Idul Fitri dan Rekonsiliasi Anak Negeri
Momen Idul Fitri 2019 harus menjadi pembelajaran bahwa seluruh anak negeri adalah bersaudara dan bertetangga. Apa pun perbedaan pilihan politik yang pernah terjadi harus dimaknai sebagai perilaku insidental yang tidak sampai mengesampingkan keteraturan so
IDUL Fitri hadir di saat bangsa Indonesia baru saja menghelat pemilu. Kondisi itu memosisikan Idul Fitri tidak hanya menjadi momentum kultural-ideologis, tetapi juga sosialpolitis. Fenomena tersebut semakin tak terbantahkan setelah Istana Kepresidenan RI memastikan bahwa Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto mungkin bertemu setelah Lebaran (Jawa Pos, 1/6/2019). Idul Fitri tidak hanya mempertemukan sanak saudara dan kolega, tetapi juga mempertemukan anak negeri dan tetangga kanan kiri yang baru terpecah hatinya karena perbedaan pilihan politik.
Kadar pengetahuan politik anak negeri ini yang berbeda antara satu dan yang lain berdampak pada pemahaman dan sikap politik yang berbeda pula sehingga memunculkan perilaku politik yang beragam. Keragaman perilaku politik tanpa disertai kedewasaan dan kesadaran politik yang memadai terbukti telah menghasilkan pranala dan buahbuih politik yang mudah terombangambing. Sebagai implikasinya, selebrasi Idul Fitri sebagai local wisdom yang selama ini berjalan penuh sukacita sayup-sayup bercampur nestapa. Dampak Antagonisme Politik
Adagium paling ramping sekaligus doa yang selalu terartikulasi secara tulus ketika bertemu dengan yang lain adalah min al-’aidin wa alfaizin. Dulu doa tersebut monotafsir karena bermakna tunggal ”semoga menjadi orang yang kembali suci dan menjadi pemenang dalam melawan hawa nafsu”.
Doa itu dilantunkan di mana saja dan kapan saja selama Lebaran berlangsung. Sekarang doa tersebut multitafsir dan mengalami reinterpretasi makna menjadi ”semoga kembali terpilih lagi dan menjadi pemenang pileg serta pilpres”. Pelantunannya memiliki resistansi sosial baru di hadapan pihak yang tidak memiliki kesenyawaan gagasan. Perbedaan pilihan politik paralel dengan pergeseran mindset berkehidupan sosial.
Hal ini mempertegas rumusan Merriam-Webster Dictionary bahwa politics is a multifaceted word. It has a set of fairly specific meanings that are descriptive and nonjudgmental, but it can and often does carry a negative meaning (politik adalah sebuah kata multi tampilan. Ia memiliki seperangkat makna khusus yang fair,
yakni deskripsi dan tidak menghakimi. Tetapi, ia dapat dan sering membawa makna negatif ). Pergeseran pemaknaan doa dari monotafsir menjadi multitafsir yang kemudian manifes dalam bentuk pilihan politik dan hukum tak lepas dari interkoneksi antarnilai dan peradaban. Rudolph von Jhering dalam the Struggle of Law menyatakan, hukum terbentuk bukan saja karena aktualisasi budaya masyarakat, tetapi juga hasil interaksi antarnilai.
Dalam konteks Indonesia, interaksi antarnilai sering melibatkan entitas genuine yang direpresentasikan oleh keterikatan diri terhadap nilai lama yang mapan dan faktor non-genuine yang digelorakan pilihan politik baru. Interkoneksi antar keduanya memunculkan tampilan baru yang kadang akomodatif terhadap nilai lama dan kadang berwajah antagonis. Karakter antagonisme politik inilah yang terbukti telah mencerai-beraikan kebersamaan antarkolega dan tetangga. Berbeda dengan umumnya yang terjadi antar-sanak saudara ”jauh di mata dekat di hati”, maka antagonisme politik memunculkan stigma baru ”dekat di mata teramat jauh di hati”.
Silaturahmi dan Rekonsiliasi Antagonisme politik nasional yang baru saja mendistorsi komunikasi antar-anak negeri sudah saatnya ditinggalkan. Indonesia adalah negara heterogen. Ia bisa menjadi kartu truf bagi kecemerlangan negeri ini. Sekaligus bisa menjadi kata kunci bagi keterbelakangannya. Komitmen masyarakat untuk melepaskan diri dari belenggu antagonisme politik dan segera merapatkan barisan untuk membangun kebersamaan adalah prioritas utama bagi warga bangsa. Jika mengaku nasionalis tetapi mempersulit terwujudnya silaturahmi sesama warga bangsa, jelas dia tidak memperoleh legitimasi atas klaim nasionalismenya.
Sebagai upaya untuk merajut kebersamaan nasional diperlukan kontekstualisasi makna Idul Fitri. Idul Fitri yang pada awalnya bersifat homogenik, sebatas menjadi media bertemunya sanak saudara semarga, menjadi heterogenik, yaitu bertemunya mitra-kolega lintas budaya sesama warga negara, terlebih para tetangga. Tetangga adalah kerabat terdekat dalam rangkaian mata rantai kehidupan manusia. Memperbaiki interaksi dengan tetangga bukan hanya tuntutan kehidupan bernegara, tetapi juga kehidupan beragama. Muhammad SAW menyatakan, salah satu indikator seseorang beriman kepada Allah SWT adalah harus berinteraksi secara baik dengan tetangga (falyuhsin ila jarihi).
Begitu tingginya peran tetangga bagi kehidupan manusia, dalam terminologi ilmu hukum dikenal
the neighbours principle. James Richard Atkin seperti disitasi Richard Castle dalam Lord Atkin and The Neighbour Test (2019) menyatakan,
every man ought to take reasonable care that he does not injure his neighbor, wherever a man receives any hurt through the default of another, the law gives him an action to recover damages for the injury so sustained (setiap orang harus memberikan perhatian yang wajar bahwa dia tidak melukai tetangganya, di mana pun seseorang mengalami luka karena kelalaian orang lain, hukum memberinya suatu tindakan untuk memulihkan kerusakan).
Momen Idul Fitri 2019 harus menjadi pembelajaran bahwa seluruh anak negeri adalah bersaudara dan bertetangga. Apa pun perbedaan pilihan politik yang pernah terjadi harus dimaknai sebagai perilaku insidental yang tidak sampai mengesampingkan keteraturan sosial kultural. Silaturahmi bukan hanya ajang reuni keluarga, tetapi juga rekonsiliasi nasional bagi seluruh komponen untuk merajut kembali kehidupan berbangsa dan bernegara.