Puasa Ramadan dan Aspek Sosiologis
DALAM sebuah riwayat dinyatakan bahwa puasa Ramadan merupakan ibadah yang awalnya penuh rahmat (kasih sayang), pertengahannya penuh magfirah (ampunan), dan di ujungnya ’ithqun min nar (pembebasan dari azab neraka). Secara normatif, dalil tersebut menjadi sebuah keniscayaan yang diyakini dan diamini setiap muslim. Bahkan, dalil tersebut menjadi semacam revolusi harapan –meminjam istilah Erich Fromm– untuk menjadikan puasa Ramadan sebagai momentum religiusitas yang bisa meningkatkan kualitas keimanan.
Tetapi, menjalani puasa Ramadan tidak hanya berhenti pada pendefinisian laku spiritualitas yang bersifat tekstual. Diperlukan pemahaman dan penjelasan (interpretative understanding) secara kontekstual yang basis epistemologinya merujuk kepada aspek sosiologis. Hal itu penting dilakukan agar kita bisa menghayati sekaligus memanifestasikan apa yang dimaksud dengan rahmat, magfirah, dan ’ithqun min nar dalam keseharian kita.
Oleh karena itu, supaya puasa Ramadan menjadi cara pandang keagamaan yang sistemik, baik pada sisi teksual dan kontekstual, kita harus mengetahui makna sosial dari setiap fase yang dijalani selama puasa Ramadan.
Pemaknaan Sosial Pertama, fase rahmat adalah dimensi cinta kasih dan kelembutan hati yang kita lakukan kepada antar sesama. Sikap tersebut berkaitan dengan cara kita menjalin hidup harmoni dan toleransi di tengah keragaman, saling berbagi, dan saling menghargai antara satu dan yang lain. Dan, ketika kita bisa melakoni cinta kasih dan kelembutan hati kepada sesama manusia, kasih sayang Tuhan pun akan tercurah kepada kita.
Dalam kaitan ini, apa yang dilakukan sekumpulan umat Tionghoa di Situbondo, umat Budha di Makassar, dan umat beragama lain yang membagikan makanan takjil puasa kepada umat Islam adalah tindakan intersubjektif penuh empati untuk menjaga toleransi beragama dan sikap saling menghargai umat beragama.
Bahkan, baru-baru ini –pada bulan puasa Ramadan– apa yang dilakukan sekumpulan anak TK Katolik yang mengunjungi anak-anak TK Islam di Madiun untuk membangun solidaritas antariman (interfaith solidarity) sejak dini adalah bagian penting memupuk spirit kerahmatan. Pembiasaan keluhuran sikap kepada anak-anak TK yang diajarkan sejak dini menjadi pertanda kasih sayang (rahmat) untuk membentuk mental cross cutting affiliation. Setidaknya, cara itu bisa mengikis spiral absolutisme dan otoritanisme beragama yang selama ini melingkupi sebagian umat beragama.
Kedua, fase magfirah adalah sikap kerendahan hati untuk meminta maaf atau ampunan dan kemurahan hati untuk memaafkan setiap kesalahan serta kearifan menggunakan cara asertif ketika mengingatkan orang tentang kebenaran. Spirit mahfirah adalah cerminan diri kita bagaimana bersikap jujur dan sportif mengakui setiap kesalahan dan kekhilafan untuk diperbaiki.
Dalam kaitan itu, spirit magfirah sebagai ruang introspeksi diri harus kita kontekstualisasikan dalam kehidupan kita. Terlebih ruang sosial kita yang akhir-akhir ini kian dipengaruhi virus kerentanan dan pelintiran. Tersebab oleh efek domino pilpres yang hingga kini menunjukkan titik didih emosional yang memanas, antar pendukung nyaris kehilangan akal sehat dan budi pekertinya. Ditambah lagi, salah satu capres dan penyokong utamanya yang cenderung bertindak di luar koridor aturan main yang sudah ditentukan pelaksana pilpres kian menambah suasana kekisruhan semakin tak terkendali. Bahkan, ada yang merencanakan people power sebagai puncak pelampiasan kekecewaan terhadap tuduhan kecurangan pada 22 Mei yang bertetapan dengan 17 Ramadan.
Padahal, 17 Ramadan adalah kuartal kedua perjalanan puasa yang memasuki fase magfirah. Seharusnya kita bisa mengontrol diri dengan baik agar perjalanan spiritualitas kita meningkat. Selain itu, ketika persoalan pilpres dianggap penuh kecurangan. Sejatinya kita percayakan kepada pihak yang lebih otoritatif dan konstitusional dalam menyelesaikannya. Cara tersebut akan menjadi jalan keluar yang lebih santun dan menjadi bagian penting dalam mengekspresikan sikap tawakal kita kepada Allah.
Ketiga, ithqun min nar merupakan bonus pembebasan api neraka yang diperuntukkan kepada siapa pun yang dikehendaki Allah. Bila dalam kuartal ketiga bulan puasa ini ada sebuah malam kemuliaan (Lailatul Qadar) yang bisa diraih dengan cara iktikaf dan akumulasi ritme peribadatan secara konsisten, bagaimana kita mentransformasikannya kepada mekanisme spiritual yang bisa memungkinkan bagi terciptanya kesadaran pemberdayaan masyarakat dan kaum milenial pada era digital. Hal itu penting dilakukan agar ithqun min nar menjadi sebuah prevensi in optima forma dari dorongan berbuat keji dan mungkar dengan menggunakan media sosial.
Sebab, betapa banyak orang yang terpapar hoax, ujaran kebencian, dan konten negatif secara berantai hanya karena tidak arif dan kritis menggunakan media sosial sebagai sarana berkomunikasi dan berbagi informasi. Bahkan, pada bulan puasa sekalipun, masih masif lalu lalang semburan dusta (yang menyeret kita ke dalam dark social –meminjam istilah Alexis C. Madrigal– yang berdampak kepada kedengkian dan permusuhan.
Semoga ikhtiar kita dalam memahami dan menjelaskan (interpretative understanding) berbagai pesan puasa Ramadan dengan aspek sosiologis bisa memberikan pelajaran dan pencerahan berarti dalam hidup kita serta menjadi titik balik kesadaran kita untuk semakin bertakwa dalam arti yang sebenarnya. (*)