Jawa Pos

Bulan Berdarah

Pergilah! Jangan kemari! Tidak ada janin yang bisa kau rampas di sini!

- Cerpen MUNA MASYARI MUNA MASYARI adalah nama pena dari Munawaro M. Lahir di Pamekasan, Madura, 26 Desember 1985, cerpencerp­ennya telah termuat di Jawa Pos, Kompas, Tempo, Media Indonesia, dan berbagai media lainnya. Bisa dihubungi melalui e-mail: masyarim

RIUH bunyi kentongan di bawah sana membuat kecemasan di dadamu kian membelukar. Sambil memungut tembikar di bawah pancuran, doa-doa keselamata­n tak henti kaurapal. Sebentar-sebentar kau mengangkat wajah, menatap purnama yang perlahan menghitam kemerahan. gerring1

Bulan mengundang petaka. Menabur bala. Malam kebangkita­n Bhuta. Demikian yang dikatakan ibumu dulu, ketika purnama mulai terpagut gerhana, sambil menyiapkan gula merah dan daging kelapa. Sementara ayahmu ikut berkelilin­g kampung memukul kentongan bersama para tetangga.

Saat itu kau masih kecil dan baru mendengar istilah bulan gerring. Pun, awalnya kau belum tahu ada makhluk menyeramka­n bangkit dari kegelapan, merampas janin, dan ketenangan segenap warga ketika malam purnama menggulita.

“Bhuta seperti apa, Bu? Apa wajahnya menakutkan?” tanyamu penasaran.

“Tentu saja. Tubuhnya tinggi-besar dan hitam. Wajahnya menyeramka­n!” “Ibu pernah melihatnya?” “Kata nenekmu!” “Bagaimana caranya ia bisa mengambil bayi dalam perut? Apa perutnya dibelah?” ngeri kau membayangk­annya.

“Tidak! Ia memiliki tangan gaib. Perut si ibu tiba-tiba mengempes begitu saja pada harihari berikutnya. Ketika diperiksak­an, sudah tidak ada bayi lagi di dalam. Makanya, bagi orang hamil, ketika bulan gerring disuruh melempar tembikar ke genting, lalu bersembuny­i di kolong ranjang sambil menggigit pisau agar bayi dalam kandungann­ya selamat dari tangan Bhuta.”

“Lalu, untuk apa orang-orang memukul kentongan?”

“Sebagai tanda kalau mereka masih terjaga, agar Bhuta tidak merajalela.”

“Kenapa kita tidak ikut?”

“Kita bertugas membangunk­an pohon-pohon di sekitar rumah, lalu menyiapkan gula-kelapa.”

“Apa gula-kelapa itu untuk mengusir Bhuta juga?”

“Untuk menangkal penyakit akibat kehadirann­ya. Dimakan bersama setelah purnama kembali ke sediakala.”

Kau manggut-manggut. Rasa takut menyusup selembut kabut, mengepul pelan, menyatu membentuk sosok tinggi-besar. Wajahnya seperti tumpukan batu berlumut hitam. Matanya besar dan menyala merah seperti mulut tungku baru saja melumat kayu bakar. Mulutnya seperti lubang sumur tua yang menganga, dan sudah tak seorang pun menimba air di kedalamann­ya.

Sejak itu, ketakutan membuatmu baru berani tidur sendirian setelah dua kali datang bulan. Itu pun karena sudah lelah mendengar ejekan teman-teman, dibilang bayi menyusu tak henti.

***

Bulan yang mengambang di langit sudah menghitam sebagian ketika kau melemparka­n kepingan-kepingan tembikar ke atap rumah.

“Pergilah! Jangan kemari! Tidak ada janin yang bisa kau rampas di sini!” teriakmu, setiap satu lemparan. Sampir sengaja kaul ipat di dada untuk menyembuny­ikan perut yang tak lagi rata.

Jatuhnya tembikar ke genting berdenting. Kelelawar berkelepak di atas wuwungan, bercericit, lalu menghilang dalam kegelapan. Terdengar batuk ibu dari dalam. Kering dan patah-patah. Hanya sebentar.

Riuh kentongan di kejauhan timbul tenggelam. Tembikar di tanganmu tinggal satu lemparan. Sebentar kau mendongak, menatap purnama yang menghitam separuh di antara awan kelabu. Sisa sinar bulan meningkahi wajahmu. Dadamu berdebar. Lututmu bergetar. Tanganmu mengelus perut tanpa sadar. “Katakan, siapa ayahnya!”

“Iya. Katakan siapa lelaki yang menghamili­mu!” Kau menunduk getir. Menggigit bibir. “Mustahil kau tidak tahu siapa lelaki yang telah menidurimu!”

“Kami tidak mau ada bayi jadah lahir di kampung kami!”

“Betul! Anak jadah hanya membawa sengsara bagi warga!”

“Tidak akan turun hujan selama masih ada perempuan mengandung anak haram!” “Betul!”

Serempak.

“Kalau tidak mau mengaku, kita usir saja dari sini!” “Setuju!”

Kembali kompak.

Suara-suara di balai desa waktu itu kembali terngiang di telingamu. Suara-suara keras meminta nama. Menuntut pengakuan. Melantangk­an ketaksabar­an. Akan tetapi, nama siapa yang akan kau sebutkan? Pengakuan sebentuk apa yang bisa kau berikan? Hanya desah napas dan bau keringat yang bisa kau ingat.

Kau sendiri tidak tahu, siapa yang telah menyusup ke bilikmu diam-diam, ketika gerimis merintik dan dingin malam mengilukan tulang. Sosok itu menyusup begitu saja. Entah lewat pintu mana. Barangkali pintu samping dapur yang memang tak bisa ditutup rapat.

Sejak ibumu sakit, bilikmu juga jarang dikunci sebab harus bolak-balik memeriksa keadaannya. Kadang kau dipanggil jika membutuhka­n apa-apa. Untuk menghemat minyak tanah, bilikmu kau biarkan tak berdamar. Dengan membiarkan pintu sedikit terkuak, damar teplok di ruang depan cukup mengirim sebatang cahaya buram hingga bilikmu tak berselimut kelam.

Kau tersentak jaga dan baru menyadari kehadiran lelaki itu ketika tubuhmu sudah erat dalam pelukannya. Wajahmu hangat oleh desah napasnya. Mulutmu terbekap tangan beraroma tembakau, hingga kau tak bisa berteriak, dan akhirnya menyerah pasrah seperti sampah dalam gemulung ombak. Usiamu sudah cukup matang untuk merindukan sentuhan-sentuhan.

Bilikmu yang suram menggelapk­an wajah dan tubuhnya. Entah siapa dia.

Dalam desah napasnya yang berat, ingatanmu langsung mengembara pada sebuah peristiwa suatu senja, sewaktu mencari kayu bakar. Tanpa sengaja kau melihat sepasang manusia bertindiha­n dalam erangan dan rintihan di balik semak belukar. Sebuah tontonan yang membuat darahmu mengalir deras dan selalu ingin menyaksika­n tontonan serupa di hari-hari berikutnya.

Tiga kali penyusup itu datang pada pertengaha­n malam, ingatanmu selalu mengembara pada sepasang manusia di balik semak belukar, seakan dirimulah yang tengah kau saksikan di sana. Hingga suatu hari kau baru menyadari perutmu semakin berisi.

Dan, pada senja yang mulai menua, sepasang manusia di balik semak belukar menyemburm­u dengan umpatan-umpatan kasar karena kau ketahuan tengah mengintip perbuatan mereka. Pada saat itulah kau bisa mengenali keduanya.

Duda yang telah memerangka­p istri orang dalam jerat-jerat pengkhiana­tan itu memelototi­mu dengan gusar sambil membenahi pakaiannya yang berantakan. Dari mulutnya caci-maki berlesatan, menghujam. Matanya semakin membulat ketika melihat perutmu tampak mencuat. Memercik rasa heran. Si perempuan beringsut pergi sambil membetulka­n tali kutang.

Sepasang binatang gegas berlalu meninggalk­an rumput lusuh dan sepasang sandal jepit biru pudar. Keesokan harinya, sepasang sandal yang tertinggal itu sudah tidak ada di tempat.

Kau yakin, duda itulah yang telah membuat pengaduan tentang perutmu yang membesar pada warga sekitar. Karena sejak menyadari perutmu tak lagi datar, kau selalu menghindar­i berpapasan dengan orang.

Lelaki itu juga yang berteriak paling lantang sewaktu sidang di balai. Pun yang mengusulka­n agar kau dikucilkan ke lereng bukit demi menolak kesengsara­an.

“Tidak! Tunggu hingga bayi itu lahir. Selain demi kemanusiaa­n, paling tidak semoga kita akan tahu siapa ayahnya setelah bayi itu lahir. Apalagi ibunya sedang sakit.” Tolak kepala desa, disusul dengung gerutu penuh kekecewaan.

“Menunggu sampai kapan? Kalau hanya demi kemanusiaa­n, kita bisa membantu memindahka­n rumahnya ke sana.” Tambah di duda dengan jari masih tak lepas dari sebatang rokok mengepulka­n asap.

“Betul! Kemarau sudah berbulan-bulan, belum ada tanda-tanda akan turun hujan.”

“Kepala desa seharusnya memikirkan nasib kita juga!”

Sejak sidang di balai desa itu, lelaki penyusup tak kembali datang. Tak ada lagi sentuhanse­ntuhan hangat dan amuk berahi yang membuatmu terkapar lemas setelah mendaki puncak kenikmatan. Tiap pertengaha­n malam kau kerap terjaga, serasa mencium hangat napas dan bau keringatny­a.

Dalam rindu yang kian tanak, kau mengutuk nasib karena terlahir sebagai perempuan

geddhel. Perempuan dengan tubuh berdarah (daging) kotor yang menyebabka­n pengucilan dan tak seorang pemuda pun berani meminang hingga kau berusia matang.

Apabila kau terjerang panas matahari, tiba-tiba kujur tubuhmu kemerahan dan gatal-gatal. Lalu kulitmu luka-luka, dan baru berangsur sembuh setelah rutin ditempeli daun sirih yang baru dipanggang di atas bara. Kata warga desa, itu disebabkan kau lahir dari persetubuh­an saat ibumu datang bulan, dan darah kotor itu takkan luntur dalam tujuh turunan.

Ketika kau memertanya­kan hal itu pada ibu, ia hanya diam dan wajahnya berubah muram. Orang-orang semakin menjauhimu dan melarang anak-anaknya mendekat karena khawatir tertular.

Kau pun belajar memusuhi matahari, dan hanya menyukai bulan yang tak pernah memilih teman. Tapi malam ini, purnama gerhana bisa jadi petaka bagi bayi yang sedang kau kandung. Sebentar lagi. Sebentar lagi Bhuta akan berkeliara­n, ketika bulan berlumur darah dan gelap menyungkup alam. Dan kau harus menghadapi­nya sendirian.

Bunyi kentongan di bawah sana saling tindih. Lampu listrik mengerlip dari rumah-rumah warga mirip bintang berjatuhan.

Sementara di sekeliling­mu, semakin bulan terpagut, gelap kian menyelimut.

Rumahmu yang teronggok sendirian di antara pohonpohon besar sebentar lagi akan meringkuk dalam kegelapan.

“Kumohon pergilah!

Jangan kemari! Tidak ada janin yang bisa kau rampas di sini!” seiring tembikar terakhir kau lempar, suaramu bergetar dan dadamu keras berdebar.

Kemudian, kau memukul kentongan tiga kali di tengah-tengah halaman. Lalu mengguncan­g pohon-pohon kurus di seputar halaman dan memukuli batang-batang pohon yang hampir sebesar pelukan. Membangunk­annya agar terjaga dan waspada dari bala. Dari kehadiran Bhuta.

Kelelawar berkelebat melintasi halaman seolah tengah mengabarka­n kebangkita­n Bhuta.

Segera kau berlari ke dalam. Mengunci pintu. Terdengar batuk ibu dari biliknya. Kau menengok sebentar. Hampir lima tahun perempuan ringkih itu telentang lumpuh. Matanya terpejam. Tulang rusuknya berbaris serapi tulang ikan. Kau mendekat, menarik sampir yang melorot hingga menutupi dadanya. Ia membuka mata. Menatap sayu.

“Kudengar bunyi kentongan,” suaranya yang hampir tak terdengar dipungkasi batuk kering yang patah-patah.

“Bulan gerring.”

Mendengar jawabmu, wajah tirusnya diliputi kecemasan.

***

Tabuh kentongan masih ramai terdengar dari kejauhan, pertanda purnama belum kembali ke wujud semula. Kelepak dan cericit kelelawar tertangkap samar di atas rumah. Padahal gigimu sudah terasa ngilu menggigit sebilah pisau. Punggungmu sekaku kayu. Bayi dalam perutmu menendang-tendang sejak tadi, seolah ikut merasakan kegentinga­n yang terjadi. Atau barangkali ia tidak merasa nyaman dengan posisimu yang meringkuk di kolong ranjang.

Baru saja kau mengelus perut agar bayi di sana lebih tenang ketika pintu perlahan terbuka. Gerak cahaya di lantai menandakan lidah damar teplok di bilikmu meliuk-liuk tertiup angin. Sepasang kaki memasuki bilik dengan langkah hati-hati.

Jantungmu berdegup keras. Lututmu bergetar. Kian kuat gigimu menggigit sebilah pisau. Bhuta? Diakah Bhuta? Tapi ....

Sepasang kaki mendekat. Sandal jepit biru pudar membuat matamu terbelalak. Semburan caci-maki kembali terngiang. Tuntutan pengucilan membuat dadamu terbakar. Sebilah pisau perlahan kau lepas dari gigitan. Kau cengkeram gagangnya kuat-kuat. Sosok Bhuta di kepalamu lenyap.

Di luar sana, bulan berlumur darah. (*) Madura, Maret 2018

 ?? BUDIONO/JAWA POS ?? 1
bulan gerring atau sakit, istilah bagi orang Madura untuk sebutan bulan gerhana.
BUDIONO/JAWA POS 1 bulan gerring atau sakit, istilah bagi orang Madura untuk sebutan bulan gerhana.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia