Deteksi Kanker Kulit dengan Cahaya
Dosen dan mahasiswa Departemen Teknik Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menciptakan multispectral imaging (MSI). Metode tersebut mampu digunakan untuk mendeteksi kanker kulit dengan teknologi cahaya.
SEPTINDA AYU
TIM Peneliti Biomedical Optics Laboratorium Rekayasa Fotonika Departemen Teknik Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terlihat sibuk dalam uji coba penelitiannya di bidang multispectral imaging (MSI) Rabu (29/5). Ada dua prototipe MSI yang dibawa di Laboratorium Rekayasa Fotonika saat itu. Yakni, prototipe MSI 1 dan 2.
Dua prototipe tersebut merupakan inovasi yang dikembangkan untuk melihat berbagai panjang gelombang dan tingkat perubahan jaringan. Salah satu fungsinya mendeteksi dini kanker kulit.
Mereka adalah Dr rer nat Aulia MT Nasution, Iwan Cony Setiadi ST MT, dan Theodore Gautama Chandra. Mereka meneliti MSI sejak 2016 hingga memunculkan prototipe MSI 1. Kemudian, dengan dana hibah ITS, pada 2018 penelitian dikembangkan hingga muncul prototipe MSI 2. ’’Prototipe MSI 2 ini sudah lebih simpel secara bentuk,’’ kata Kaprodi Pascasarjana Departemen Teknik Fisika ITS Aulia.
Aulia menyatakan, sistem MSI sebenarnya merupakan teknologi satelit yang sudah ada 10 tahun lalu. Namun, di Indonesia belum banyak yang mengembangkannya. ’’Kami mencoba menggunakan teknologi yang lebih murah,’’ katanya.
Dalam inovasinya tersebut, Aulia bersama timnya menggunakan lampu LED infrared serta kamera monokrom (hitam dan putih) dengan lensa objektif untuk pembesaran atau zooming. ’’Ini prototipe pertama
Bentuknya masih besar karena untuk penelitian,’’ ucap Aulia sambil menunjukkan prototipe MSI 1 kepada Jawa Pos.
Aulia menjelaskan, inovasi MSI yang diciptakan saat ini digunakan untuk studi dermatologi. Penelitian tersebut menggunakan tiruan perilaku kulit (jaringan tiruan). ’’Ini masih uji coba skala laboratorium,’’ jelasnya.
Sampel penelitian dengan sistem MSI itu diaplikasikan untuk membedakan pola penciri nevus (tanda lahir/tahi lalat). Sebab, nevus sendiri jarang sekali bisa menjadi cikal bakal kanker kulit. Karena itu, teknologi tersebut dapat mendeteksi kanker kulit lebih dini. ’’Kami sudah validasi dengan berbagai pengukur nevus dan hasilnya juga akurat. Namun, untuk diaplikasikan pada manusia, harus melibatkan dokter kulit,’’ katanya.
Aulia menambahkan, prototipe 1 masih menggunakan khusus spectral. Sementara itu, prototipe 2 sudah menggunakan artificial intelligent (AI). AI sangat membantu memudahkan pengenalan. Jika sebelumnya dari sisi hardware hanya mengolah data, kini prototipe 2 sudah menginterpretasikan setiap kasus. ’’Yang saat ini diteliti untuk klasifikasi kanker kulit dan tahi lalat,’’ katanya.
Berdasar informasi dari dokter kulit, lanjut dia, kanker kulit bisa dilihat dari tiga karakteristik. Yakni, warna, tekstur, dan bentuk kulit. Misalnya, ada indikasi perubahan warna atau tidak, tekstur kasar atau tidak, serta bentuk tahi lalat itu sendiri. ’’Kasus-kasus tersebut dimasukkan ke database (big data) untuk dipelajari software-nya. Ini yang dinamakan AI dan sedang diteliti Theodore,’’ paparnya.
Banyaknya kasus yang masuk ke database semakin mudah mendiagnosis penyakit tersebut. Saat ini Theodore masih melakukan penelitian untuk dua klasifikasi. Yakni, kanker kulit atau tidak pada penciri nevus. ’’Sebenarnya ini perlu kolaborasi dengan tim medis yang punya banyak kasus kulit,’’ katanya.
Aulia menuturkan, ide inovasi tersebut memang ditujukan untuk deteksi dini kanker kulit. Harapannya, semakin dini dideteksi, angka kematian akibat kanker pun berkurang. Dengan begitu, biaya perawatan kanker dengan menggunakan BPJS Kesehatan bisa dihemat. ’’Kalau belum parah, kemungkinan sembuh lebih tinggi,’’ tuturnya.
Iwan menambahkan, Indonesia merupakan negara tropis. Risiko terkena kanker kulit akibat paparan sinar matahari lebih tinggi. Padahal, deteksi kanker kulit umumnya membutuhkan prosedur yang cukup panjang. ’’Alat ini keunggulannya noninvasif, simpel, dan real time. Akurasinya lebih dari 90 persen,’’ tambahnya.