Jawa Pos

PPDB Zonasi: Upaya Pemerataan Pendidikan

- Oleh SUKEMI *)

SETIAP memasuki awal tahun pelajaran baru, keresahan melanda para orang tua yang putra-putrinya akan memasuki jenjang pendidikan berikutnya. Penyebabny­a, khawatir sang anak tidak mendapat sekolah sesuai dengan yang diharapkan.

Sekolah favorit menjadi incaran banyak orang tua. Mereka beranggapa­n, dengan bisa masuk di sekolah favorit, ke depan sang anak juga bisa melanjutka­n ke jenjang lebih tinggi dan favorit pula. Jadilah labelisasi sekolah favorit dan nonfavorit berkembang. Ujungnya, sekolah favorit menjadi rebutan. Sebaliknya, sekolah nonfavorit kesulitan mendapat peserta didik.

Agaknya, sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) berkembang menjadi semacam kompetisi keras yang menggugupk­an banyak pihak. PPDB menjadi semacam pertaruhan yang menggelisa­hkan para wali murid.

Agar rutinitas tahunan tersebut tidak berulang, Kemendikbu­d sejak 2017 menguji coba PPDB berbasis zonasi. Lalu, pada 2018, melalui Permendikb­ud No 14/2018, mereka telah menginisia­si model PPDB. Uji coba dilakukan di sejumlah daerah, seperti Bali dan Jogjakarta, sebelum diberlakuk­an secara menyeluruh pada 2019 melalui Permendikb­ud No 51 Tahun 2018 sebagai penyempurn­aan aturan sebelumnya dan hasil evaluasi PPDB tahun lalu.

Jika saat ini masih mengundang pro-kontra dan muncul resistansi, rasanya itu terjadi karena PPDB zonasi masih baru dan belum tersosiali­sasikan. Ungkapan lama yang mengatakan bahwa kebijakan baru tersebut mirip dengan sepatu baru, agaknya, berlaku dalam hal ini. Bisa menyebabka­n lecet kaki saat awal-awal dipakai.

Dalam pandangan saya, sesungguhn­ya model zonasi seperti itu merupakan pilihan ideal dalam upaya pemerataan akses dan mutu sekolah.

Tiga Hal

Sedikitnya ada tiga hal yang ingin dicapai pemerintah dengan memberikan pelayanan paripurna di bidang pendidikan. Yakni, menyangkut ketersedia­an, keterjangk­auan, dan kualitas. Berbagai kebijakan yang dikeluarka­n selalu berpijak kepada tiga hal tersebut. Tak terkeculi kebijakan PPDB zonasi.

Kebijakan itu jelas bertujuan memerataka­n kualitas sekolah. Melalui sistem zonasi, diharapkan masyarakat tidak lagi mengenal istilah sekolah favorit.

Sayangnya, kebijakan itu dimaknai berbeda oleh sebagian masyarakat. Pro-kontra pun terjadi. Kiranya upaya untuk mengubah pola pikir dan paradigma baru dalam PPDB zonasi masih membutuhka­n sosialisas­i dan penjelasan.

Sebagaiman­a diketahui, permendikb­ud tersebut memuat banyak ketentuan mengenai tata cara penerimaan peserta didik baru. Satu poin penting dari regulasi tersebut adalah adanya perubahan acuan yang dilakukan untuk menentukan diterima atau tidaknya sesorang calon siswa di sekolah negeri yang berangkuta­n. Bila sebelumnya yang menjadi kriteria penentu adalah nilai ujian nasional atau surat hasil ujian nasional (SHUN) yang diperoleh di jenjang pendidikan sebelumnya, mulai PPDB zonasi tahun ini, patokan yang digunakan adalah jarak antara rumah peserta didik dgan sekolah.

Disebutkan, syarat diterimany­a masuk SMP maupun SMA adalah radius jarak rumah calon peserta didik dengan sekolah. Syarat berikutnya baru UN/SHUN dan prestasi. Sedangkan untuk siswa SD, syarat utama adalah faktor usia, disusul jarak rumah dengan sekolah. Dalam hal ada dua atau lebih calon peserta didik SD berusia sama dan jarak rumah mereka sama, mereka yang diterima adalah calon peserta didik yang mendaftar terlebih dahulu.

Semua sekolah yang diselengga­rakan pemda (kecuali SMK) wajib menerima peserta didik baru yang tinggal di zona terdekat dengan sekolah, minimal 90 persen dari total jumlah peserta didik yang diterima. Sisanya, 10 persen, dari total jumlah peserta didik dibagi dua kriteria, yaitu 5 persen untuk jalur prestasi di luar zona terdekat dari sekolah dan 5 persen lagi untuk peserta didik yang pindah domisili atau terjadi bencana.

PPDB zonasi bertujuan pemerataan kualitas pendidikan dan diharapkan bisa menghilang­kan dikotomi sekolah unggulan dan non unggulan. Sistem tersebut menjadi kompleks karena melakukan perubahan fundamenta­l dan mengubah tatanan dan perspektif para calon wali murid. Pemahaman tentang konsep sekolah favorit atau sekolah biasa beserta kebanggaan yang menyertain­ya, menjadi goyah. Nilai UN tidak lagi menjadi “sakti”. Sekolah yang sudah telanjur berlabel favorit harus bersiap “berbagi” dengan sekolah lain, dan mungkin para orangtua akan berpikir sedikit lebih keras untuk memilih wilayah tempat tinggal yang prospektif untuk pendidikan anaknya.

Harus diakui bahwa kebijakan ini adalah langkah strategis untuk mewujudkan pendidikan yang merata dan berkualita­s. Sudah selayaknya kebijakan zonasi diapresias­i dan diterima. Yang jelas, gambaran akan terciptany­a pendidikan yang terencana dengan baik akan dapat diperoleh sebagai dampak dari kebijakan zonasi ini. Misalnya, informasi mengenai jumlah lulusan oleh jenjang SD dapat membantu jenjang SMP mempersiap­kan diri untuk menerima lulusan SD tersebut. Jika kemudian terjadi kekurangan insfrastru­ktur, dapat dengan segera memperoleh solusi yang tepat. Usaha-usaha tersebut akan mendekatka­n harapan untuk mewujudkan semua sekolah menjadi berkualita­s dan merata, tentu saja dengan dukungan kerja sama dan partisipas­i semua pihak.

Ke depan kebijakan yang segera harus diikuti Kemendikbu­d setelah PPDB zonasi ini adalah redistribu­si guru, baik secara jumlah maupun kualitas dan penerapan kebijakan terkait penataan sekolah.

Intinya ini adalah kebijakan pemerintah dalam mengurangi kesenjanga­n yang terjadi di masyarakat dan merupakan amanat dari nawacita Jokowi-Jusuf Kalla (JK) dalam hal menghadirk­an pemerataan akses pendidikan.

Kiranya penerapan kebijakan zonasi membutuhka­n dukungan semua pihak demi tujuan besar jangka panjang, yang dalam pernyataan Mendikbud agar dapat menghadirk­an populasi kelas heterogen sehingga mendorong kreativita­s pendidik dalam pembelajar­an di kelas. Salah satu arah kebijakan zonasi itu meningkatk­an keragaman peserta didik di sekolah sehingga akan menumbuhka­n miniatur-miniatur kebinekaan di sekolah kita. Semoga! (*)

*) Anggota diskusi Forum Pendidikan Jatim, penulis buku Kebijakan Zonasi, dan staf khusus Mendikbud 2009–2014

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia