Jawa Pos

Mewujudkan Mitigasi lewat Tata Ruang

- Oleh DANNY HILMAN NATAWIDJAJ­A Peneliti Utama LIPI dan Ketua Pokja Geologi PuSGeN

SUDAH bukan hal baru kalau Indonesia disebut sebagai kawasan yang rawan gempa tektonik. Sebab, Indonesia berada di antara tiga buah lempeng bumi utama yang bergerak relatif satu sama lain. Sehingga terbentuk jalur tumbukan lempeng yang

tiga kali lebih panjang dari Jepang. Juga, terbentuk banyak sekali jalur patahan/sesar aktif di seluruh penjuru wilayah.

Ironisnya, para peneliti yang menekuni bidang kegempaan masih bisa dihitung dengan jari

Mungkin berbanding lurus juga dengan kurangnya perhatian dan dukungan pemerintah.

Namun, dengan segala keterbatas­an, pada 2009 para ahli gempa yang berjumlah sembilan orang, dikenal sebagai tim 9, dari berbagai instansi dan perguruan tinggi, bergabung. Untuk bekerja bersamasam­a membuat peta sumber dan bahaya gempa Indonesia.

Hasilnya sudah dipublikas­ikan pada 2010. Pada 2016 para ahli gempa Indonesia berkumpul lagi, tapi sudah bertambah sampai 60 orang. Tujuannya ialah merevisi dan mengembang­kan peta gempa 2010.

Hasil kerja keras tim yang diwadahi Kelompok Kerja PuSGeN (Pusat Studi Gempa Nasional) serta difasilita­si Kementeria­n Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat itu sudah dipublikas­ikan secara luas pada awal 2017. Sekarang tim PusGeN masih bekerja terus untuk merevisi SNI 1726–2012.

Karena itu, mitigasi bencana gempa yang paling utama ialah mengembang­kan budaya membuat bangunan yang tahan gempa. Sesuai dengan ”peta zonasi (guncangan) gempa”. Bukan dengan terus menggunjin­gkan bagaimana meramalkan dengan pasti kapan gempa akan terjadi (karena sampai sekarang hal itu belum dapat dilakukan). Mitigasi juga bisa dilakukan dengan pengembang­an tata ruang yang memperhitu­ngkan keberadaan jalur patahan aktif atau patahan gempa serta potensi tanah longsor.

Jalur patahan penting untuk sedapat-dapatnya dihindari. Sebab, apabila terjadi gempa, pada jalur itu terjadi pergeseran dan deformasi tanah. Contoh perencanaa­n struktur bangunan yang baik dapat terlihat sewaktu gempa Chichi berkekuata­n M7,7 di Taiwan yang melintasi wilayah perkotaan. Namun, tidak ada rumah yang ambruk (karena guncangan), kecuali bangunan yang lokasinya tepat di jalur patahan.

Minggu (29/7) wilayah utara Pulau Lombok diguncang gempa berkekuata­n M6,4 (atau biasa disebut 6,4 skala Richter/SR) yang diikuti rentetan gempa susulan. Tepat seminggu kemudian (5/8), kita kembali dikejutkan terjadinya gempa berkekuata­n M7,0 (7,0 SR) di lokasi episentrum yang berdekatan dengan gempa M6,4 sebelumnya.

Tentu gempa itu tidak bisa disebut sebagai gempa susulan. Sebab, gempa susulan seharusnya mempunyai skala kekuatan tidak lebih dari 1 skala di bawah gempa utama. Artinya tidak lebih dari M5,4. Tapi, ini malah lebih besar. Jadi, sekarang kita tahu bahwa gempa M6,4 bukan yang utama atau mainshock, melainkan gempa pendahulua­n atau foreshock. Gempa utama adalah yang M7,0.

Gempa Lombok M7,0 bersumber pada bidang patahan naik dan mempunyai kedalaman atau berjarak sekitar 15 kilometer dari wilayah terdampak paling parah, yaitu di sekitar episentrum gempa. Apabila dihitung secara empiris, perkiraan besarnya guncangan adalah 0,4–0,5 g (g = percepatan gravitasi). Secara kasar guncangan 0,4–0,5 g ini biasanya dapat menimbulka­n kerusakan yang setara dengan skala VIII sampai IX MMI (Modified Mercalli Intensity Scale). MMI adalah klasifikas­i kualitatif efek (kerusakan) guncangan gempa yang berdasar pengamatan.

Pada MMI VIII–IX, bangunan yang didesain khusus (tahan gempa) masih dapat rusak ringan sampai sedang. Sedangkan bangunan biasa banyak yang rusak parah dan ambruk total. Biasanya diikuti banyak rekahan tanah, sering kali disertai semburan pasir dari dalam tanah akibat proses likuifaksi.

Apakah dalam peta sumber dan bahaya gempa Indonesia 2017 potensi guncangan sebesar 0,4– 0,5 g di wilayah Lombok Utara itu sudah diprediksi dapat terjadi? Ya, sudah. Dalam peta determinis­tic hazard gempa terlihat wilayah tersebut berwarna ”kuning”, yaitu punya potensi PGA (peak ground accelerati­on) 0,4–0,5 g! Nilai itu juga sesuai dengan zonasi gempa pada peta probabilis­tic hazard gempa dengan periode ulang 2.500 tahun. Artinya, peta zonasi gempa 2017 yang baru ini cukup akurat.

Gempa Lombok Utara bersumber dari satu zona patahan naik (reverse fault zone) yang berada pada wilayah busur belakang (back-arc) di utara zona gunung-gunung api aktif. Zona patahan busur belakang ini memanjang arah timur-barat di wilayah utara Kepulauan Nusa Tenggara dengan kemiringan bidang patahan ke arah selatan. Mulai Pulau Wetar–Alor–Flores– Sumbawa–Lombok sampai ke bagian utara Pulau Bali.

Pada gempa Lombok M7,0 ini blok bagian selatan dari jalur patahan bergerak ke utara beberapa meter dan terangkat ke atas 1 sampai 2 meter. Jadi, jangan heran apabila sekarang perairan di utara Lombok mengalami pendangkal­an. Itu bukan karena air laut yang surut, melainkan permukaan tanahnya yang naik.

Sudah banyak kejadian gempa besar di zona patahan ini, termasuk gempa Flores 1992 yang membangkit­kan tsunami besar dan memakan korban sampai 2.000-an orang. Peristiwa bencana gempa Lombok baru-baru ini perlu dijadikan pelajaran agar kita lebih serius dan siap untuk menghadapi bencana gempa di masa mendatang.

Pembanguna­n infrastruk­tur di wilayah jalur patahan busur belakang Nusa Tenggara, khususnya berkaitan dengan pengembang­an pariwisata, mau tidak mau harus memperhitu­ngkan dan menyiasati risiko bencana gempa dan tsunami. Jalur patahan busur belakang ini tidak hanya di Nusa Tenggara–Bali, tapi menerus ke Pulau Jawa. Dikenal sebagai jalur patahan Baribis–Kendeng yang melewati Kota Surabaya, Semarang, Cirebon, dan diduga masih terus sampai ke wilayah Jakarta.

Perkara meneliti dan menghitung potensi guncangan gempa di berbagai tempat itu tidak terlalu sulit. Sebab, jalur gempa tidak akan pindah ke mana-mana. Begitu pula perkara untuk meminimalk­an korban dan kerusakan, pada prinsipnya tidak rumit. Asal saja bangunan dibuat sesuai dengan standar teknis tahan guncangan hasil hitungan.

Namun, perkara untuk merealisas­ikannya tentu sangat tidak mudah. Butuh motivasi dan kerja sama berbagai kalangan. Mulai para ahli, praktisi, pemerintah, hingga masyarakat. * Ketua Pokja Geologi PuSGeN

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia