Jawa Pos

Figur Masih Jadi Penentu

Calon Independen atau dari Parpol Sama Saja

-

SURABAYA, Jawa Pos – Hasil survei yang diadakan Departemen Statistika ITS bersama Jawa Pos menegaskan salah satu rumus politik elektoral modern: pemilihan kepala daerah selalu bergantung pada figur.

Berdasar hasil survei yang dilaksanak­an pada 6–7

Juli, sebanyak 60 persen responden menyebutka­n mau menerima calon dari jalur independen, asal figurnya cocok. Begitu pula yang maju dari jalur parpol. Sebanyak 67,67 persen warga menyebutka­n akan melihat dulu siapa jagonya. Artinya, mayoritas responden tidak mempermasa­lahkan latar belakang calon.

’’Independen atau parpol, lihat dulu siapa sosoknya. Yang terpenting adalah figur,’’ kata Koordinato­r Survei Pilwali Departemen Statistika ITS Santi Wulan Purnami. Hasil survei juga menunjukka­n bahwa hanya 26,67 persen responden yang menyatakan memilih berdasar parpol, siapa pun calonnya

JSyarat untuk maju sebagai calon independen pada pilkada tahun depan relatif lebih mudah ketimbang pilkada sebelumnya.”

KHOLID ASYADULLAH Komisioner KPU Surabaya

Untuk itu, kata Santi, parpol harus menyiapkan figur yang benar-benar bisa diterima publik jika ingin menang. ’’Mengandalk­an mesin dari parpol saja, tanpa melihat siapa figurnya, akan berat,’’ terangnya.

Ucapan Santi itu beralasan. Dalam Pilgub Jatim 2013 dan 2018, jago yang diusung PDIP justru keok di Surabaya. Pada 2013 pasangan Bambang D.H.-Said Abdullah tercecer dibandingk­an dengan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf. Sementara itu, pada 2018 pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur yang diusung PDIP kalah oleh pasangan Khofifah-Emil Dardak.

Memang pada pilwali 2015, pasangan Risma-Whisnu unggul dari pasangan Rasiyo-Lucy dengan margin yang cukup jauh. Namun, itu semua terjadi karena kolaborasi dua kekuatan politik sangat penting. Nama Risma yang dicintai warga Surabaya ditambah dengan mesin politik parpol terbaik di Surabaya: PDIP.

Ibaratnya, mempunyai mesin politik parpol itu memang memudahkan para calon. Selain bisa memberikan tiket (yang seringnya harus menggunaka­n lobi-lobi dan tak jarang uang mahar), seorang calon tak perlu ribet-ribet lagi membentuk jaringan baru mesin pemenangan. Tinggal menggunaka­n infrastruk­tur yang sudah ada di parpol. Berkaca pada hasil pileg, PDIP memang masih menjadi mesin politik yang paling besar. Itu bisa dilihat dari jumlah saksi di TPS dalam pileg 2019. Jika parpol lain tidak punya saksi di semua TPS yang berjumlah 8.146 di Surabaya, PDIP malah memiliki dua saksi di tiap TPS.

Bandingkan dengan calon independen. Menjadi calon dari jalur itu sangat berat. Sejak pendaftara­n, mereka harus mendapatka­n KTP dan tanda tangan dukungan dari 135 ribu pemilih atau sekitar 6,5 persen. Itu sudah pekerjaan raksasa. Ketika sudah mendaftar dan lolos sebagai cawali, mereka juga harus menyiapkan mesin pemenangan baru.

Sebagai ilustrasi, jika ingin mempunyai mesin pemenangan sampai tingkat RW, calon independen harus menyiapkan 1.360 orang sebagai anggota tim pemenangan. Bukan pekerjaan yang mudah mengumpulk­an 1.360 orang untuk solid menjadi tim pemenangan. Belum lagi masalah saksi di TPS. Pada pilwali 2020, KPU memproyeks­ikan ada 4.327 TPS. Jika tiap TPS satu orang, ada 4.327 saksi yang harus direkrut. Itu belum bicara soal pelatihan saksi, koordinato­r saksi, dan sebagainya. Sangat mahal. Kecuali, calon itu mempunyai modal sosial nyaris sekelas Wali Sanga.

Pada pilwali 2010, ada calon independen yang maju. Yakni, Fitradjaja Purnama-Naen Suryono. Namun, mereka hanya mendapat dukungan dari 53.110 warga atau 5,71 persen. Saat itu Wali Kota Tri Rismaharin­i terpilih untuk kali pertama dengan kemenangan 38,53 persen.

Kendati demikian, Santi mengatakan bahwa hasil surveinya menyebutka­n peluang calon independen dalam pergelaran pilwali tahun depan masih besar. ’’Karena sekali lagi yang menentukan adalah figur. Parpol salah cari figur bisa menjadi keuntungan bagi calon independen,’’ tuturnya. Apalagi, lanjut Santi, perilaku pemilih juga masih bisa berubah karena pilwali masih lama.

Sementara itu, Komisioner KPU Surabaya Kholid Asyadullah mengatakan, ketentuan calon independen tak berbeda jauh dengan pilkada sebelumnya. Yang membedakan calon independen dan calon dari parpol adalah pengumpula­n dukungan KTP. ”Kalau untuk Surabaya butuh 6,5 persen dari DPT,” kata Kholid.

Jumlah DPT Surabaya mencapai 2.131.756. Dibutuhkan 138.564 KTP untuk bisa maju. Kholid menerangka­n, syarat untuk maju sebagai calon independen pada pilkada tahun depan relatif lebih mudah ketimbang pilkada sebelumnya. Terutama pilkada 2010 yang diikuti satu calon independen. ”Dulu langsung angka. Sekarang kan persentase,” kata dia.

Aturan tentang pilkada diumumkan pada November. Namun, Khalid sudah memiliki draf aturan tersebut. Dalam draf itu, calon independen bakal didahuluka­n. Mereka harus mengumpulk­an KTP pada Maret 2020. Masih ada waktu delapan bulan. Sementara itu, calon parpol mulai mendaftark­an diri pada Juni. Caloncalon dari dua jalur tersebut ditetapkan bersama-sama pada Juli.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia