Hak Pilih Bisa Berkurang
Jika Pemilih Pindah Tempat Nyoblos
JAKARTA – Pemilih pindahan menjadi salah satu isu krusial dalam Pemilu 2019. Klausul pindah tempat memilih itu kemarin (7/8) menjadi bagian dari uji publik draf peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Ada dua PKPU yang diuji. Yakni, PKPU tentang pemungutan dan penghitungan suara pemilu serta PKPU tentang rekapitulasi suara pemilu.
Komisioner KPU Hasyim Asy’ari menjelaskan, ada perbedaan aturan pindah tempat memilih pada Pemilu 2019 jika dibandingkan dengan Pemilu 2014. Perbedaan utama ada pada surat suara. ”Untuk Pemilu 2014, pindah lintas kecamatan beda dapil dan kabupaten beda dapil mendapat empat surat suara. Sekarang hanya dua,” terang Hasyim. ”Semakin jauh perpindahannya, jumlah surat suaranya makin sedikit,” imbuhnya.
Pemilih pindahan merupakan pemilih yang telah terdaftar di DPT salah satu daerah tapi menggunakan hak pilih di daerah lain. Alasannya bermacam-macam. Bisa karena bekerja, belajar, sakit, atau bahkan menjadi terpidana. Pada pemilu kali ini mereka masih memiliki hak pilih. Namun, hak tersebut berkurang.
Sebagai gambaran, bila ada pemilih dari Kota Surabaya pindah memilih di Jakarta, dia akan kehilangan hak memilih untuk pemilu legislatif. Sebab, dia tidak tercatat di daftar pemilih tetap (DPT) atau pemilih tambahan di Jakarta. Pemilih tersebut tidak termasuk warga setempat yang kepentingannya akan diwakili para caleg dan senator di daerah tujuan. Karena itu, dia hanya akan mendapatkan hak pilih untuk pilpres (lihat grafis).
Untuk memastikan para pemilih pindahan tidak kehilangan hak pilih, KPU menyiapkan formulir A5. Formulir itu bisa didapatkan di panitia pemungutan suara atau KPU daerah asal, bisa juga diperoleh di KPU daerah tujuan pindah.
Dengan berbekal formulir tersebut, para pemilih pindahan bisa menggunakan hak pilih dengan normal di daerah lain mulai pukul 07.00 hingga 13.00. Berbeda dengan pemilih tambahan yang memang sejak awal tidak tercatat di DPT. Mereka baru bisa menggunakan hak pilih di satu jam terakhir sebelum tempat pemungutan suara (TPS) tutup.
Ketua KPU Arief Budiman menuturkan, pihaknya berkejaran dengan waktu untuk merampungkan dua PKPU tersebut. ”Tanggal 16 Agustus semua PKPU harus sudah diundangkan,” ujarnya seusai uji publik. Karena itu, KPU akan bekerja secara simultan untuk merampungkan PKPU tersebut. Apalagi, masih ada satu PKPU lagi tentang penetapan hasil Pemilu 2019 yang belum rampung.
Selain dikirim kepada pemerintah dan DPR, PKPU akan dikirim ke Kemenkum HAM untuk diundangkan. Setelah itu, KPU melakukan rapat konsultasi dengan DPR. ”Bilamana setelah diundangkan ternyata ada yang dianggap keliru dalam rapat konsultasi dengan DPR, kami terbuka untuk melakukan revisi,” lanjut komisioner dari Surabaya itu.
Untuk sementara, rapat konsultasi sulit dilakukan dalam waktu dekat karena DPR sedang reses. Sementara itu, UU 7/2017 tentang Pemilu mensyaratkan aturan turunan wajib rampung paling lambat setahun setelah UU rampung. UU Pemilu sendiri disahkan pada 16 Agustus 2017.