BBPJN Berharap Bantuan Pemkot
Terkait Anggaran Pembebasan Tanah di Jalan Osowilangun
Di setiap jembatan, terdapat permukiman padat penduduk.
Pembebasan sulit terealisasi karena warga meminta ganti rugi Rp 30 juta per meter persegi.
Perlu campur tangan pemkot untuk mempercepat pembebasan jalur ekonomi dan penghubung Surabaya–Gresik itu.
SURABAYA, Jawa Pos – Pengendara di Jalan Osowilangun–Kalianak tidak hanya mengeluhkan jalan yang rusak dan bergelombang. Juga ada enam titik penyempitan jalan yang mengakibatkan kemacetan. Salah satu yang paling parah berada di Jembatan Branjangan.
Selama ini pembebasan lahan selalu terganjal anggaran. Balai Besar Pengelolaan Jalan Nasional (BBPJN) VIII tak memiliki dana yang cukup untuk membeli tanah warga. Di sisi lain, pengajuan alokasi anggaran di APBN sering ditolak karena lebih banyak dialihkan ke daerah lain yang dianggap membutuhkan penanganan
J
Kepala Bappeko Surabaya Eri Cahyadi menyarankan BBPJN untuk bersurat ke pemkot. Dengan begitu, pemkot bisa membantu BBPJN untuk memperlebar jalan nasional tersebut. ”Tapi, langsung ke wali kota karena ini persoalan besar,” kata alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu.
Kepala Bidang Perencanaan dan Pemantauan BBPJN VIII Surabaya Agung Hari Prabowo menyambut baik sikap pemkot tersebut. Untuk itu, pihaknya bakal segera menjalankan saran dari kepala bappeko tersebut. ’’Jika diperlukan surat lagi dari Balai 8 (BBPJN VIII, Red), akan disiapkan,’’ ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa sebagian lahan sudah dibebasakan. Kerja sama dengan pemkot juga dilakukan sejak 2007. Bahkan, pemprov turut membantu. Namun, hingga kini, memang masih ada sisa lahan yang belum bisa dibeli.
Dalam rencana kerja BBPJN, jalur penghubung pelabuhan tersebut sejatinya bakal dilebarkan hingga 25 meter. Namun, kondisi jalan saat ini belum sampai selebar itu. Dari total panjang 11,4 kilometer, masih terdapat 4,8 kilometer jalan yang lebarnya di bawah 10 meter. Bahkan, ada yang selebar 8 meter.
Seluruh penyempitan jalan tersebut berada di sekitar jembatan yang kanan kirinya dihuni permukiman padat. Mulai Jembatan Gadukan di sisi tumur hingga Jembatan Romokalisari di sisi barat.
Estimasi harga pembebasan lahan tersebut Rp 9 juta per meter persegi. Itu akumulasi dari harga tanah Rp 5 juta per meter persegi. Sementara itu, harga bangunan Rp 4 juta per meter persegi.
Namun, warga menganggap angka tersebut terlalu kecil. Mereka merasa rumah mereka berada di jalur perdagangan dan jasa. Harga itu dianggap terlalu kecil. Mereka sudah sepakat agar pembebasan tanah dihargai Rp 30 juta per meter persegi.
Anggota Komisi C DPRD Surabaya Muchammad Machmud menilai selama sepuluh tahun terakhir tak ada pembangunan yang terasa di jalur tersebut. Namun, lalu lintas kendaraan semakin padat. Depo kontainer terlihat di sepanjang jalan. Kegiatan bongkar muat kapal di sana juga bertambah padat seiring beroperasinya Terminal Teluk Lamong milik Pelindo III. ”Kalau dibilang urgent, ya sangat urgent ini.” ungkap pria yang tinggal di Surabaya Barat itu.
Arus kendaraan di Jembatan Branjangan sering terputus. Warga Benowo, Kandangan, Manukan, dan sekitarnya pun bakal terkena imbasnya. Mengapa bisa begitu? Padahal, jarak Jembatan Branjangan sangat jauh dengan tiga wilayah itu.
Machmud menjelaskan, jika arus di Branjangan terputus, satusatunya jalan yang bisa ditempuh pengendara adalah jalan tol. Namun, yang tidak bisa masuk ke tol harus memutar ke Jalan Raya Benowo hingga pertigaan Margomulyo. ”Kalau sudah begitu, saya yang di Manukan tak bisa keluar rumah,” kata mantan ketua DPRD Surabaya tersebut. Machmud meminta BBPJN segera bersurat ke pemkot. Sebab, sebentar lagi DPRD bakal membahas APBD 2020. Jika muncul kesepakatan sebelum APBD digedok, pembebasan jalan bisa dilakukan tahun depan. ”Kalau tahun ini tak mungkin. Pembahasan APBD Perubahan 2019 baru saja tuntas. Enggak bisa diutak-atik,” ujarnya.