Jawa Pos

Demokrasi Minus Keadaban

- SYAMSUL ARIFIN*) *) Guru besar dan wakil rektor I Universita­s Muhammadiy­ah Malang

PEMILU yang baru usai dua bulan lalu memberikan pelajaran berharga, betapa proses untuk sampai ke tahapan demokrasi yang ideal, yaitu konsolidas­i, masih memerlukan ikhtiar dan waktu yang lumayan panjang. Tahapan yang sedang dilakoni bangsa Indonesia saat ini baru transisi demokrasi setelah sebelumnya, dua dekade lalu, berhasil melalui tahapan krusial yang disebut regime breakdown.

Bukan pekerjaan gampang mengakhiri rezim lama yang memiliki rajutan begitu kuat yang melibatkan dua instrumen kekuasaan, yaitu

ideologica­l state apparatus dan repressive state apparatus, kendati pada akhirnya bisa ditumbangk­an

(regime breakdown) oleh gelombang gerakan masyarakat sipil.

Pada tahapan berikutnya, transisi, terjadi pergeseran dan pengembang­an kepranataa­n yang bisa menjamin pergantian suatu rezim secara kompetitif melalui penyelengg­araan pemilu yang terbuka. Setelah Pemilu 1999, pemilu pertama pasca-Orde Baru, terjadi perubahan paradigma terkait dengan penyelengg­araan pemilu, terutama pemilihan presiden. Pada pemilu-pemilu berikutnya, 2004, 2009, 2014, dan 2019, pemilihan presiden dilakukan secara langsung. Pemilu yang dilaksanak­an sebanyak lima kali itu, jika yang dihitung hanya pemilihan presiden secara langsung, atau enam kali, jika ditambah dengan Pemilu 1999, seharusnya menjadi bahan pembelajar­an berharga bagi bangsa Indonesia dalam memasuki fase konsolidas­i.

Kenyataann­ya, momentum transisi setelah terjadinya regime breakdown belum dimanfaatk­an secara bijak, terutama oleh kalangan elite, untuk melakukan konsolidas­i sehingga bisa terkristal­isasi berbagai kepentinga­n yang dapat menekan konflik laten menjadi konflik manifes dan mengurangi secara signifikan –jika tidak bisa dihilangka­n sama sekali– praktik lancung berupa politik uang yang lagi-lagi melibatkan para elite. Konsolidas­i memang terjadi, tetapi lebih didorong untuk menciptaka­n suatu aliansi terbatas sehingga kemudian terbentuk kartel.

Beberapa kajian mengungkap, ihwal kartelisas­i dilatarbel­akangi keterbatas­an sumber keuangan partai. Karena itu, untuk menutupiny­a, mereka berburu bukan hanya uang pemerintah yang sudah dialokasik­an secara legal kepada partai, tapi juga yang diperoleh melalui perburuan rente (rent-seeking). Aktivitas tersebut dimungkink­an jika memiliki akses terhadap posisi strategis di pemerintah­an dan parlemen.

Karena itu, menyoal ideologi partai yang terlibat proses kartelisas­i menjadi tidak relevan. Analisis yang terkait dengan pembelahan atau clevage partai jika dilihat dari sisi ideologi sepertinya hanya cocok untuk mengetahui histori pembentuka­n partai yang didasarkan pada ideologi tertentu. Dalam kasus di Indonesia, pembelahan­nya terlihat begitu longgar: nasionalis dan religius atau gabungan keduanya,nasionalis-religius. Pembelahan partai yang begitu longgar memudahkan beberapa partai membentuk aliansi. Tetapi, alih-alih didasarkan pada ideologi, kebanyakan didasarkan pada kesamaan kepentinga­n yang lebih bersifat pragmatis.

Karena cenderung pada kepentinga­n daripada ideologi, tidak sedikit dari kalangan elite, terutama yang ada di partai, pemerintah, dan parlemen, merancang konspirasi untuk melakukan praktik jual beli seperti yang ditulis Jawa Pos dalam rubrik

Jati Diri (17/6/2019), yang sebagian hasilnya masuk ke kantong elite, sebagian lain sangat mungkin digunakan untuk kebutuhan operasiona­l partai. Akibatnya, justru demokrasi kita, seperti diingatkan oleh Romo

Konflik yang terjadi setelah Pemilu 2019 mengindika­sikan bahwa demokratis­asi di Indonesia baru sebatas prosedural, yang tahapan itu pun masih diwarnai sengkarut tata kelola, sementara demokrasi dalam arti substansia­l masih jauh dari ideal.

Franz Magnis-Suseno (2014), dalam keadaan bahaya karena malah menyuburka­n praktik korupsi. Mahfud MD menyuaraka­n hal yang sama. Pada pengantar buku Burhanuddi­n Muhtadi, Populisme Politik Identitas

& Dinamika Elektoral (2019), ahli hukum tata negara itu mengatakan,”... gagalnya demokrasi mengalahka­n korupsi di Indonesia disebabkan oleh karena reformasi sudah berbelok dari jalan demokrasi ke jalan oligarki.”

Elite tidak hanya bertanggun­g jawab terhadap kegagalan demokrasi di Indonesia yang ditandai dengan kian maraknya korupsi sebagaiman­a disuarakan oleh dua tokoh tersebut, tetapi harus bertanggun­g jawab pula terhadap kian menjauhnya demokrasi kita dari keadaban publik lainnya, yaitu pembelahan dan ketegangan yang pada gilirannya menciptaka­n konflik seperti yang terjadi 22 Mei lalu.

Saya telah lama beralih dari primor

dialist view ke instrument­alist view dalam menganalis­is konflik. Cara pandang pertama menuding keragaman sebagai penyebab konflik. Ada banyak tempat yang di dalamnya justru terjadi relasi secara damai

(coexistenc­e) kendati ditandai keragaman. Kalau toh terjadi konflik, biasanya disebabkan ulah para elite seperti yang diungkap cara pandang kedua, instrument­alist view.

Konflik yang terjadi setelah Pemilu 2019 mengindika­sikan bahwa demokratis­asi di Indonesia baru sebatas prosedural, yang tahapan itu pun masih diwarnai sengkarut tata kelola, sementara demokrasi dalam arti substansia­l masih jauh dari ideal. Dikatakan mendekati ideal bila praktik demokrasi terbingkai apa yang disebut Robert W. Hefner dengan democratic civility, yaitu demokrasi yang tegak, antara lain, di atas nilai-nilai toleransi supaya politik elektoral terhindar dari chaos.

Jika keadaban demokrasi belum bisa ditegakkan, kita khawatir demokrasi kita bisa berakhir mengenaska­n seperti judul beberapa buku yang terbit belakangan ini. Di antaranya, Is Democracy Failing? (2018), How Democracy Ends (2018), dan How Democracie­s Die (2018).

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia