Jawa Pos

Merawat Politik Otentik

- Oleh LISTIYONO SANTOSO

Pengajar ilmu etika dan filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universita­s Airlangga

SYAHDAN, di polis Yunani Kuno pada paro abad ke-6 SM, menyeruakl­ah Sokrates. Sosok yang, seperti digambarka­n dalam Apologia-nya Plato, berani dan kritis terhadap tirani kuasa politik sekaligus loyal kepada negara.

Negara harus selalu dikritik. Sebab, di dalamnya bersembuny­i kepentinga­n warga negara. Namun, nalar kritis dibangun bukan untuk sekadar berbeda

Melainkan memberikan koridor bagaimana kekuasaan dalam negara itu harus dijalankan.

Sokrates setidaknya menjadi gambaran warga sipil yang dewasa dalam berpolitik. Cara berpolitik Sokrates adalah cara berpolitik otentik yang jauh dari politik kepura-puraan.

Kritik yang dibangun bukanlah dalam rangka bernegosia­si dengan kekuasaan. Melainkan ada substansi kepentinga­n publik yang diperjuang­kan. Kritik yang dilancarka­n tidaklah untuk kepentinga­n sendiri atau golongan, tapi untuk publik yang lebih luas, termasuk demi kepentinga­n negara.

Dalam buku berjudul Platon, sebagaiman­a diterjemah­kan A. Setyowibow­o (2011), Sokrates menolak memainkan unsur penting dalam demokrasi formal yang disebut sebagai ”politik pencitraan”. Alias berpolitik melalui tindakan kepura-puraan. Bersikap berani dan kritis sekadar demi kepentinga­n elektoral belaka.

Mencermati situasi kekinian, sekian dekade realitas berpolitik kita tidak lebih dari dominasi perebutan kekuasaan private yang direpresen­tasikan seolaholah sebagai kepentinga­n publik. Seolah ada kepentinga­n publik yang tengah diperjuang­kan, tetapi ternyata muaranya tidak lebih dari kepentinga­n pribadi dan elektoral belaka.

Tidak heran jika aktor-aktor perebutan kuasa selalu berisi orang itu-itu saja dan partai itu-itu saja. Dari yang dahulu kawan menjadi lawan, begitu sebaliknya. Yang semula ”serius” berkeingin­an menjadi liyan dari kuasa politik, tiba-tiba melakukan kompromi agar menjadi bagian di dalamnya.

Berpolitik yang sebenarnya berkaitan dengan urusan publik secara tidak disadari menjadi urusan privat. Kuasa antarorang per orang. Atau, bagi-bagi kuasa antarparta­i politik.

Spekulasi bagi-bagi kuota kekuasaan tidak terelakkan dalam membaca langgam politik saat ini. Nalar politik ini jelas mencederai otentisita­s politik. Politik itu sejatinya suatu sikap yang penuh dengan keyakinan ideologis memperjuan­gkan kepentinga­n publik yang lebih utama daripada sekadar ketundukan pada dominasi receh kekuasaan dan fasilitas di dalamnya.

Politik otentik menginisia­sikan bahwa dalam politik ada kepentinga­n lain yang lebih utama daripada sekadar keinginan untuk survival. Apalagi hanya bagi-bagi kuota kekuasaan.

Logika politik adalah logika publik. Di dalamnya ada hajat hidup banyak orang yang sedang dipertaruh­kan. Sebagai ranah publik, berpolitik harusnya dijauhkan dari hasrat pada keinginan penguasaan material semata, apalagi hasrat pribadi.

Namun, saat ini, langgam politik kita tidak pernah serius membedakan kepentinga­n publik dan kepentinga­n pribadi itu. Kekuasaan yang bersifat publik selalu diseret menjadi urusan yang bersifat privat.

Setelah sekian lama narasi kertebelah­an sikap politik mendominas­i ruang berpolitik warga, kini kita dihadapkan pada berbagai spekulasi dari adanya ”kompromi” politik untuk mengakhiri polarisasi tersebut. Bahwa narasi kebencian dalam polarisasi politik memang tetap harus diakhiri. Selain tidak mendewasak­an, juga tidak menyehatka­n kultur berpolitik kita. Namun, mengakhiri­nya dengan berbagi kuota kekuasaan tetaplah bukan solusi terbaik.

Harus tetap ada yang mampu memainkan diri sebagai kekuatan yang vis a vis kekuasaan. Kekuasaan tetap harus diawasi dan dikritik karena setiap kekuasaan tidak pernah mampu steril dari berbagai tindak penyelewen­gan.

Keberanian melakukan kritik terhadap kekuasaan secara sungguh-sungguh adalah cerminan otentisita­s berpolitik, bahwa ada kepentinga­n hajat hidup orang banyak yang sedang diperjuang­kan melalui politik.

Bahwa di balik kekuasaan negara, di dalamnya ada kepentinga­n orang lain yang tetap harus didahuluka­n. Dalam konteks demikian, kekuatan penyeimban­g dari kekuasaan negara harus tetap diberi porsi di dalamnya. Tanpa ada penyeimban­g, kekuasaan akan cenderung menjadi dominan dan tiranik.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia