MAKAN LONTONG SISA KEMARIN
21 Desa Masih Terisolasi; Kebutuhan Makanan, Air, Tenda, dan Selimut Mendesak Korban Meninggal Terus Bertambah
JAKARTA – Amaq Suli bingung. Di tempat pengungsian kemarin (7/8), dia dan tujuh anggota keluarganya hanya memiliki sepuluh biji lontong untuk dimakan bersama
”Ini lontong sisa kemarin. Kami tidak berani habiskan. Biar ada buat makan besok,” kata pria paro baya yang sehari-hari bekerja sebagai kuli serabutan itu kepada Lombok Post (Jawa Pos Group) kemarin.
Lontong tersebut dibeli istrinya Rp 10 ribu. Beras sudah tidak ada. Masrah, istri Suli, mengaku membeli lontong dari sisa hasil menjual cilok sebelum terjadi gempa. ”Ini sekadar buat ganjel perut,” ujarnya pasrah.
Di kampung mereka, Dusun Limbungan Selatan, Desa Taman Sari, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, hampir semua bangunan rata dengan tanah. Akibat guncangan gempa 7 skala Richter (SR) Minggu malam lalu (5/8). Otomatis sejak Minggu malam lalu itu warga mengungsi.
Tapi, kini mereka mulai resah. Persediaan makanan yang mereka kumpulkan mulai menipis. Beras, gula, minyak goreng, dan laukpauk makin sedikit. Tidak akan cukup untuk beberapa hari ke depan. ”Sejak gempa, tidak ada bantuan yang datang. Baik dalam bentuk makanan, minuman, maupun tenda,” ungkap Suli.
Seperti dilaporkan Lombok Post,
korban akibat gempa memang merata di semua wilayah Pulau Lombok. Mereka tersebar di kampung-kampung, mengungsi di tanah kosong dengan tenda seadanya. Kemarin, dua hari setelah gempa, warga di berbagai penjuru Lombok mulai kekurangan stok makanan. Air bersih juga makin sulit didapatkan.
Kapusdatin dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyebutkan, ada 21 desa yang masih terisolasi dan membutuhkan bantuan. Delapan di antaranya berada di Lombok Utara. Warga membutuhkan makanan, terpal, selimut, air bersih, penerangan, obat-obatan, dan tenaga medis.
Tiga desa terisolasi lainnya ada di Lombok Barat. Mereka membutuhkan pula tenda, tikar, selimut, makanan, obat-obatan, genset, dan tenaga medis. Sepuluh desa lainnya ada di Lombok Timur. Mereka memerlukan dengan segera bantuan makanan, selimut, air mineral, makanan siap saji, MCK, obat-obatan, dan trauma healing.
Abdulrahim yang sedusun dengan Amaq Suli mengatakan, sejak hari pertama gempa, dirinya dan sebelas kepala keluarga lainnya bergotong royong membuat tenda dari terpal. Di sana mereka makan dan tidur bersama sekitar 50 orang dengan anak-anak. Kini stok makanan sudah hampir habis. Itu pun makanan yang disumbangkan keluarga dan kerabatnya. ”Mana listrik mati, rumah kami rusak pula,” ucapnya.
Abdulrahim mengaku sangat kecewa karena hingga kemarin belum datang bantuan. Karena kesal, dia dan warga lainnya baru saja menyampaikan protes kepada kepala desa setempat. Warga mendesak agar bantuan segera disalurkan. ”Di sini banyak anak kecil. Kasihan kalau malam mereka kedinginan,” ujarnya.
Kecamatan Gunung Sari masih satu jalur dengan Lombok Utara yang menjadi pusat gempa. Truktruk bantuan dari Mataram hanya melintasi desa mereka. Desa Taman Sari bisa diakses dengan menggunakan sepeda motor atau mobil. Hanya, lokasinya ada di bagian pedalaman. Lebih dekat dengan hutan.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB Muhammad Rum meminta aparat desa dan BPBD kabupaten aktif melaporkan data serta kondisi warga terdampak. Mereka harus tetap melapor ke Posko Tanjung. Bila pemerintah setempat tidak aktif mendata dan tidak melapor, bantuan dari pusat serta provinsi tidak bisa disalurkan. ”Penyaluran bantuan tidak boleh liar. Semua harus sesuai data,” tuturnya.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, angka korban meninggal dunia sudah mencapai 105 jiwa. Bukan hanya itu, korban luka juga meningkat sampai 236 orang. Sedangkan ribuan lainnya masih berada di pengungsian.
Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan bahwa data tersebut diperoleh dari laporan yang masuk sampai pukul 12.00 WIB kemarin. Selain korban meninggal dunia dan korban luka, evakuasi wisatawan dan masyarakat dari tiga destinasi wisata berlanjut kemarin. ”Sebanyak 4.636 wisatawan di Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno sudah dievakuasi sejak tadi malam (Senin, Red) pukul 20.00 WIB,” ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto juga memastikan bahwa evakuasi wisatawan asing dari Gili Trawa- ngan sudah rampung. ”Sudah dapat dievakuasi dengan selamat. Tidak satu pun yang meninggal,” ucap dia kemarin.
Wiranto juga memastikan bahwa sejumlah bantuan yang dibutuhkan korban gempa terus didistribusikan. Termasuk di antaranya bantuan untuk korban meninggal dunia. Berdasar hasil koordinasi seluruh kementerian dan lembaga, dapur umum serta pasokan logistik untuk pengungsi juga terus bertambah. Menurut Wiranto, petugas membagikan makanan sesuai dengan kemampuan pengungsi.
Yang tidak bisa memasak sama sekali diberi makanan jadi. Sedangkan pengungsi yang masih bisa memasak disuplai bahanbahan mentah. ”Sehingga kebutuhan utama, kebutuhan makan, dapat tercukupi,” imbuhnya.
Mantan panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) itu juga memastikan bahwa tenda untuk pengungsi tersedia. Data yang dia terima, sampai kemarin siang jumlah tenda dari TNI, Polri, BNPB, dan Kementerian Sosial (Kemensos) lebih dari 400 unit. Semuanya layak pakai.
Bukan hanya tenda, seratus genset dari BNPB juga sudah disebar ke berbagai wilayah terdampak gempa. Berdasar data BNPB, wilayah Kabupaten Lombok Utara dan Lombok Timur belum bisa dialiri listrik. Pemadaman terjadi lantaran beberapa gardu listrik rusak seusai gempa.
Sementara itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyampaikan, untuk sementara yang menjadi prioritas utama jajarannya ialah membangun sanitasi dan akses air bersih. Dia menilai persoalan tersebut akan menjadi masalah dalam satu dua hari ke depan. ”Ini orang satu dua hari masih diem, tiga hari gak ada sanitasi, air bersih, pasti ribut,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Untuk pembuatan sanitasi, pihaknya sudah mengirimkan sejumlah peralatan yang dibutuhkan dari Bali dan Surabaya Senin sore (6/8). Sementara untuk ketersediaan air bersih, jajaran Kemen PUPR akan melakukan pengeboran.
Basuki menambahkan, dari segi ketersediaan air, kawasan Lombok memiliki ketersediaan yang cukup. Sehingga secara teknis tidak ada persoalan. ”Di Lombok Utara banyak air, jadi masih bisa dengan sumur bor,” imbuhnya.
Lantas, bagaimana rekonstruksi bangunan rumah rusak? Basuki menjelaskan, saat ini pihaknya terus melakukan identifikasi. ”Apakah sama dengan Sembalun (gempa pertama, Red) Rp 50 juta per rumah? Harus dihitung dulu,” tuturnya.