Penggugat Parkir Berlangganan Tak Menyerah
SIDOARJO, Jawa Pos – Prayitno memastikan dirinya tidak akan menyerah. Gugatannya terhadap kebijakan parkir berlangganan kemarin (22/7) ditolak hakim karena dinilai kurang pihak. Warga Desa Ngampelsari, Kecamatan Candi, itu bertekad menyiapkan gugatan lagi.
”Tidak apa-apa. Itu kewenangan majelis hakim,” ucap Prayitno dengan nada santai.
Lelaki 44 tahun tersebut menggugat kebijakan parkir berlangganan karena dinilai merugikan. Sebab, setiap tahun dia sudah melunasi parkir berlangganan saat membayar pajak kendaraan. Masing-masing Rp 25 ribu untuk sepeda motor dan Rp 50 ribu untuk mobil.
Masalahnya, saat parkir di area parkir berlangganan, masih ada pungutan uang parkir. Nilainya pun beragam. Prayitno menuntut ganti rugi imateriil Rp 150 miliar. Sementara itu, materiil Rp 12 juta.
Namun, gugatan tersebut ditolak. Kemarin majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo tidak menerima gugatan tersebut. Ketua majelis hakim Minanoer Rachman menilai gugatan Prayitno kurang pihak.
Dalam gugatannya, Prayitno hanya menggugat tiga pihak. Yakni, bupati Sidoarjo, kepala UPT Pengelolaan Pendapatan Daerah Jawa Timur di Sidoarjo, dan kepala Dinas Perhubungan Sidoarjo.
Padahal, menurut hakim, retribusi parkir yang dipungut melalui pajak tahunan kendaraan bermotor di kantor samsat terpadu itu juga melibatkan DPRD. Pihak yang menyetujui kebijakan Perda Nomor 2 Tahun 2012 tentang Parkir Berlangganan.
Pihak lain, Polresta Sidoarjo, juga tidak digugat. Padahal, pihak kepolisian memiliki andil dalam penarikan parkir berlangganan. Majelis menilai pihak-pihak itu sangatlah penting karena DPR yang mengeluarkan produk hukum dan polisi bekerja sama dalam penarikan retribusi parkir.
Putusan hakim tersebut sesuai eksepsi kubu tergugat. Hakim menyatakan menerima keberatan dari pihakbupati,kepalaUPTpengelolaan pendapatan daerah, dan kepala dinas perhubungan. Karena eksepsi diterima, hakim tidak perlu membuktikan pokok perkara.
Meski gugatan ditolak, Prayitno menyatakan putusan hakim akan menjadi koreksi untuk langkah selanjutnya. ”Kami akan mengajukan gugatan lagi,” tegasnya. baga yang telah melakukan ribuan kajian KPBU di seluruh dunia.
Pembangunan RSUD di Sidoarjo Barat dengan skema KPBU tersebut juga telah mendapatkan dukungan dan kelayakan dari Kemenkeu. Dukungan semacam itu tidak hanya diberikan kepada Kabupaten Sidoarjo, tapi juga kepada tujuh proyek kabupaten/kotayangdinominasikan menggunakan skema KPBU. Pemerintah pusat mendorong daerah menggunakan skema KPBU. Tujuannya, menjembatani kebutuhan infrastruktur yang berkembang pesat, tapi tidak diikuti kemampuan APBN maupun APBD.
KPBU bukan privatisasi. Sebab, pendiri dan penyelenggara RSUD adalah pemerintah daerah. Wewenang ada di tangan direktur rumah sakit. Dia adalah kepala unit pelaksana teknis daerah UPTD) yang sepenuhnya dikendalikan bupati. Dengan demikian, penyusunan dan penetapan tarif pelayanan kesehatan merupakan kewenangan sepenuhnya bupati. Dalam skema ini juga tidak ada pengalihan aset kepemilikan aset selama masa perjanjian. Direktur rumah sakit (UPTD) juga bertanggung jawab secara keseluruhan atas kualitas pelayanan kepada masyarakat.
KPBU memberikan peluang untuk penyediaan pelayanan yang berkualitas. Pemerintah daerah dapat menentukan standar minimal yang harus dipenuhi pemenang lelang. Pemkab Sidoarjo memiliki akses penuh untuk melakukan pemeriksaan/inspeksi.
KPBU lebih efisien. Untuk membandingkan dampak keuangan yang paling efisien antara skema KPBU dan APBD, penilaian lewat analisis yang paling sering digunakan di dunia telah dilakukan. Yaitu, analisis nilai manfaat uang (value for money).
Dengan skema APBD, pemkab memiliki tanggung jawab konstruksi, operasi, dan tata kelola pelayanan publik. Pemkab juga wajib melaksanakan konstruksi semua sarana dan prasarana serta bility payment