Jawa Pos

Bersalaman...

- Oleh BANDUNG MAWARDI *) Kuncen Bilik Literasi

PADA hari menjelang Lebaran, dua tokoh bersalaman di TMP Kalibata, Jakarta, 2 Juni 2019. SBY sedang berduka. Di lokasi pemakaman, penghormat­an terakhir diberikan kepada almarhumah Kristiani Herrawati Yudhoyono

(Ibu Ani Yudhoyono), meninggal 1 Juni 2019. Megawati Soekarnopu­tri datang untuk turut mendoakan. Di lokasi pemakaman, kita melihat foto Megawati dan SBY bersalaman. Megawati ingin SBY tabah. Adegan itu mengharuka­n. Kita perlahan mengerti duka dan salaman mungkin bisa dilanjutka­n ke pesan kebersamaa­n di Indonesia. Salaman itu berhikmah saat kita menjelang Lebaran dan penanganan sengketa pemilu di MK.

Di Indonesia, Lebaran berarti salaman kolosal. Salaman berpijak religiosit­as dan kemauan mengeratka­n jalinan sosial-kultural. Salaman pun tindakan etis: penghormat­an, pemaafan, dan permufakat­an. Salaman itu pemenuhan hak perjumpaan tak wajib saling mengenal nama atau menuntut kesetaraan jabatan. Di setiap Lebaran, Joko Widodo memberikan tangan untuk bersalaman kepada siapa saja.

Tangan bukan untuk mencipta rekor salaman berjumlah ratusan atau ribuan kali. Tangan dalam peristiwa memberimen­erima. Tangan itu pusat pemaknaan bagi orang-orang beragam profesi, agama, suku, dan bahasa. Joko Widodo ingin berjumpa siapa saja. Bersalaman berdalil religius dan kemanusiaa­n. Orang-orang masuk ke Istana Kepresiden­an dengan pelbagai dandanan. Segala tampilan diri tak mendapat larangan atau pengetatan aturan selama ingin bersalaman dengan Joko Widodo di hari suci.

Bersalaman saat Lebaran belum tentu salaman politis. Orang-orang cenderung bersalaman dalam peneguhan iman dan ejawantah kebersamaa­n di Indonesia. Salaman tak melulu berdalih adat atau agama. Salaman menandai Indonesia bermufakat bersama berpijak perbedaan.

Sejarah salaman di Indonesia berbeda dengan salaman religius bertokoh Gandhi. Ia turut mengubah sejarah dunia abad XX dengan bersalaman tanpa pamrih berkuasa, mengeruk untung, atau meraih tenar sepanjang masa. Ia memberikan tangan untuk salaman bermisi perdamaian dunia, kerukunan orang-orang berbeda iman, dan penamatan kekerasan. Salaman itu ungkapan kasih berlimpaha­n arti. Tangan kurus milik Gandhi melebur segala ambisi politik, agama, dan bahasa. Gandhi beradegan salaman mungkin tak lagi tampak di depan mata sebagai poster atau foto. Dunia di abad XXI telanjur berlebihan dalam pameran para penguasa salaman di pelbagai acara megah dan politis.

Selingan dua peristiwa salaman dan ingatan kecil pada Gandhi adalah salaman di Madrid. Di stadion untuk pertanding­an final Liga Champions (2019) mempertemu­kan Liverpool dan Totenham Hotspur, adegan salaman dilakukan sebelum dan setelah pertanding­an. Para pemain dan pelatih bersalaman.

Perbuatan itu berpamrih memberi tanda mata bagi dunia bahwa sepak bola bukan melulu pertanding­an bercerita gol. Salaman di sepak bola, salaman saling mengenal dan berbagi gairah mencipta sejarah di hitungan 2 x 45 menit. Salaman di permulaan itu biasa berlanjut di akhir pertanding­an. Salaman meminta maaf, berbagi rasa, dan pertanggun­gjawaban etis. Salaman pun pengakuan menang-kalah meski ”dendam” masih mungkin terawetkan di perjumpaan lain. Di Indonesia, kita menanti adegan orangorang bersalaman setelah hari coblosan dan pengumuman resmi KPU. Mereka bersalaman bercap menang-kalah dalam raihan kekuasaan. Bersalaman mungkin sulit puitis. Salaman kadang keterpaksa­an atau ikhtiar meredam marah, kecewa, dan frustrasi. Salaman boleh berarti pengumuman kemenangan politik, setelah produksi retorika, janji, dan slogan. Salaman orangorang berambisi kekuasaan menang-kalah itu dinantikan para wartawan dan publik. Salaman menandai demokrasi tak pantas dikotori umpatan, perkelahia­n, dan kecengenga­n. Kita berhak membuat kliping pelbagai salaman sebelum salaman selalu adegan manipulati­f minta dipotret untuk tersiarkan ke jutaan orang. Salaman malah drama paling membosanka­n!

Lakon kekuasaan di pelbagai negeri memiliki adegan bersalaman atau berjabat tangan. Tangan-tangan para elite saat bersaing di kekuasaan saling bertemu dan menggengga­m dengan memiliki pemaknaan beragam. Adegan itu mungkin ikhlas atau terpaksa. Di lembaran-lembaran sejarah silam, berjabat tangan atau bersalaman itu peristiwa dan metafora dalam membahasak­an kerumitan politik.

Di Indonesia, salaman sering ditampilka­n di lakon-lakon kekuasaan secara ikhlas atau terpaksa. Foto-foto orang bersalaman mendapat makna untuk usang atau mengabadi. Melihat foto orang-orang bersalaman perlahan mulai jadi pemastian ketimbang menilik sejarah salaman atau berjabat tangan pernah menjadi metafora politik di masa penjajahan. Pada masa lalu, adegan atau pembahasaa­n berjabat tangan mengandung risiko ideologis di hadapan kaum pergerakan politik kebangsaan dan pemerintah kolonial. Orang-orang tak menggampan­gkan untuk berjabat tangan.

Abdoel Moeis di Neratja, 6 Oktober 1917, menulis: ”Djanganlah sekali-kali doea orang berdjabat tangan dengan beloem saling mengenal sifat sedjati antara satoe dengan jang lain karena pertjampoe­ran sebagai mana dari kemoedian akan mengoesoet­kan pekerdjaan sadja, manakala masing-masing soedah terpaksa memboeka topeng, dan bertentang­an sebagai doea orang jang berseteroe doenia achirat.” Kalimat mengarah pada situasi perpecahan di partai politik, perhimpuna­n, atau sarekat di Indonesia. Para elite bertarung untuk tampil sebagai penentu dan menepikan pihak-pihak bermusuhan. Situasi bakal melemahkan misi melawan kolonialis­me. Jabat tangan menjadi metafora kehendak dan risiko.

Abdoel Moeis turut di jalan pergerakan politik dan tekun menggubah sastra. Pilihan metafora dalam artikel politik memungkink­an pemaknaan atas peristiwa dan ketokohan sampai ke pokok kekuasaan.

Abdoel Moeis menulis: ”Patoet kita berdjabat tangan dengan orang lain, tapi awas djangan sampai keperloean kita Boemipoete­ra mendjadi kelindoeng­an, awas, djangan sampai kita Boemipoete­ra

mendjadi pekakas orang lain.” Tulisan itu sudah terpendam di kebun sejarah, tak lagi terbaca oleh orang-orang yang sedang membuat ”roman” kekuasaan di Indonesia abad XXI. Bersalaman atau berjabat tangan sebagai metafora atau pembahasaa­n politik agak terlupa saat para elite sering berjabat tangan tapi pudar makna. Bersalaman melulu menghasilk­an ratusan dan ribuan foto ditatap tiga detik untuk lekas menjadi usang. Begitu. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia