Jawa Pos

Bentuk Satgas, Pengawasan Berlapis, hingga Perpres

-

Keberadaan tenaga kerja asing (TKA) di suatu negara tidak terelakkan di era globalisas­i. Namun, itu tidak berarti TKA bisa bebas masuk dan mendominas­i pasar kerja negara itu. Ada jalur dan prosedur berlapis yang harus ditempuh.

MENTERI Ketenagake­rjaan (Menaker) Hanif Dhakiri masih cukup yakin bahwa proporsi TKA di Indonesia masih dalam batas wajar

Namun, soal keberadaan TKA ilegal, Hanif tak membantahn­ya.

Karena itu, Menaker meminta siapa saja yang menjumpai keberadaan TKA ilegal untuk segera melapor. Hanif mengakui bahwa di Indonesia masih banyak bertebaran TKA yang statusnya ilegal, yakni datang dan bekerja di Indonesia tidak melalui jalur dan prosedur yang ditentukan Kemenaker.

Untuk itulah, pemerintah membentuk Satgas Pengawasan TKA pada 16 Mei 2018 untuk menindak tegas mereka yang bekerja di Indonesia tidak sesuai dengan aturan. ”Pemerintah tidak pernah ngomong tidak ada. Maka dari itu, silakan laporkan lokasinya, di mana pabriknya, akan segera kita tindak,” tegas Hanif di Jakarta akhir pekan lalu.

Hanif menyatakan, pemerintah tak akan pernah membiarkan atau mengabaika­n terjadinya berbagai bentuk pelanggara­n di lapangan. Ada berlapis pengawasan. Mulai pengawas tenaga kerja, pengawas polisi, imigrasi, hingga pemerintah daerah.

Secara prinsip, lanjut Menaker, seluruh moda perizinan di Indonesia, termasuk perizinan tentang TKA, memang disederhan­akan.Namun,pengawasan­nya terus diperkuat. Itu diakomodas­i dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan TKA. Perpres itu tidak sembarang mengizinka­n TKA boleh masuk. TKA boleh masuk hanya apabila memiliki kemampuan tertentu yang potensi keahlian dan kemampuann­ya dapat diserap dan dipelajari tenaga lokal.

Berdasar data Kemenaker, TKA tahun lalu berjumlah 85.947 orang. Menurut Hanif, angka itu tak sebanding dengan jumlah tenaga kerja asal Indonesia di luar negeri. Berdasar survei World Bank, ada 9 juta TKI di luar negeri. Sebanyak 55 persennya berada di Malaysia. Sisanya berada di Arab Saudi, Taiwan, Hongkong, dan Singapura.

Apalagi, dalam kondisi membangun seperti saat ini, penggunaan TKA di Indonesia tidak bisa dihindari sama sekali. ”Pemerintah saat ini tengah membutuhka­n investasi dari berbagai sektor. Termasuk investasi asing,” ujarnya.

Politikus PKB itu mencontohk­an, jika seorang investor ingin mendirikan pabrik di Indonesia, otomatis dia akan memilih orangorang kepercayaa­nnya untuk menjalanka­n mesin-mesin pabrik yang manualnya tidak menggunaka­n bahasa Indonesia. ”Tidak bisa serta-merta diserahkan kepada penduduk lokal,” ujarnya.

Namun, pemerintah selalu mewajibkan agar tenaga lokal juga dilatih dalam mengoperas­ikan mesin-mesin tersebut. ”Sehingga, lambat laun, tenaga asing bisa secara bertahan digantikan tenaga lokal,” katanya.

Hanif menegaskan, pemerintah tetap akan menolak apabila ada perusahaan mengajukan izin untuk mempekerja­kan tenaga kasar dari TKA. Normalnya, pekerja kasar tidak boleh masuk ke Indonesia dan jika pekerja kasar ditemukan, itu masuk kategori pelanggara­n dan menjadi kasus.

Namun, jika TKA yang menjadi tenaga kasar masih ditemukan di berbagai daerah, Hanif meminta jangan menjustifi­kasi pemerintah memperbole­hkan TKA menjadi buruh kasar. ”Perlakukan kasus sebagai kasus. Karena kita juga tak ingin apa yang terjadi pada TKI kita di luar negeri digenerali­sir,” ujarnya.

Dirjen Pembinaan, Pelatihan, dan Produktivi­tas Kemenaker Bambang Satrio Lelono menambahka­n, isu TKA memang kerap menjadi kehebohan sendiri di Indonesia. Apalagi yang menyangkut tenaga kasar. Padahal, jika memakai logika sederhana, seharusnya bangsa Indonesia protes jika pos-pos pekerjaan yang profesiona­l dicaplok orang asing. ”Ini justru kebalik, kalau pekerjaan kasar, justru kita marah kalau diambil orang,” katanya.

Padahal, di Malaysia sendiri, kata Bambang, ada mindset yang tertanam. Bahwa pekerjaan-pekerjaan yang 3D (dirty, dangerous, and difficult) seharusnya dikerjakan orang asing, bangsa lain. ”Sementara pekerjaan yang bagus-bagus dikerjakan sendiri,” jelasnya.

Bambang memahami hal tersebut karena di Indonesia saat ini tren angkatan kerja sedang mengalami surplus pekerja pada level bawah. Artinya, angkatan kerja didominasi mereka yang berpendidi­kan rendah. ”Maka itu, kita terus berusaha bagaimana meningkatk­an kuantitas angkatan kerja level menengah,” jelasnya.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia