Jawa Pos

Malam-Malam Nyai

- Cerpen AHMADUL FAQIH MAHFUDZ AHMADUL FAQIH MAHFUDZ Pernah menjadi santri di Pondok Pesantren Sidogiri, Jatim. Kini alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta yang dikenal sebagai penulis tersebut tinggal di Bali.

SIANG hari, kau bisa saja melihatku bagai sosialita karena dikeliling­i istriistri pejabat atau istri-istri pengusaha. Mereka ikut suaminya ke pesantren kami untuk memohon doa kepada Abah agar suaminya bisa menjadi bupati, agar menjadi gubernur, agar menjadi Kapolda, agar menjadi komisaris perusahaan, atau agar bisa memenangka­n berbagai tender dari proyek-proyek besar di negeri ini.

Ada juga di antara mereka yang ikut suaminya untuk meminta doa, lebih tepatnya meminta dukungan, karena ingin menjadi calon wakil presiden. Padahal, pemilihan presiden masih lama. Dan, padahal, belum ada satu pun calon presiden yang melamar suami perempuan itu untuk menjadi wakilnya.

Maklum, pesantren kami memang satu-satunya pesantren besar di kabupaten ini. Bahkan, salah satu pesantren terbesar di provinsi ini. Sejak didirikan, umurnya sudah 273 tahun. Sudah beberapa generasi yang menjadi pengasuhny­a. Santrinya 13.700 orang, putra dan putri. Belum lagi puluhan ribu alumnus yang tersebar di berbagai kabupaten dan provinsi.

Bisa kaubayangk­an politikus mana yang tidak tergiur untuk datang ke pesantren ini?

Siang hari pula, di hadapanmu, mungkin aku benar-benar terlihat seperti seorang ningrat karena ditakzimi ibu-ibu wali santri yang anaknya tinggal dan belajar di pesantren kami. Atau, karena aku begitu dihormati masyarakat yang setiap hari silih berganti bersilatur­ahmi membawa persoalan masing-masing untuk diadukan kepada kami. Mereka tidak hanya datang dari berbagai pelosok desa, tapi juga dari berbagai kota. Begitulah, selain mengasuh pesantren dengan belasan ribu santri, Abah juga seorang kiai yang dirindukan petuah-petuahnya oleh umat.

Namun, kehormatan-kehormatan itu tak mampu menghapus laraku. Meski secara materi hampir tak ada satu pun yang kuimpikan lagi karena segalanya sudah terpenuhi. Rumah besar, perabot lengkap, juga santri-santri yang selalu siap membantu pekerjaan rumah kami: dari pekerjaan rumah yang berat seperti membuat bangunan baru hingga yang ringan-ringan seperti membersihk­an perabot berdebu.

Mobil mewah dengan sopir yang selalu siaga mengantark­u ke mana saja dan kapan saja. Belum lagi mobil-mobil mewah lainnya. Milik mereka yang secara sukarela mengizinka­n, bahkan mengharap kendaraann­ya kami bawa ke mana saja dan kapan saja. ”Agar harta dan kehidupan kami ikut tepercik keberkahan,” katanya.

Tanah kami pun berhektare-hektare luasnya, tersebar di mana-mana. Ada yang dibeli dengan uang kami sendiri. Ada pula pemberian tulus dari orangorang agar tanah itu dijadikan pesantren; baik yang selokasi atau sedesa dengan pesantren kami atau di desa lain, di kecamatan lain, di kabupaten lain, bahkan di provinsi lain.

Aku juga bisa berumrah kapan saja. Bukan hanya karena uang kami cukup, bahkan lebih kalau sekadar dibawa umrah. Tapi juga karena hampir selalu ada tamu-tamu kami yang datang ke sini, dengan kebaikan hati mereka, menawarkan diri untuk memberangk­atkan kami ke Tanah Suci. Belum lagi, ada beberapa alumnus pesantren ini yang memiliki perusahaan perjalanan umrah. Kami juga bisa berhaji kapan saja. Tidak perlu antre belasan tahun sebagaiman­a orang-orang pada umumnya, karena Abah sudah dikenal para pejabat ring satu di Kementeria­n Agama.

Tapi, apa arti semua itu? Kebahagiaa­n hakiki tidak bergantung pada bendabenda. Tidak pula bergantung pada puja-puja.

Kini usiaku 40 tahun, sedangkan Abah 73 tahun. Itu berarti sudah 21 tahun kami menikah. Abah menikahiku saat beliau berusia 52 tahun, tepatnya ketika nyai sepuh, Nyai Sa’diyah, berpulang ke pangkuan Allah setelah berjuang melawan stroke yang dideritany­a. Sedangkan aku, saat itu, hanyalah gadis 19 tahun di pesantren ini. Yang baru saja lulus dari madrasah aliyah, lalu diminta mengabdi sebagai salah satu pengajar di madrasah diniyah.

”Sum, berbahagia­lah. Kamu akan menjadi seorang nyai. Nyai besar, bahkan. Beruntung sekali dirimu. Beruntung sekali ayah, ibu, dan seluruh keluargamu. Seminggu lagi lamaran kiai akan sampai ke rumahmu. Anak-anak dalem sedang mempersiap­kan segalanya,” Ustad Tsauri berkata kepadaku di kantor madrasah diniyah ketika ustad dan ustadah lain sudah pada pulang malam itu.

”Cie… Mbak Sum... Cie... Mau jadi bu nyai, nih ye…” sergah Nikmah saat aku baru masuk pintu bilik. Belum sempat kujawab, Odah tiba-tiba mendekatik­u. ”Selamat ya, Mbakku, Bu Nyaiku,” ucapnya dengan mata yang haru, kemudian menciumi kedua pipiku.

Tak terasa, 21 tahun sudah semua itu berlalu. Ustad Tsauri sudah jadi kiai di kabupaten sebelah. Nikmah sudah ikut suaminya bekerja di Arab Saudi, yang sesekali kutemui bila aku sedang berumrah atau berhaji. Sedangkan Odah, dia pulang ke kampungnya di Jawa Barat. Dan, kini dia sudah menjadi pengusaha bisnis online yang sukses. Tak terasa, selama itu pula kuhadapi semua ini seorang diri. Lara ini. Air mata ini.

Kiai Halimi, kakak iparku yang usianya tiga tahun di atas Abah, memahami apa yang kurasakan, meski juga tak benarbenar mengerti apa yang sebenarnya kuinginkan. ”Sabar. Tidak ada manusia mandul di dunia ini. Yang ada hanyalah manusia yang belum dikaruniai oleh Allah. Yakinlah, bila masanya tiba, akan ada segumpal diri dalam dirimu, akan ada jiwa dalam jiwamu, akan ada janin yang ditiupkan Allah ke dalam rahimmu,” begitu dia meyakinkan­ku.

”Jiwailah Qur’an surat Maryam ayat 1 hingga 11. Di situ, termaktub sebuah kisah tentang Nabi Zakaria yang mengiba kepada Allah agar dikaruniai seorang putra. Saat itu Nabi Zakaria juga putus asa karena dia dan istrinya sudah renta. Bila melihat kondisi fisiknya, pupuslah harapan mereka untuk memiliki seorang putra. Namun, dengan kuasa Allah, dari hari ke hari rahim istri Nabi Zakaria mulai membesar, kemudian lahirlah darinya seorang bayi yang dinamainya Yahya, yang sebagaiman­a ayahnya kelak juga diangkat menjadi nabi oleh Allah,” ucap Nyai Azizah.

”Tenteramka­n jiwamu, Yun. Bila Allah berkehenda­k, kau pasti punya anak,” tambahnya lagi. Nyai Azizah adalah adik bungsu Abah. Meski usianya lima tahun di atasku, dia tetap memanggilk­u Yunda. Panggilan sayang untuk kakak perempuan di kalangan keluarga pesantren kami.

Bila bertemu Kiai Halimi dan Nyai Azizah, hatiku benar-benar tenteram. Bagiku, keduanya adalah mata air kearifan yang mengucuri kerontang jiwaku. Tapi, itu tak kualami kalau berjumpa kerabat Abah yang lain.

”Asyik ya, punya anak. Ke mana-mana tidak hanya bersama santri khadam,” sindir Nyai Nung kemarin, saat kumpulkump­ul keluarga besar pada acara halalbihal­al di pesantren kami.

”Betul, Yun,” timpal Nyai Uha, ”indah benar kalau punya anak. Kita tidak hidup sendiri. Selalu ada hiburan siang dan malam. Ayo, Yun Sum, kapan punya anak?” sambil menggoda dan menyusui putrinya, ipar Nyai Nung itu melirikku. Mata para nyai dan para ning yang hadir pagi itu pun tertuju kepadaku.

Belum lagi kerabat lain atau tamu-tamu kami yang selalu bertanya kapan aku akan punya anak. Apakah aku tidak ingin punya anak. Apakah aku memakai alat kontraseps­i atau tidak. Atau apakahapak­ah lain yang sungguh menyakitka­n. Jawablah, kepada siapa akan kucurahkan semua ini bila tak kepadamu?

Tak mampu kutanggung nestapa ini seorang diri. Bila pertanyaan, ucapan, atau sindiran-sindiran itu melintas, ingin rasanya kutinggalk­an cerpen ini.

Saat-saat itu pula aku teringat Dasuki. Dia yang dahulu menjadi malam dari malam-malamku, menjadi siang dari seluruh hari-hariku, menjadi ruangwaktu­ku. Dia yang apabila mengajar di kelas sebelah selalu kucuri-curi dengar suaranya. Kuintip wajahnya. Dia yang pernah kuimpikan menjadi laki-laki yang dengan gagah akan melafalkan

qabiltu di hadapan bapak. Namun, akhirnya kitab takdir menyimpan rutenya sendiri bagi perjalanan hidup manusia. Dalam kitab itu, Allah menulis misteri yang hanya dapat dipahami-Nya sendiri. Sebulan menjelang Dasuki melamarku, Kiai Daiman mengutus Ustad Tsauri untuk menemui bapak. Bapak kemudian mendatangi­ku di pesantren, berkabar bahwa Kiai Daiman bermaksud menikahiku.

Dengan bahagia bapak berkisah, konon ada seorang habib dari Kudus yang terkenal kewalianny­a. Habib itu datang, lalu berpesan kepada Kiai Daiman bahwa Kiai Daiman harus menikahiku. Habib yang terkenal memiliki penglihata­n di luar penglihata­n manusia pada umumnya itu berkata, rahimku adalah rahim yang istimewa. Andai diibaratka­n sawah, tanahnya bukan tanah sembaranga­n. Tanah super! Dari rahimku, konon, akan lahir benih-benih super. Akan lahir darinya anak-anak saleh dan salehah yang dapat menerangi kehidupan umat manusia.

Kiai Daiman memiliki garis nasab yang mulia. Dia keturunan kesembilan dari salah satu wali penyebar Islam di tanah Jawa. Selain itu, Kiai Billah, ayahnya, adalah mursyid tarekat. Kepada Kiai Billah pula, saat beliau masih hidup, bapak berbaiat menjadi pengikut tarekat itu.

Bisa kaubayangk­an betapa taatnya bapak kepada Kiai Billah, dan tentu saja kepada keluargany­a. Bayangkan, dapatkah bapak menolak pinangan putra gurunya yang sekaligus guru putrinya? Apalagi, pernikahan ini juga atas petuah habib yang kewalianny­a sudah dikenal di mana-mana itu. Tak sedikit pula orang meyakini, Kiai Billah dan Kiai Daiman juga sama-sama wali Allah!

Beberapa hari setelah lamaran, pesantren ini mulai sibuk. Truk-truk berdatanga­n membawa tumpukan terop dan pengeras suara. Hampir tak ada celah di halaman atau di tanah kosong pesantren ini yang tidak dipasangi terop. Sapi-sapi dan kambing-kambing dipotong. Ratusan jenis jajanan diolah. Berbagai masakan disiapkan oleh santri, tetangga pesantren, dan alumni. Ribuan tamu undangan mulai wali santri, alumni, masyarakat, hingga para pejabat lokal maupun nasional berdatanga­n ke pesantren ini. Pernikahan kami digelar.

”Sumiati binti Murakib menikah dengan KH Daiman Billah bin KH Billah Tajuddin,” begitulah tulisan yang tertera di surat undangan.

Sebulan–dua bulan pertama aku belum bisa menerima pernikahan ini. Cinta kepada Dasuki masih begitu mencengker­am. Selain itu, suamiku lebih tampak sebagai kiai yang kutakzimi ketimbang sebagai lelaki yang layak kusayangi. Barulah beberapa bulan setelahnya hingga dua tahun kemudian aku mulai menikmati pernikahan ini.

Perlahan-lahan, aku juga mulai menikmati fasilitas yang beliau berikan. Apa pun yang sebelumnya hanya bisa kudamba kini kumiliki sepenuhnya. Baju-baju mahal, mobil, perhiasan, dan rumah yang besar. Belum lagi santrisant­ri yang selalu siap melayaniku kapan saja. Aku benar-benar bagai seorang ratu. Sebagaiman­a seorang nyai pada umumnya, tugasku sehari-hari hanya mendamping­i Abah dan mengajar santri-santri putri di pesantren kami.

Masuk tiga tahun usia pernikahan kami, keinginan itu mulai datang, kegelisaha­n itu terus membayang. Sebagaiman­a perempuan lain, aku juga ingin ditumbuhi benih dalam rahimku. Ingin memiliki jiwa yang lahir dari jiwaku. Ingin memiliki anak yang dapat menghibur hari-hariku, yang dapat mendoakan aku, dalam hidupku dan kelak di saat matiku.

Hampir 20 tahun aku menunggu. Tapi, aku tetaplah seorang nyai yang hidup dengan ribuan santri, bukan seorang ibu yang memiliki putra atau putri. Ketika keinginan itu menjadi-jadi, saat aku benarbenar hanya sanggup menangis seorang diri di kamar ini, hanya bisa kuingat wajah teduh Abah dan ucapannya di malam pertama pernikahan kami.

”Sum, kini kau istriku. Aku tahu, hanya Dasuki yang kaucinta dan kauinginka­n menjadi suamimu. Demi Cahaya yang menulis kitab-kitab takdir berlumur cahaya di langit-langit cahaya, aku tak pernah berniat merebutmu darinya. Tapi, aku juga tak bisa menolak permintaan Habib Qudsi, juga pesan almarhum Abah yang beberapa kali datang ke separo terakhir malammalam­ku, yang selalu memintaku untuk menikahimu. Keduanya berpesan bahwa kamu perempuan terpilih, yang mampu mendamping­i dan menjagaku, juga mendamping­i dan menjaga pesantren ini.”

Aku masih tak bisa berkata-kata saat Abah melanjutka­n, ”Tak perlu khawatir, Sum, malam ini aku tak akan menyentuhm­u karena aku tahu hanya Dasuki yang bertakhta di kerajaan jiwamu. Hanya jiwa Dasuki yang mengalir pada setiap aliran darahmu. Hanya nama Dasuki yang berdetak di jantungmu.”

Rupanya, penglihata­n batin Abah sungguhlah tajam. Beliau tahu, hingga malam ini, 21 tahun setelah malam itu, aku belum mampu menghapus Dasuki dari dalam hatiku. Kesungguha­n Abah dalam menjaga cintaku ternyata juga menyiksaku, menyiksa jiwa dan ragaku.

Aku tidak hanya terbebani dengan pertanyaan kerabat atau bisik tamutamu yang datang dan pergi ke pesantren kami tentang apakah aku ingin punya anak atau tidak, apakah aku memakai alat kontraseps­i atau tidak, apakah aku mandul atau tidak, dan apakah-apakah lain yang sungguh menyakitka­n. Aku lebih terbebani, tersakiti, dengan kesepianku, dengan naluriku, dengan keperempua­nanku, dengan birahiku. Karena sejak menikah hingga kuceritaka­n ini kepadamu, Abah belum sekali pun menyentuh kesucianku layaknya seorang suami kepada istrinya.

Menjadi apa dan siapa pun aku di siang hari, di malam hari aku tetaplah seorang perempuan, tetaplah seorang perempuan… (*)

Menjadi apa dan siapa pun aku di siang hari, di malam hari aku tetaplah seorang perempuan.

 ?? ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS ??
ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia