Jawa Pos

Berat Mendidik, tapi Enggan Berpisah

Nenek Dua Cucu Penerima Bantuan CSR Dinsos

-

Dalam kondisi ekonomi tak jelas, Herwanti Tamini harus membesarka­n dua cucunya yang yatim piatu. Tugas itu makin berat karena cucunya bukan tipe anak yang mudah diatur.

THORIQ S. KARIM

TEMPAT tinggal Herwanti Tamini di Jalan Dinoyo Baru jauh dari kategori layak. Dia indekos di kamar berukuran 2,5 x 3 meter. Tidak ada jendela sehingga sinar matahari tidak bisa masuk. Hanya lampu 10 watt yang terus menyala sebagai sumber cahaya.

Sirkulasi udara mengandalk­an pintu berukuran 1 x 1,5 meter. Di dalam kamar, terdapat ranjang susun, lemari, kompor, dan perkakas untuk aktivitas sehari-hari. Terasa pengap. Herwanti duduk di ranjang yang terbuat dari besi itu J

Setiap hari dia bersama kedua cucunya tidur di kasur yang terpasang di ranjang bawah. Sementara itu, ranjang atas dilapisi tripleks sebagai alas menyimpan barang. ”Desakdesak­an, tapi sudah biasa,’’ kata Herwanti saat ditemui pada Senin (30/7).

Ranjang bagian atas digunakan untuk tempat perkakas. Ada panci, piring, kardus berisi bumbu, dan barang-barang lain. ”Saya memasak dan tidur di kamar ini,’’ ungkap perempuan 62 tahun asli Surabaya itu.

Di rumah tersebut, terdapat empat kamar kos. Herwanti menempati kamar tengah. Kamar terkecil. Biaya sewa kamar itu Rp 250 ribu per bulan. Sore itu, Herwanti sedang menunggu Ananda Ahmad Maulana, 14, dan Choirul Iswandi, 10. Mereka merupakan anak putri Herwanti yang bernama Siti Khotijah. ”Khotijah dan suaminya sudah meninggal lima tahun lalu,’’ ucapnya.

Herwanti bercerita, Khotijah dinikahi seorang lelaki asal Sidoarjo. Namanya Paiman. Dari pernikahan itu, Khotijah dikaruniai dua anak laki-laki. Paiman yang bekerja sebagai sopir meninggal karena kecelakaan. Sekitar lima bulan kemudian, giliran sang istri yang meninggal.

Herwanti merasa jalan hidupnya berat. Dia tidak memiliki penghasila­n tetap. Setiap hari dia hanya mengandalk­an belas kasihan tetangga. ”Hanya sesekali saya membantu tetangga yang punya gawe,’’ ucapnya.

Hidup serba terbatas itu sudah 10 tahun dia jalani. Pada waktu bersamaan, dia mendapat amanah membesarka­n cucunya. Sangat berat. Tapi, Herwanti tetap berusaha merawat dan membesarka­n cucunya. Saat ditinggal orang tuanya, Maulana dan Choirul masih SD. Herwanti terus menekankan kepada mereka untuk rajin belajar. Namun, harapan tidak sejalan dengan kenyataan.

Herwanti tidak memiliki kemampuan lebih untuk mengawasi dan membimbing dua bocah tersebut. Akibatnya, pendidikan Maulana dan Choirul tidak berjalan seperti yang diharapkan. ”Sering bolos dan susah dinasihati,’’ ujarnya.

Maulana yang kini kelas VIII SMP Terbuka 10 Surabaya mengaku malas sekolah karena mendapat perlakuan tidak enak dari temanteman­nya. ”Saya tidak tahu, itu benar atau tidak,’’ ujarnya.

Hal yang sama dilakukan Choirul. Hanya, Choirul beralasan takut rambutnya dipotong guru. Memang, rambut Choirul panjang. Tapi, saat ditemui di rumah, rambut bocah kurus itu sudah rapi. ”Ini habis dipotong sama gurunya,’’ kata Herwanti.

Perempuan tersebut sering kewalahan mendidik kedua cucunya. Beruntung, kondisi itu diketahui Dinas Sosial Surabaya. Maulana dan Choirul masuk dalam data anak rawan putus sekolah di Surabaya.

Keduanya tercantum pada daftar pendamping­an program campus social responsibi­lity (CSR) dinsos. Kini Choirul dan Maulana mendapat kakak pendamping. Dia adalah Oktaria Nindyawati, mahasiswa Universita­s Muhammadiy­ah Surabaya.

Oktaria mendapat amanah untuk membantu Choirul dan Maulana lepas dari kategori rawan putus sekolah. Selain itu, Okta, sapaan akrabnya, harus mencari jalan keluar untuk bisa membantu memperbaik­i taraf hidup Herwanti. Mahasiswi fakultas psikologi tersebut prihatin saat melihat nasib Choirul dan Maulana. Peralatan sekolah mereka sangat minim. Mereka biasa hidup bebas. Untuk mendamping­inya, dibutuhkan kesabaran.

Okta sempat menawarkan kepada Herwanti agar kedua cucunya tinggal di panti asuhan. Keduanya bisa mendapat pengawasan dan pembinaan. Tempat tinggal layak, kebutuhan juga tercukupi. ”Tapi, neneknya tidak mau, dia tidak tega berpisah dengan cucunya,’’ ujar Okta.

Okta mencari alternatif lain. Dia mencari donatur dari lembaga sosial di Surabaya. Saat ini, selain dari dinsos, Nenek Herwanti mendapat bantuan dari beberapa lembaga sosial di Surabaya. Bantuan itu belum cukup. ”Saya harus mencari cara agar hidup mereka bisa lebih layak,” kata Okta.

Bisa jadi, masih banyak warga di Surabaya yang senasib dengan Herwanti. Okta berharap kepedulian semua pihak terus ada. ”Membantu mengurangi beban hidup mereka,” cerita Okta.

 ?? DIPTA WAHYU/JAWA POS ?? PENUH BARANG: Herwanti Tamini di kamar kos yang ditinggali bersama dua cucunya.
DIPTA WAHYU/JAWA POS PENUH BARANG: Herwanti Tamini di kamar kos yang ditinggali bersama dua cucunya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia