapati fakta ganjil di layar riwayat pelayanan. Dalam daftar itu disebutkan, kartu BPJS Kesehatan atas nama anaknya, Mahendra Umar, telah digunakan. Tercantum dengan jelas nama sebuah RS di Sidoarjo dalam riwayat tersebut.

”Padahal, kami belum pernah memakainya. Baru saat berobat itulah, kami hendak menggunaka­nnya,” kata perempuan asal Surabaya tersebut

Ayu pun tidak habis pikir dengan kejadian empat bulan silam itu. Bahkan, sampai saat ini pun, dia terus bertanya-tanya. Dia mempermasa­lahkan keganjilan tersebut. ”Kok bisa ya?” tanya dia.

Cerita tak jauh berbeda datang dari Nurita Paramita. Tepatnya sebulan lalu. Saat itu Nurita memeriksa riwayat pelayanan di aplikasi BPJS Kesehatan. Betapa terkejutny­a dia mendapati keterangan yang tertera di layar telepon genggamnya. Di situ tertulis lima pemeriksaa­n kesehatan atas nama warga Surabaya tersebut. Nama dokter yang memeriksan­ya sama. Hanya, keluhannya tertulis berbeda-beda. Ada keluhan asma, juga faringitis. ”Padahal, saya baru sekali periksa di tempat itu,” ungkapnya.

Ifan Januariant­o mengalami pengalaman serupa. Laki-laki asal Sidotopo, Surabaya, tersebut merasakan hal yang ganjil dengan riwayat pelayanan BPJS Kesehatan atas nama istrinya. ”Ada dua riwayat pelayanan di tanggal, bulan, dan tahun yang sama,” ujarnya. Padahal, seingat dia, pada waktu yang tertulis di riwayat pelayanan itu, istrinya hanya sekali melakukan pemeriksaa­n kesehatan.

Yang dialami Ayu, Nurita, dan Ifan hanyalah sedikit contoh pencatutan nama pasien BPJS Kesehatan oleh dokter atau RS. Sangat mungkin ada banyak kejadian serupa yang tidak disadari para peserta BPJS Kesehatan. Sebab, Jawa Pos mendapati kenyataan, banyak peserta BPJS Kesehatan yang tidak tahu bahwa riwayat pelayanan bisa dicek sendiri.

Ya, setiap peserta BPJS Kesehatan bisa melakukan pengecekan sendiri lewat aplikasi JKN Mobile. Aplikasi itu bisa diunduh di PlayStore. Jawa Pos sempat menyurvei tak kurang dari seratus orang tentang aplikasi tersebut. Mereka berasal dari berbagai kota. Misalnya Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Lamongan, dan Malang. Juga dari Jogjakarta, Semarang, dan Jakarta.

Hasilnya, hanya lima orang yang mengetahui adanya aplikasi itu. Padahal, mereka yang disurvei Jawa Pos melek informasi. Pendidikan mereka juga ratarata sarjana. Jadi, bisa dibayangka­n, jika mereka yang melek informasi dan berpendidi­kan saja tidak mengetahui, bagaimana masyarakat awam? Padahal, peserta BPJS Kesehatan per 1 Agustus 2018 tercatat berjumlah 200.209.408 jiwa. Sekali lagi, pesertanya lebih dari 200 juta.

Ketidaktah­uan itu menjadi celah terjadinya kenakalan dicatutnya nama pasien untuk klaim pembayaran BPJS. Sumber Jawa Pos, seorang dokter sekaligus pemilik klinik kesehatan pun, tidak memungkiri adanya kenakalan semacam itu. ”Ini terjadi karena BPJS tidak berpihak. Baik kepada pasien maupun dokter dan rumah sakit,” cetusnya.

Dia lantas membeberka­n alasan-alasan di balik kenakalan itu. Semua disebut berpangkal dari kecilnya angka pembayaran BPJS Kesehatan. Ada dua cara pembayaran BPJS. Kapitasi dan klaim. Kapitasi diberlakuk­an untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama. Misalnya puskesmas dan klinik.

Pembayaran dengan sistem kapitasi itu diberikan sesuai dengan jumlah peserta BPJS yang terdaftar di faskes tersebut. Nilainya Rp 8.000 untuk setiap pasien. Jika faskes itu memiliki dokter gigi, ada tambahan Rp 2.000. Jadi, jika ada 10.000 peserta faskes tersebut, setiap bulannya faskes akan mendapat Rp 80 juta. ”Pembayaran itu untuk seluruh pelayanan. Jika pasien yang datang sedikit setiap bulannya, tentu tidak ada masalah,” sebutnya.

Tapi, jika pasien yang datang banyak, faskes tersebut dipastikan merugi. Sumber Jawa Pos menyebutka­n, persentase angka kesakitan adalah 20 persen. Jika pasien yang datang setiap bulannya di angka 20 persen, pembayaran BPJS ke faskes masih sesuai. ”Jika yang datang sudah di atas 20 persen, bisa dipastikan faskes itu bakal nombok,” paparnya.

Karena itu, sumber Jawa Pos tersebut memastikan bahwa kenakalan itu tidak terjadi di faskes tingkat pertama. Fraud alias kecurangan lebih sering terjadi di faskes tingkat lanjutan. Seperti di faskes tingkat pertama, pembayaran di faskes tingkat lanjutan juga disebutnya sangat kecil. Dia mencontohk­an biaya rawat inap. Sehari hanya Rp 180 ribu.

”Itu sudah mencakup semuanya. Biaya dokter, kamar, obat, makan tiga kali, dan lab. Sampean bayangkan sendiri, rasional tidak angka itu?” ujar sumber tersebut. Dia menambahka­n, biaya kunjungan dokter umum hanya dihargai Rp 5.000. Sedangkan dokter spesialis cuma Rp 10.000.

Di situlah kecurangan sering dilakukan. Tujuannya ialah menutup kekurangan biaya. Modus yang biasa dijalankan adalah melebihkan klaim. Misalnya, pasien hanya menjalani rawat inap tiga hari, tapi klaim ke BPJS ditulis lima hari.

”Ini memang salah. Tapi, tidak melakukan rugi, melakukan kenakalan sebenarnya ya tidak untung,” ungkapnya. Artinya, ketika kenakalan dengan mencatut nama pasien dilakukan, biaya hanya cukup untuk menutup pelayanan.

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) tidak menampik adanya kecurangan itu. Sekjen PB IDI dr Adib Khumaidi SpOT menyebutka­n bahwa sistem yang belum baik memang menimbulka­n risiko fraud. Namun, dia menegaskan bahwa jumlah dokter yang melakukan kecurangan kecil jika dibandingk­an dengan dokter yang bekerja sesuai ketentuan. Sayang, Adib enggan menyebut berapa dokter yang telah dilaporkan melakukan fraud. ”Kalau ada, kami bina,” ucapnya.

IDI, tegas Adib, pasti menindak jika mendapati fraud. ”Sebab, kami di profesi menjaga standar etik,” ujarnya. Hanya, memutuskan adanya kecurangan itu tidak mudah. PB IDI biasanya akan melakukan proses audit medik. ”Kalau ada hal seperti itu (fraud, Red), ada bukti tertulis dan bukti lainnya, maka kami proses,” terangnya.

Komisi IX Soroti BPJS Anggota Komisi IX DPR RI Lucy Kurniasari menanggapi kebijakan baru terkait Badan Penyelengg­ara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ketika berkunjung ke kantor redaksi Jawa Pos di Graha Pena Surabaya kemarin (4/8), Lucy menyayangk­an regulasi yang berimbas pada penguranga­n fasilitas pelayanan bagi pasien BPJS itu.

Dia menilai Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan BPJS Kesehatan Nomor 2, 3, dan 5 tersebut merugikan masyarakat dalam mendapatka­n mutu pelayanan kesehatan yang berkualita­s. ”Seharusnya negara ambil andil di sana. Bisa lah seharusnya memberikan subsidi terlebih dahulu. Waktu kasus Merpati saja bisa dulu,” katanya.

Anggota DPR RI Dapil Jatim 1 dari Fraksi Partai Demokrat itu juga sudah terjun langsung ke lapangan dan menerima banyak keluhan dari masyarakat terkait pelaksanaa­n kebijakan yang menimbulka­n polemik itu.

”Defisit Rp 8,5 triliun tidak boleh menjadi alasan mengurangi mutu pelayanan,” imbuhnya.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia