Jawa Pos

Pernah Jaya di Era Penjajahan Belanda

Timplong, Wayang Kayu Asli Nganjuk yang Hampir Punah

-

BERTAHAN: Suyadi memainkan wayang timplong yang dipentaska­n di Dusun Bongkal, Desa Kepanjen, Kecamatan Pace.

Wayang timplong mulai dikenal di Nganjuk pada 1800-an. Pencetusny­a adalah Mbah Boncel asal Dusun Kedungbaju­l, Desa Gemenggeng, Kecamatan Pace. Secara turun-temurun, Boncel kemudian mewariskan kemampuan mendalang kepada keluarga dan kerabatnya.

SUYADI begitu cekatan memainkan wayang timplong di tangan. Diiringi sebuah gamelan, dalang 52 tahun itu mengisahka­n cerita Bujanggano­ng, seorang pemuda keturunan Kerajaan Pajajaran yang ingin melamar putri Kerajaan Majapahit. Kisahnya sangat runtut dari pukul 14.00 sampai 15.30.

Di sebuah punden (tempat yang dikeramatk­an) di Dusun Bongkal, Desa Kepanjen, Kecamatan Pace, Suyadi bersama paguyubann­ya menggelar pertunjuka­n wayang timplong. Penontonny­a memang tidak banyak. Hanya puluhan orang yang mayoritas warga setempat.

Dalam sejarahnya, pertunjuka­n wayang timplong bertepatan dengan acara nyadran (bersih desa). Karena itu, penontonny­a rata-rata adalah warga setempat. ’’Hari ini (Jumat, 3/8) ada nyadran,’’ kata pria asli Dusun Bongkal tersebut.

Wayang timplong dikenalkan Mbah Boncel. Pria asal Dusun Kedungbaju­l, Desa Gemenggeng, itu memang dikenal sebagai dalang yang kretif. Lewat kreativita­snya, Boncel membuat pertunjuka­n wayang timplong pada 1800-an. ’’Mbah Boncel buat sendiri wayangnya,’’ kenangnya.

Setiap ada bersih desa, warga sering menanggap Mbah Boncel sebagai dalang wayang timplong. Berbeda dengan wayang kulit, wayang timplong banyak bercerita tentang sejarah, legenda, asal usul, dan kisah-kisah panji. ’’Saat itu banyak warga yang senang dengan cerita-cerita tersebut,’’ kata Suyadi. Setelah masa Mbah Boncel, pertunjuka­n wayang timplong mengalami pasang surut. Puncak kejayaan berada di era Mbah Tawar pada 1940-an. Saat itu, menurut Suyadi, wayang timplong banyak digemari masyarakat desa.

Kasi Sejarah, Seni, Tradisi, dan Kepurbakal­aan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparpora­bud) Kabupaten Nganjuk Amin Fuadi menyatakan, pementasan wayang timplong pada masa itu digelar untuk kegiatan-kegiatan ritual di desa. Misalnya, buka bumi (awal musim tanam), wiwit (musim panen), bersih desa, dan suran (tahun baru Islam).

’’Itu masa jaya wayang timplong,’’ kata Amin.

Bahkan, wayang timplong pernah ditanggap pemerintah­an kolonial Belanda. Waktu itu bertepatan dengan buka giling Pabrik Gula Jatirejo, Kecamatan Loceret. ’’Setiap buka giling, pasti ada pertunjuka­n wayang timplong,’’ ujarnya.

Memasuki 2000, pertunjuka­n wayang timplong makin sepi. Penyebabny­a bukan semata kehilangan penggemar, tapi juga mandeknya regenerasi dalang wayang timplong.

Setelah era Mbah Boncel, dalang diteruskan Mbah Sariguno. Kemudian, turun lagi ke Mbah Cewul, Mbah Tawar, dan Mbah Talam. Setelah era Mbah Talam, generasi dalang menyusut. ’’Saya termasuk yang meneruskan,’’ terang Suyadi yang merupakan putra Mbah Talam.

Dia menyadari wayang timplong harus dilestarik­an. Bukan hanya seorang dalang yang perlu mengalami regenerasi. Tetapi, pemain gamelan dan sinden pun demikian. Karena itu, agar tetap lestari, dia membentuk paguyuban wayang timplong di Dusun Bongkal.

Diharapkan, wayang timplong masih bisa dinikmati generasi muda. Untuk itu, setiap tahun Suyadi selalu menggelar pementasan saat ada kegiatan bersih desa. ’’Beberapa desa lain masih mengundang wayang timplong,’’ ungkapnya.

Untuk meneruskan kemampuann­ya sebagai dalang, Suyadi mengaku sudah menyiapkan Roni Siswanto, 20, sang putra, sebagai penggantin­ya. Makanya, setiap ada pementasan, dia selalu mengajak Roni.

 ?? ANWAR BAHAR BASALAMA/JAWA POS RADAR NGANJUK ??
ANWAR BAHAR BASALAMA/JAWA POS RADAR NGANJUK
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia