Jawa Pos

Mendalami Masalah Finansial BUMN

- Oleh TOTO PRANOTO

KARAKTERIS­KTIK BUMN itu unik. Tidak semata-mata profit oriented seperti perusahaan swasta. Tetapi, juga menyandang fungsi kedua, yakni public service obligation (PSO). Dalam kondisi ter

sebut, BUMN tidak bisa sepenuhnya hanya diukur dari kinerja finansial. Namun, juga harus diukur bagaimana alokasi resources yang mereka berikan untuk melaksanak­an PSOnya

Misalnya, Pertamina yang diminta membantu kebijakan BBM satu harga. Lalu, PLN yang juga harus jualan listrik bersubsidi. Apalagi, mereka juga harus menyelesai­kan program listrik 35.000 MW. Harus bangun jaringan, pembangkit, dan lainlain. Untuk bisa memenuhi kebutuhan itu, ya mereka harus melakukan pinjaman-pinjaman, baik dengan global bond maupun pinjaman komersial biasa.

Untuk BUMN karya, Waskita Karya memang berencana melakukan divestasi ruas tol. Kebetulan Malaysia yang berminat. Tapi, itu setelah dilakukan offering ke berbagai pihak, domestik dan asing. Jadi, jangan diartikan hanya menjual ruas tol ke asing, begitu. Itu juga dilakukan karena core business Waskita Karya adalah perusahaan konstruksi, bukan pengelola tol (investor). Kalau masalah utang BUMN karya, saya rasa sepanjang pembayaran proyeknya lancar, semestinya keuangan perusahaan baik-baik saja.

BUMN lain seperti PT Pos, itu masalahnya di cash flow saja. Bukan berarti dia akan bangkrut. Sebagian besar bisnis dia adalah jasa kurir dari negara. Misalnya, pengiriman dokumen dan barang ke berbagai daerah yang lama-kelamaan akan berkurang jumlahnya.

Setahu saya, PT Pos sudah mendekati Alibaba untuk kerja sama warehouse. Yaitu, menggunaka­n jaringan PT Pos yang tersebar di Nusantara untuk logistik Alibaba. Kalau itu sudah deal, pendapatan dari bisnis nontradisi­onal itu bisa membantu PT Pos. Kemudian, PT Pos juga bisa memaksimal­kan peran sebagai perpanjang­an tangan perbankan. Cuma ya mungkin selama ini sudah jalan, tapi pendapatan­nya tidak sebesar bisnis dia yang tradisiona­l.

Kalau Garuda Indonesia dan Krakatau Steel itu beda lagi. Mereka memang mengalami masalah pada core business-nya.

Garuda Indonesia punya rute ke Eropa yang load factor-nya

tidak terlalu penuh. Sementara itu, load factor rute ke Asia, pesawatnya sering kurang. Jadi, harus ada rerouting. Kemudian, terkait sanksi dari OJK, BEI, dan Kemenkeu, terkait laporan keuangan Garuda Indonesia, ini menjadi pelajaran bagi semua BUMN, apalagi yang statusnya perusahaan terbuka. Jangan sekali-kali memainkan akrobat yang mengundang reaksi dari regulator. Ya namanya perusahaan sudah bertahun-tahun rugi, sekali-kali ingin laporan keuangan yang cantik, boleh saja. Tapi, harus dilakukan dengan cara yang baik dan tentunya tidak menyalahi standar akuntansi.

Krakatau Steel juga lagi susah. Saya rasa butuh kebijakan pemerintah. Misalnya, sinergi BUMN, yakni dengan mewajibkan BUMN karya membeli baja dari Krakatau Steel. Kalau menterinya ada kemauan, semestinya itu bisa diterapkan. Lalu, juga kenapa tidak ada tarif khusus untuk baja impor, misalnya, sehingga industri strategis dalam negeri terlindung­i. Krakatau Steel setahu saya sudah teriak-teriak soal ini sejak lama. Entah bagaimana tanggapan pemerintah. Sepertinya kurang menyambut.

Tetapi, terlepas dari itu, memang pabrik-pabrik di Krakatau Steel sudah tua-tua sehingga cost-nya besar. Solusinya bisa dengan mengerahka­n anak-anak usaha Krakatau Steel untuk mengambil alih bisnis yang bukan core business sang induk. Juga, melakukan kerja sama anak usaha dengan perusahaan lain. Tawaran pengambila­lihan anakanak usaha ke pihak lain juga bisa dilakukan. Ya mungkin akan ada dampak perampinga­n, tapi dalam jangka panjang perusahaan bisa sehat kembali.

Dalam berbisnis, BUMN ini ya agak terancam juga. Ada pejabat BUMN yang dimejahija­ukan karena menimbulka­n kerugian pada kegiatan investasi. Kalau begitu, akan ada trauma untuk direksi BUMN lainnya. BUMN harus patuh pada UU Kekayaan Negara dan UU BUMN. UU BUMN menilai BUMN sebagai aset negara yang dipisahkan. Namun, UU Kekayaan Negara menilai, kalau BUMN merugi, artinya sama dengan mengurangi aset negara.

Pertanyaan­nya, mana aturan yang akan dikedepank­an? Itu saja. Sebab, kalau tidak ada yang diutamakan dalam hal ini, direksi BUMN akan malas dan takut berinovasi. Mereka akan do as it is saja. Yang penting gaji lancar, tantiem masuk. Maka, aturan yang kontradikt­if tersebut harus diatasi dulu.

Disarikan dari wawancara dengan wartawan Jawa Pos Shabrina Paramacitr­a

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia