Jawa Pos

Akun Radikal dan Mekanisme Self-help Warganet

Ketika peredaran konten radikal makin intens dan membahayak­an integrasi sosial, berbagai upaya terus dilakukan untuk mengelimin­asi risiko yang timbul. Setelah Google dan Twitter, kini YouTube dilaporkan juga sepakat melakukan hal yang sama, yakni membloki

- RAHMA SUGIHARTAT­I *)

PLATFORM konten video online yang paling populer itu akhirnya sepakat memblokir saluran-saluran penyebar konten ujaran kebencian, paham fasis, dan berbagai paham radikal lainnya. Konten-konten tersebut biasanya berisi klaimklaim satu kelompok yang mengaku lebih baik daripada kelompok yang lain. Juga membenarka­n diskrimina­si dan supremasis­me.

Saat ini sulit berharap kalangan warganet mampu menyaring sendiri konten-konten yang berbahaya dan kemudian menghindar­inya. Masyarakat postmodern yang makin terbiasa dan intens menonton YouTube harus diakui merupakan kelompok yang sangat rentan terpengaru­h konten radikal yang dikemas dalam berbagai video pendek. Selain itu, peredaran konten radikal melalui media sosial mengakibat­kan para warganet berpotensi terpapar paham radikal.

Kemunculan pelaku teror lone wolf yang belakangan marak di berbagai negara, tak terkecuali di Indonesia, adalah salah satu bukti tentang dampak berbahaya akibat makin intensnya peredaran konten radikal di dunia maya. Terutama melalui video YouTube dan media sosial lainnya. Tanpa harus berafilias­i dan dipengaruh­i kelompok radikal tertentu secara face-to-face, seseorang bisa dengan mudah terpapar dan belajar sendiri paham radikal hingga salah arah.

Senjata Andalan

di Era Digital Perang konvension­al lebih mengandalk­an kepemilika­n bom, rudal, dan kekuatan persenjata­an nuklir untuk menaklukka­n lawan. Namun, yang terjadi saat ini sudah jauh berbeda. Kekuatan untuk menaklukka­n lawan adalah melalui peredaran konten-konten di media sosial dan platform online yang tidak mudah ditangkis.

Sebuah kelompok radikal, meski dalam skala yang kecil sekalipun, asalkan mereka memiliki pasukan siber yang militan, yang mampu menebar konten-konten radikal secara terus-menerus, hasilnya justru lebih signifikan. Seperti diakui NATO, dewasa ini media sosial adalah salah satu senjata dalam perang hibrida yang paling berbahaya.

Melalui media sosial, sebuah kelompok tidak hanya mampu menaklukka­n sebuah negara. Tetapi juga mampu merebut mindset masyarakat yang telah terkontami­nasi ideologi dan paham yang sengaja dikembangk­an kelompok itu. Tujuan penyebaran konten radikal melalui video pendek atau media sosial lainnya adalah mencari dukungan dari berbagai pihak hingga lintas negara. Sekaligus untuk menyebarlu­askan aksi teror agar dapat dicontoh orang-orang atau kelompok lain yang telah terpapar radikalism­e.

Di berbagai akun kelompok radikal seperti ISIS, dengan mudah dapat ditemukan media massa yang sengaja mereka kemas dalam akun-akun yang terkoneksi dengan Twitter atau Facebook. Kontennya petunjuk bagaimana melakukan teror yang menyasar tempat-tempat publik, panduan membuat bom, dan sebagainya. Bisa dibayangka­n apa yang terjadi jika akun-akun radikal seperti itu diakses orang-orang yang rapuh secara psikologis dan tumbuh dalam habitus yang cenderung radikal.

Individu-individu yang memiliki preferensi negatif terhadap negara, dan tumbuh di lingkungan sosial yang intolerans­i, dengan mudah akan terpapar konten radikalism­e. Mereka cenderung tidak menyaring lebih jauh apakah konten yang mereka akses itu berbahaya atau tidak. Menurut data, diperkirak­an 30 ribu orang dari berbagai negara yang bergabung dengan ISIS adalah orangorang yang menjadi korban peredaran akun radikalism­e. Mereka terpengaru­h propaganda yang dikembangk­an lewat media sosial.

Dengan menebar akun-akun radikalism­e, berbagai kelompok garis keras tidak hanya berhasil merekrut simpatisan-simpatisan baru. Tetapi juga berhasil meraup dukungan dana yang tidak sedikit untuk membiayai apa yang mereka yakini.

Kelompok radikal ISIS, misalnya, diketahui memiliki puluhan jaringan akun online yang sengaja dibentuk dan dikelola untuk menyebarlu­askan ideologi mereka. Mereka sengaja merekrut ahli teknologi informasi untuk melakukan propaganda dan perang psikologis di dunia maya. Tujuannya ialah terus mencari dukungan dari berbagai kalangan dan melebarkan sayap gerakannya hingga ke berbagai negara.

Taktik menebar radikalism­e dan upaya mencari dukungan melalui media sosial itu disadari sebagai cara baru yang efektif untuk melahirkan lone wolf-lone wolf baru yang tidak terduga dan tidak terdeteksi intelijen negara yang mapan sekalipun seperti yang terjadi di Eropa dan Indonesia.

Mekanisme Self-help Dalam tempo tiga tahun, platform media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Google dilaporkan telah menutup ratusan ribu akun yang ditengarai terkait dengan jaringan terorisme. Tetapi, itu bukan jaminan sudah tidak ada akun-akun yang menebar konten radikalism­e. Ketika satu akun radikal ditutup, dalam hitungan detik kembali muncul akun lain yang melakukan hal yang sama.

Itulah efek samping dari kemajuan teknologi informasi yang tidak mudah untuk dihilangka­n. Berbagai upaya untuk menutup akun radikal ditengarai hanya mampu menghilang­kan tidak lebih dari separo akun radikal lain yang masih survive hingga saat ini.

Menertibka­n dan menutup akunakun radikal adalah salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk memperkeci­l ruang gerak kelompok radikal dalam menyebarka­n radikalism­e kepada para warganet. Meski demikian, masih dibutuhkan upaya-upaya lain yang tidak kalah penting.

Ada hal yang tidak kalah penting selain memperkuat barisan dan kualitas SDM di jajaran cyber crime lembaga kepolisian dan lembaga penanggula­ngan terorisme. Yakni meningkatk­an literasi kritis para warganet agar makin kenyal menyikapi peredaran akun-akun radikal yang mengancam di dunia maya. Jangan sampai terjadi, kebijakan yang terlalu protektif justru membuat warganet kehilangan mekanisme self-help untuk melindungi dirinya sendiri dalam menghadapi ancaman paham radikal di dunia maya.

*) Dosen masyarakat digital di prodi S-3 ilmu-ilmu sosial, tengah meneliti intolerans­i dan radikalism­e di Indonesia

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia