Target Simulasi dan Sosialisasi Akhir 2019
Bisakah masyarakat Indonesia mengetahui hasil pemilu pada hari yang sama atau berdekatan dengan hari pemungutan suara? Hal itulah yang saat ini diupayakan KPU dengan program e-rekap. Harapannya, program tersebut bisa diuji coba pada Pilkada 2020.
SELAMA ini, menunggu kepastian hasil pemilu di Indonesia sangat membosankan. Bayangkan, proses rekapitulasi suara Pemilu Serentak 2019 memerlukan waktu sekitar 35 hari. Rekap untuk pilkada serentak 2020 juga sudah ditetapkan. Delapan hari untuk pilwali/pilbup dan 12 hari untuk pilgub.
Rasanya begitu ketinggalan zaman. Teknologi informasi telah menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Namun, pesta demokrasi yang menelan dana besar dan melibatkan jutaan orang masih menggunakan cara-cara jadul.
E-voting memang sudah pernah diuji coba pada sejumlah pemilihan kepala desa. Namun, berharap teknologi itu bisa diterapkan pada pemilu berskala besar masih sebatas angan-angan. Ada begitu banyak kekhawatiran tentang tingkat pendidikan pemilih hingga faktor keamanan jaringan.
Karena itu, KPU menganggap e-rekap lebih cocok diterapkan lebih dulu. Risikonya lebih kecil, tapi dampak positifnya lebih besar ketimbang e-voting. ”Sebagian besar persoalan dalam pemilu dan pilkada itu ada di rekapitulasi,” ungkap Komisioner KPU Viryan Azis.
Persoalannya, UU Pilkada belum secara spesifik membahas penggunaan teknologi. Baik untuk pemungutan suara maupun rekapitulasi suara. Begitu pula peraturan KPU. Sejauh ini belum ada tanda-tanda akan ada regulasi khusus berkaitan
dengan e-rekap di level KPU.
Untuk sementara, KPU akan menyiapkan tim yang fokus menyiapkan e-rekap. Sudah ada alternatif untuk menyusun mata rantai prosesnya. Mulai formulirnya, teknologinya, hingga mempertimbangkan praktik yang sudah berjalan selama ini di program sistem informasi penghitungan suara (situng). ”Sedapat mungkin perubahan tidak terlalu banyak,” lanjutnya.
Viryan menjelaskan, secara teknis gambaran e-rekap yang dikembangkan KPU tidak jauh berbeda dengan situng pada pemilu lalu. ”Kami tidak pakai alat, cukup program,” ujar mantan komisioner KPU Kalbar itu. Peralatan berupa scanner sudah tersedia. Personel KPU provinsi dan kabupaten/kota juga sudah berpengalaman.
Kekurangan-kekurangan yang ada dalam situng diperbaiki agar lebih akurat. Salah satu yang dipertimbangkan saat ini adalah level penggunaannya. Apakah di kabupaten/kota seperti saat pemilu lalu atau bisa diterapkan mulai level kecamatan. Harapannya, pada pilkada 2020, sistem tersebut sudah bisa digunakan.
Target utamanya, seluruh pembahasan mengenai e-rekap sudah bisa klir sebelum akhir tahun ini. Termasuk simulasi dan sosialisasi. KPU tidak hendak melakukan uji coba hanya di beberapa daerah. ”Kelihatannya langsung sekaligus (di semua daerah, Red),” tambahnya.
Rekapitulasi elektronik (e-rekap) untuk pilkada 2020 juga menjadi salah satu rekomendasi Komisi II DPR. Persoalan yang harus diantisipasi adalah public trust atau kepercayaan publik atas hasil e-rekap. ”E-rekap harus transparan, terbuka, dan jujur,” tutur Wakil Ketua Komisi II DPR Herman Khaeron.
Namun, penerapan e-rekap sangat bergantung pada kemampuan tiap-tiap daerah. Menurut Herman, diperlukan beberapa daerah tertentu yang menjadi pilot project karena menyangkut kesiapan anggaran serta kemampuan personal yang menjalankan sistem itu. Personel yang bertugas juga harus dilatih dengan metode baru. ”Bagi daerah yang belum mampu, jangan dulu,” tambahnya.
Herman memastikan bahwa penghitungan dengan sistem e-rekap dalam pilkada 2020 sangat memungkinkan. Sebab, skala penghitungannya bersifat lokal. Hanya pada tingkat KPU daerah yang menyelenggarakan pilkada. Dia memperkirakan hanya akan berlangsung di sekitar 3 hingga 5 ribu TPS. Berbeda dengan situng yang dilakukan KPU saat Pemilu 2019. Saat itu jumlah TPS-nya sangat besar, mencapai 810.329 TPS. ”Sehingga bebannya akan lebih ringan,” ucap politikus Partai Demokrat itu.