Menara Pandang Jadi Tempat Tinggal
Surabaya memiliki jalur transportasi sungai legendaris. Sungai Kalimas menjadi pusat perdagangan penting di ujung timur Pulau Jawa pada akhir abad ke-13. Sebagian bukti kemegahan itu masih bisa dilihat sampai sekarang.
KONDISI Jalan Kalimas Timur tampak sangat biasa. Belum diaspal, tanpa paving, dan bergelombang. Namun, dulu jalan di bantaran kali itu merupakan akses yang sangat penting dalam aktivitas perdagangan di Kalimas.
Salah satu peninggalan yang bisa terlihat sampai sekarang adalah menjamurnya pergudangan yang berdiri sejak lama. Sebagian gudang kuno yang berderet di sepanjang Kalimas Timur tak terawat. Selain usang, sebagian tembok bagian depan cuil. ”Itu (gudang-gudang, Red) banyak dimiliki keturunan Tionghoa. Masih dipakai sebenarnya,” kata Ketua RT 1, RW9, Kelurahan Nyamplungan, M. Latif saat ditemui kemarin (5/8).
Pria 60 tahun itu sempat mengajak Jawa Pos berkeliling di Kalimas Timur. Ada lebih banyak bangunan tua yang pernah menjadi tanda pusat perdagangan. Salah satunya, bangunan Menara Pandang. Bangunan bersejarah itu didirikan pada 1900-an. Menara sudah ditetapkan sebagai cagar budaya.
Menara Pandang itu saat ini menjadi bangunan yang paling mencolok bila dibandingkan dengan gedung lainnya. Lebarnya 6 meter dan tinggi 25 meter. Menara itu tidak berdiri sendiri. Ada bangunan dua lantai yang memanjang ke utara. Suasana dalam bangunan itu mirip lorong. Panjangnya sekitar 30 meter. Tinggi lorong tersebut separo menara. Tapi, keduanya menyatu.
”Menara itu jadi sarana mengawasi seluruh aktivitas bongkar muat di Kalimas. Jadi, sangat penting sekali keberadaannya,” kata Latif. Menurut dia, bangunan masih terawat hingga kini. Saat ini menara tersebut dihuni warga. Ada sekat-sekat kamar di dalamnya. ”Dari catatan saya, ada 10 KK (kepala keluarga, Red) yang tinggal di lantai 1 dan 2,” kata Latif.
Sisa kejayaan Kalimas yang bisa dilihat adalah bekas rumah kos untuk awak kapal. Lokasinya di Jalan Kalimas Udik. Bangunan tersebut bercorak kolonial. ”Kalau pengin lebih serem lagi, bisa mengamati crane putar,” tambah Latif. Jawa Pos sempat mengamati kondisi alat kuno yang memiliki tinggi sekitar 25 meter tersebut.
Dulu alat itu digunakan untuk bongkar muat. Sampai sekarang pun masih utuh. Hanya, kondisinya sudah tak begitu terlihat. Crane tersebut tertutup pohon besar.
Jalur perdagangan Kalimas juga terlihat dari rel kereta yang sebagian sudah tenggelam. Sisa bantalan sepur masih cukup banyak. Tapi, sebagian lainnya sudah tertutup bangunan liar. ”Kalau soal kereta, saya masih ingat. Kereta berhenti dan melakukan bongkar muat di pinggir sungai,” kata Latif. Menurut dia, kereta mengangkut barang milik pedagang di Pasar Pabean. Misalnya, padi dan kelapa.
Direktur Sjarikat Poesaka Soerabaia atau Surabaya Heritage Society (SHS) Freddy Handoko Istanto menerangkan, perkembangan sektor perdagangan Surabaya memang tak lepas dari keberadaan Kalimas. Sungai itu amat berpengaruh di zaman kolonial. Selain pedagang Nusantara, saudagar asing juga kepincut dengan kemegahan Kalimas. Mereka berasal dari Arab, Belanda, dan Tiongkok.
”Zaman dulu di sekitar Jembatan Merah itu ramai sekali penumpang kapal. Buktibuktinya ada,” tutur Freddy. Dosen Universitas Ciputra (UC) itu mencontohkan adanya undak-undakan di bibir sungai.