Ngebor Sumur sampai 100 Meter, Air Tidak Keluar
Upaya Romo V. Kirjito mengajak masyarakat Klaten mengonsumsi air hujan terbilang melawan arus. Namun, dia yakin kebiasaan minum air hujan membuat tubuh tidak gampang sakit.
DERETAN pohon jati yang menguning dan jalanan berdebu tampak begitu memasuki Kecamatan Jatinom, Klaten. Tidak ada sawah. Maklum, tanah di sana kering. Krisis air. Total ada tiga kecamatan yang kesulitan air. Dua kecamatan lain adalah Karangnongko dan Kemalang J
Saking susahnya mendapatkan air bersih, sebagian warga memilih air hujan untuk minum sehari-hari.
Di beberapa rumah warga yang dikunjungi Jawa Pos di Kecamatan Jatinom pada 3 Juli lalu, tampak alat elektrolisis di ruang tamu. Alat itu mampu mengubah air hujan menjadi air siap minum. Usut diusut, ternyata warga Klaten terbiasa minum air hujan. Sudah turun-temurun. Namun, mereka baru memanfaatkan alat elektrolisis pada 2014. Adalah Romo V. Kirjito dibantu rekanrekannya yang menjadi tokoh penggerak alat elektrolisis itu.
Sehari sebelum ke Klaten, Jawa Pos menemui Kirjito di tempat tinggalnya di Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan, Magelang. Siang itu dia mengenakan baju lengan panjang. Magelang memang sedang dingin-dinginnya. Kirjito, sepertinya, sosok yang ramah. Saat memberikan penjelasan, dia selalu menyelingi dengan senyum ramah. Sebelum berbincang lebih jauh, dia menyeduh kopi untuk menemani rokoknya yang menyala. Sambil meracik kopi, Romo mempersilakan Jawa Pos mencicipi air hujan hasil elektrolisis. Seteguk, dua teguk, terasa segar. Bahkan jika dibandingkan dengan air mineral kebanyakan.
Kirjito masih rajin melakukan penelitian di rumahnya. Beberapa plakat dan penghargaan menghiasi tempat tinggalnya. Salah satunya adalah Penghargaan Kebudayaan 2015 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penghargaan itu diberikan untuk sosok pelestari Budaya Air Hujan dengan Penelitian Scientific. Ada juga fotofoto saat Kirjito menerima penghargaan dari Ma’arif Institute for Culture and Humanity pada 2010.
Setelah menyeduh kopi, Kirjito melanjutkan ceritanya. Dia bertugas di Klaten pada 2011. Saat itulah dia tahu bahwa warga di tiga kecamatan tersebut terbiasa minum air hujan. Hanya warga dengan ekonomi menengah ke atas yang mulai beralih ke air minum kemasan. Sebagian warga yang menjamunya selalu meminta maaf karena hanya bisa menyajikan minuman dari air hujan. Mereka terpaksa melakukan itu karena sumur bor tak mampu mengeluarkan air. ”Kalau untuk nyuci, mereka turun ke daerah bawah karena ada umbul (sumber air, Red),” paparnya.
Kirjito lalu merenung. Sebab, warga di sana sehat-sehat saja meski terbiasa minum air hujan. Romo berdiskusi dengan kawannya, Agus Bhimo Prayitno, seniman di Klaten. Dia lalu melihat tempat-tempat penampungan air yang ternyata warnanya tampak hijau. ”Pas diambil, ternyata warna airnya jernih, lalu saya mulai meneliti dengan Mas Bhimo,” kenangnya. Hasil penelitian itu mengejutkannya. Sebab, kandungan air hujan di sana bagus. Kandungan total dissolved solids (TDS) atau padatan terlarut yang layak minum menurut World Health Organization (WHO) adalah 100 ppm atau mg/l. Di Indonesia, berdasar peraturan menteri kesehatan, angkanya adalah 500 mg/l. Di Eropa 50–100 mg/l. Sementara itu, TDS air hujan yang diionisasi mencapai 30 mg/l yang artinya sangat baik sekali. PH air hujan yang telah dielektrolisis 8,5 dan tergolong baik. ”Karena kandungannya bagus, hal ini perlu kami sampaikan kepada masyarakat Klaten,” cerita pria berambut gondrong itu.
Setelah mempelajari banyak hal terkait kandungan air hujan yang baik, Romo memiliki misi agar masyarakat Klaten yang sudah mengonsumsi air hujan tidak beralih ke air minum kemasan. Sebagai pastor yang suka dunia seni, Kirjito membungkus ajakannya dengan kegiatan keagamaan yang dibalut kesenian. Misalnya, saat perayaan Natal 2012. Tema Natal yang diangkat pada tahun tersebut adalah Syukur atas Air Hujan. ”Ada prosesi kirab air hujan menggunakan kendi. Kalau Natal tahun 2013 temanya Memanen Air Hujan,” terangnya.
Pada 2013, Romo dan Bhimo mulai menggunakan sistem elektrolisis. Tujuannya, mengurai H2O menjadi H2 dan O2. Mineral terpisah antara asam dan basa. Pemisahan itu dilakukan dengan menggunakan dua bejana air yang terbuat dari kaca. Eksperimen tersebut dilakukan sejak Maret hingga Agustus 2013.
Melalui eksperimen itu, Kirjito ingin masyarakat mempertahankan kebiasaan mengonsumsi air hujan. Tidak perlu beralih ke air kemasan. Beberapa daerah di Kalimantan dan Papua, menurut Kirjito, juga terbiasa meminum air hujan. ”Entah diproses dengan cara dimasak ataupun elektrolisis,” papar pria kelahiran Kulonprogo, Jogjakarta, 66 tahun silam, itu. Kini setiap ada kegiatan di Gereja Magelang tempat tinggalnya, para tamu dijamu dengan air hujan. Menurut Romo, tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk belajar membuat air elektrolisis atau yang biasa disebut air setrum itu. Yang sukar adalah mengubah mindset masyarakat yang menganggap air hujan tidak layak minum.
Menurut Kirjito, mengonsumsi air hujan dengan alat elektrolisis sudah diadopsi di beberapa tempat. Di antaranya, Semarang, Bekasi, Jakarta, Bandung, Malang, dan Surabaya. ”Tapi, nyebarnya masih orang per orang,” ungkapnya.
Dampak positif mengonsumsi air hujan diamini Wawan Pratiknjo, warga Muntilan, Magelang. Pria 59 tahun itu mengaku kenal air elektrolisis karena Kirjito sering membeli paralon di tokonya. Karena penasaran, dia ikut mencoba air hasil elektrolisis tersebut. Padahal, dia sebenarnya terbiasa membeli air kemasan. Secara ekonomi, mengonsumsi air hujan jauh lebih hemat. ”Beberapa keluarga saya akhirnya ikut,” terangnya.
Kembali ke cerita di Klaten, Agus Bhimo Prayitno-lah yang mengajak Jawa Pos melihat kondisi langsung di lapangan. Menurut pria 60 tahun itu, persepsi orang terhadap air hujan kini berubah. Mengonsumsi air hujan tidak lagi dipandang strata rendah.
Agustunis Gunawan, 47, warga Klaten, pernah beralih dari air hujan ke air galon atau kemasan. Ekonomi keluarganya memang tergolong mampu. Ditemui di rumahnya, Agustinus bercerita tentang betapa sulitnya mendapatkan air bersih. Warga beberapa kali mencoba membuat sumur bor. Bahkan hingga kedalaman lebih dari 100 meter. Namun, air tak pernah keluar. Karena itu, warga kini beralih ke air hujan. Agustinus pun merasa lebih sehat setelah terbiasa minum air hujan.
Sunarno, 58, warga lain, memiliki dua bejana elektrolisis di rumahnya. Satu bejana ditaruh di depan pintu. Khusus untuk tamu yang datang. Mbah Sunar, sapaan akrabnya, dulu merasa malu meminum air hujan. Setiap ada tamu yang datang, dia meminta maaf karena hanya bisa menyuguhi air hujan. Namun, setelah tahu kualitas air hujan baik, masyarakat makin percaya diri untuk tidak beralih. ”Dulu ke mana-mana bawa air kemasan, kini bawa air hujan,” katanya.
Untuk membuktikan pengakuan warga yang merasa lebih sehat setelah minum air hujan hasil elektrolisis, Jawa Pos berkunjung ke Puskesmas Kayumas di Jatinom Klaten. Jawa Pos bermaksud menanyakan dampak konsumsi air elektrolisis pada kesehatan, berdasar riwayat berobat. Namun, puskesmas tersebut tidak memiliki data yang bisa membuktikan hal itu. Bahkan, sebagian perawat malah tidak tahu jika ada warga yang mengonsumsi air elektrolisis atau air setrum.