Sudah Bukan Ortega yang Dulu Lagi
Nikaragua Alami Krisis Politik Terburuk sejak Revolusi Sandinista
Revolusi Sandinista 1979 menjadikan Daniel Ortega bintang. Sampai sekarang, dia sudah empat kali menjabat presiden. Tapi, kali ini pria berjuluk El Comandante tersebut bukan lagi sosok pemimpin yang dikagumi. Sejak April, dia menjadi bulanbulanan rakyat yang menginginkannya lengser.
MANAGUA, ibu kota Nikaragua, tak ubahnya palagan. Di sudutsudut jalan para pemuda dengan wajah tertutup topeng atau kain bergerombol. Mereka membawa petasan besar yang bunyinya mirip bom. Mereka juga membawa senjata tajam rakitan sendiri yang terdiri atas kayu atau plastik dan paku-paku. Asap hitam dari banban bekas yang dibakar menambah dramatis suasana.
Para pemuda rata-rata menyelimuti punggungnya dengan bendera Nikaragua. Sebagian di antara mereka menyandang senapan. Di sudut lain, tentara juga berjaga dengan senjata lengkap. Hampir setiap hari, sejak unjuk rasa anti pemerintah April, terjadi bentrok dua kubu. Korban jiwa berjatuhan. Hingga kemarin (4/8), lebih dari 317 nyawa melayang.
”Kita (Nikaragua) telah mengalami dua perang. Sebanyak 50 ribu orang meninggal dunia. Tapi, saat itu perang yang terjadi adalah senjata lawan senjata. Kalau sekarang, sipil melawan kelompok bersenjata,” kata Uskup Agung Managua Leopoldo Brenes.
Gereja Katolik Nikaragua sempat menjembatani perseteruan pemerintah dan warga sipil. Brenes pernah menjadi mediator dialog nasional. Tapi, itu terjadi di awalawal gerakan protes masyarakat. Sekarang gereja melepaskan jubah netralitasnya.
”Mengintimidasi atau merayu. Hanya dua cara itu yang Ortega tahu untuk mendekati Gereja Katolik Nikaragua,” kata Henri Gooren, antropolog pada University in Michigan, sebagaimana dikutip Associated Press. Dan saat ini, menurut dia, tokoh 73 tahun tersebut lebih memilih opsi pertama. Mengintimidasi gereja.
Ortega, konon, mengizinkan tentara dan paramiliter bersenjata plus Sandinista Youth menyerang gereja.
Rumah sakit juga menjadi sasaran kubu Ortega. Para dokter yang membantu oposisi disingkirkan. Javier Pastora Membreno dan delapan koleganya, misalnya. Mereka dipecat tanpa alasan yang jelas. ”Dosa kami hanyalah merawat orang yang terluka dalam unjuk rasa. Kami ini dokter, bukan teroris,” ungkap Membreno, kepala unit bedah RS Oscar Danilo Rosales itu, kepada Al Jazeera.
Lembaga-lembaga HAM mengecam represi militer di Nikaragua. Mereka menyebut kondisi yang masih berlangsung sampai sekarang itu sebagai krisis politik terburuk sejak Revolusi Sandinista 1979.
”Ortega bukan lagi Sandinista. Memang gaya dan warnanya masih sama. Tapi, pemerintahan yang dia pimpin saat ini adalah pemerintahan neoliberal,” kritik Alejandro Bendana, mantan dubes Nikaragua untuk PBB, kepada Democracy Now.
Ortega, menurut Bendana, berubah sejak merapat ke Washington. Menjelang Pilpres Nikaragua 2006, suami Rosario Murillo itu menjadi akrab dengan AS, lantas dia berubah.
”Sebaiknya Nikaragua menggelar pemilu lagi. Ortega harus memberikan kesempatan kepada rakyat untuk membentuk pemerintahan baru yang tidak korup dan tidak brutal,” papar Noam Chomsky, pengamat politik AS yang juga sejarawan.
Sayang, opsi itu ditolak mentahmentah oleh Ortega. Dia merasa berhak menuntaskan pemerintahannya sampai 2021. Sebab, rakyatlah yang memilihnya dalam Pemilu 2016. Dia mengabaikan suara terbaru rakyat. Yakni, memintanya mundur.
”Kuncinya Murillo. Dia yang pegang kendali,” ungkap jubir Committee to Protect Journalist.
UJAR MEREKA
Saya harus segera keluar dari Nikaragua karena nyawa saya terancam. Saya memilih diasingkan karena percaya bahwa suara saya masih didengar di luar Nikaragua.”
CARLOS MEJIA GODOY PENCIPTA HIMNE SANDINISTA