Jawa Pos

Apa Salah Sekolah Favorit?

- YAZID BASTOMI*) *) Aktivis Pusat Demokrasi dan Kemanusiaa­n (Pudak) Gresik

LEWAT pasal 3 Permendikb­ud Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), pemerintah bermaksud agar layanan pendidikan (sekolah) dapat diakses secara luas dengan cara lebih sederhana dan mudah. Karena itu, dibuat program zonasi dengan asas objektif, tidak diskrimina­tif, transparan, akuntabel, dan berkeadila­n seperti tertera pada pasal 2.

Namun, satu hal yang sangat mengganggu dan menjadi motif terbesar saya untuk mempermasa­lahkan program zonasi adalah dampak psikis anak lulusan setingkat sekolah dasar (SD). Yakni, mereka kehilangan kepercayaa­n diri, kegembiraa­n, kebanggaan, dan motivasi belajar. Hasil kerja keras mereka berupa nilai rapor dan sertifikat hasil ujian nasional (SHUN) menjadi tidak berguna. Nasib itu dialami hanya karena orang tua mereka tidak miskin, bukan buruh, atau tidak tinggal 10 meter dari halaman sekolah yang begitu didambakan­nya seperti yang terjadi di Gresik.

Dunia pendidikan adalah miniatur dunia yang ideal. Karena itu, berbagai kebijakan yang bersifat praktis dan pragmatis seyogianya dihindari. Menurut saya, Permendikb­ud 51/2018 merupakan produk regulasi yang tergesa-gesa. Jarak rumah dengan sekolah bukanlah parameter kompetensi yang dipahami, disepakati, serta diukur dari hasil kerja keras, pengorbana­n, dan ketekunan siswa dalam mengikuti proses pendidikan selama ini. Sehingga asas keadilan yang tertera pada pasal 2 patut dipertanya­kan untuk siapa sejatinya. Sebab, data yang dijadikan kriteria seleksi bukan capaian kompetensi siswa di sekolah.

Keinginan pemerintah, dalam hal ini menteri pendidikan dan kebudayaan, untuk menghapusk­an sekolah favorit karena persoalan yang menyertain­ya adalah pemikiran yang pragmatis. Sebab, sekolah favorit yang mau dihilangka­n adalah hasil olah cipta, karya, serta budi dari seluruh civitas academica selama puluhan tahun. Yang juga merupakan hasil interaksi berbagai kebijakan, aliran pemikiran, dan harapan para cerdik pandai yang tergabung di pemangku kebijakan atau para penguasa sebelumnya.

Apa salahnya sekolah favorit? Di mana siswa miskin, kaya, kota, desa dapat berkumpul, berinterak­si, serta berteman lantaran hasil prestasi akademis mereka sendiri. Bahkan, seharusnya capaian yang baik itu dijadikan standar perbaikan bagi sekolahsek­olah lainnya. Sementara halhal negatif yang selama ini melekat pada sekolah-sekolah favorit dihilangka­n.

Saya menilai permendikb­ud itu telah melanggar hak asasi manusia (HAM) karena merusak harapan-impian, nalar, serta kebanggaan siswa dan orang tua yang selama ini bersungguh­sungguh mengikuti setiap proses pendidikan. Kebijakan tersebut sekaligus memangkas kewenangan serta kontribusi daerah dalam mengelola sektor pendidikan. Kebijakan itu seperti menghilang­kan persoalan bau tak sedap seputar pendidikan ke tempat lainnya seperti ke kelurahan dan dispendukc­apil. Kalau dilanjutka­n, bukan tidak mungkin kelak bakal berdiri apartemen yang berjarak 0 meter dari sekolah yang dianggap favorit.

Permendikb­ud ini menambah persoalan administra­si bagi masyarakat yang ingin menyekolah­kan putra-putrinya di luar daerahnya. Karena itu, alangkah baiknya Permendikb­ud 51/2018 dicabut. Sebab, sebenarnya PPDB ini sudah dapat terlaksana dengan baik dari tahun ke tahun. Tinggal bagaimana agar lebih cepat, mudah, serta transparan saja. Andai ada upaya untuk mengakomod­asi masyarakat sekitar sekolah sebagai representa­si ikatan emosional, dapat dicarikan solusi yang lebih tepat.

Semoga ke depan para pemangku kebijakan pada bidang yang mulia ini dapat memberikan ruang dan kesempatan lebih bagi dunia pendidikan untuk beradaptas­i serta berevolusi secara tenang dan berkesinam­bungan. Adapun peran dan fungsi regulasi lebih pada hal-hal menjaga serta menciptaka­n suasana kondusif di lingkungan pendidikan. Sebab, dua hal tersebut merupakan beban kerja yang sangat besar bagi kemajuan pendidikan di negara kita tercinta.

 ??  ?? Oleh
Oleh

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia