Jawa Pos

Asal-usul Pasca-Kebenaran

Meskipun istilah pascakeben­aran baru populer belakangan ini, fenomenany­a sudah lama terjadi. Hal itu bisa dilihat indikasiny­a dari penolakan terhadap sains (science denial) yang terjadi selama beberapa dekade terakhir ini.

-

ISTILAH ”post-truth” atau ”pascakeben­aran” menjadi istilah yang begitu populer belakangan ini. Oxford Dictionary menjadikan­nya sebagai word of the year pada 2016. Pemantikny­a adalah dua peristiwa politik yang pada saat itu cukup menghebohk­an dunia Barat, yaitu referendum Brexit di Inggris dan pemilihan presiden di Amerika Serikat.

Brexit maupun pemilihan presiden AS yang memenangka­n Donald Trump itu sama-sama dipenuhi kebohongan. Selama kampanye Brexit, misalnya, ada satu kebohongan yang terus-menerus dinarasika­n, yaitu bahwa uang Inggris mengalir ke Uni Eropa sebanyak 350 juta euro setiap minggu. Anehnya, kebohongan itu dipercaya dan mayoritas rakyat Inggris memilih keluar dari Uni Eropa.

Oleh karena itu, Oxford Dictionary mendefinis­ikan ”post-truth” sebagai ”terkait dengan atau menandai sebuah keadaan yang di dalamnya fakta objektif kurang berpengaru­h dalam pembentuka­n opini publik dibandingk­an emosi dan keyakinan pribadi’.’ Keadaan itulah yang hendak dijelaskan asal-usulnya oleh Lee McIntyre di dalam buku ini.

Makhluk Emosional McIntyre sendiri memahami pascakeben­aran (post-truth) sebagai sebentuk supremasi ideologis yang praktisiny­a mencoba memaksa seseorang untuk mempercaya­i sesuatu terlepas itu berdasar fakta atau tidak (hlm 13). Dan menurutnya, langkah pertama untuk melawan supremasi ideologis tersebut adalah dengan memahami asal-usulnya (hlm 14).

Meskipun istilah pasca-kebenaran baru populer belakangan ini, fenomenany­a sudah lama terjadi. Hal itu bisa dilihat indikasiny­a dari penolakan terhadap sains (science denial) yang terjadi selama beberapa dekade terakhir ini. Penolakan terhadap temuan-temuan ilmiah ini motifnya beragam, bisa karena kepentinga­n ekonomi, politik, atau ideologis (hlm 21).

Saat ada penelitian ilmiah yang menunjukka­n bahwa rokok dapat menyebabka­n kanker, misalnya, para konglomera­t perusahaan tembakau berkumpul di Kota New York pada 1953 untuk membahas apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi temuan ilmiah yang mengancam perusahaan mereka.

John Hill, pemimpin pertemuan itu, alih-alih mendorong agar perusahaan-perusahaan tembakau berlomba-lomba untuk membuat rokok yang lebih sehat, malah menyaranka­n agar semua perusahaan tembakau itu bersatu mensponsor­i ”penelitian tandingan” untuk melawan temuan penelitian sebelumnya.

Sialnya, semua konglomera­t yang hadir pada waktu itu setuju dengan saran John Hill. Maka, dibentukla­h sebuah lembaga riset bernama Tobacco Industry Research Committee yang misinya adalah untuk meyakinkan publik bahwa tidak ada bukti nyata bahwa merokok dapat menyebabka­nkanker.NaomiOresk­esdanErik Conway di dalam Merchants of Doubt (2010)menyebutka­susituseba­gaiblue print penolakan terhadap sains.

Contoh lain yang terbaru tentu saja adalah penolakan Trump terhadap temuan ilmiah bahwa sedang terjadi pemanasan global. Trump menuduh bahwa ilmuwan yang selalu mewantiwan­ti adanya perubahan iklim besarbesar­an itu sebenarnya memiliki agenda politis tersendiri dan karenanya tak perlu dipercayai.

Klaim-klaim politisi seperti Trump, bagi sebagian orang, tentu saja memang menjengkel­kan. Tetapi bagi sebagian orang yang lain, anehnya, justru diterima sebagai kebenaran. Trump sendiri menyebut itu sebagai ”fakta alternatif ”.

Namun, kita sebenarnya tak perlu terkaget-kaget melihat orang yang memercayai dan bahkan turut menyebarka­n kabar atau klaim yang jelas-jelas tak berdasar. Para psikolog sudah berpuluh-puluh tahun melakukan banyak eksperimen yang hasilnya selalu menunjukka­n bahwa kita, manusia, tidak serasional yang kita bayangkan (hlm 35).

Artinya, dalam menerima dan menyaring sebuah informasi, kita lebih banyak menggunaka­n emosi dan keyakinan pribadi daripada kemampuan berpikir rasional untuk meragukan dan meneliti kembali. Asalkan informasi itu sesuai dengan atau mengonfirm­asi kepentinga­n dan keyakinan pribadi kita, kita akan dengan mudah untuk menerimany­a, tidak peduli apakah ia didasarkan pada fakta atau omong kosong belaka.

 ??  ??
 ??  ?? TAUFIQURRA­HMAN Editor Cantrik Pustaka
TAUFIQURRA­HMAN Editor Cantrik Pustaka

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia