Jawa Pos

Digemari Presiden hingga Pembaca yang Balas Dendam

Mengenang Penulis Cerita Silat Legendaris Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo (1)

- WAHYU KOKKANG, Solo-Sragen, Jawa Pos

Di sela kemeriahan ulang tahun republik ini tiap 17 Agustus, tidak banyak yang tahu bahwa tanggal tersebut adalah hari lahir maestro penulis cerita silat. Penulis itu berjasa menumbuhka­n minat baca remaja Indonesia era ’70-an hingga ’80-an. Tak lain adalah Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo.

ANDA mengenal nama-nama seperti Soeharto, B.J. Habibie, Gus Dur, Sultan Hamengkubu­wono IX, Mahfud MD, Emha Ainun Nadjib, atau Tri Rismaharin­i? Mereka adalah tokoh besar dari latar belakang dan profesi berbeda. Tapi ada satu hal yang membuat mereka sama. Apa itu? Mereka adalah penggemar cerita silat

(cersil) karya Kho Ping Hoo.

Gaya tulisannya yang menarik, diselingi alur cerita dan konflik yang seru serta memantik imajinasi pembaca, membuat penggemar ceritanya penasaran untuk terus melanjutka­n ke jilid atau juduljudul berikutnya. Penggemar cersilnya beragam

Dari masyarakat biasa hingga pejabat dan tokoh-tokoh penting yang disebutkan tadi.

Budi Santoso, petani tembakau di Temanggung, mengungkap­kan kenanganny­a saat masih SMP di tahun ’70-an. Saat itu ada belasan teman di kelompokny­a. Dari belasan itu, dia dan dua anak lagi terbiasa membaca cersil Kho Ping Hoo.

”Kami sering ngobrol tentang kisah seru di cersil itu dan memperagak­an gerakanger­akan silatnya. Teman yang lain penasaran dan kemudian satu per satu ikut membaca. Akhirnya, kami semua menjadi pembaca setia Kho Ping Hoo hingga dewasa,” kenangnya.

Sementara itu, Supradaka, dosen sebuah perguruan tinggi di Jakarta, tertarik karena cersil Kho Ping Hoo menyajikan konflik antartokoh dengan menarik dan kadang mengejutka­n. ”Saya selalu dibuat penasaran oleh ceritanya dan tambahan ilustrasi di cersil ini benar-benar membangun imajinasi saya,” jelas pengagum kisah Pendekar Bongkok, salah satu judul dari seri Bu Kek Siansu, karya masterpiec­e Kho Ping Hoo.

Lain lagi pengakuan Hari Hardono. Pemerhati komik kelahiran Semarang itu lebih menyukai karya Kho Ping Hoo yang berlatar silat Indonesia. Judul favoritnya adalah Badai Laut Selatan. ”Bahasanya runtut dan enak dibaca. Apalagi, ada bumbu erotis yang dikemas dengan manis,” ujar lelaki penggemar paku payung (pines) itu.

Kho Ping Hoo lahir di Sragen pada 17 Agustus 1926. Anak ke-2 dari 12 bersaudara pasangan Kho Kiem Poo dan Sri Welas Asih itu hidup penuh keprihatin­an. Sejak belia, Kho Ping Hoo terbiasa kerja serabutan dan upahnya diserahkan kepada sang ibu yang berprofesi sebagai pedagang di pasar. Dia sangat menyayangi ibunya. Dari sang ibulah dia mengenal banyak pelajaran dan petuahpetu­ah tentang kehidupan. Ibunya pandai bercerita dan merangkai kalimat-kalimat bijak yang mudah dipahami anak-anaknya.

Kemampuan bercerita itulah yang kelak menurun kepada Kho Ping Hoo sehingga lihai menuliskan cerita-cerita yang menarik dalam setiap karyanya. Sedangkan dari sang ayah, dia mencontoh kebiasaan membaca buku, terutama buku-buku filsafat yang menjadi kegemarann­ya. Pendidikan formalnya hanya sampai kelas 1 di HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Kepiawaian menulisnya terasah secara otodidak.

Kho Ping Hoo mengawali karir menulisnya tahun 1956, saat tinggal di Tasikmalay­a. Awalnya, dia menulis cerpen roman percintaan di majalah Selecta, Pancawarna, Star Weekly, dan lain-lain. Bersama beberapa penulis di kota itu, dia mendirikan majalah Teratai sebagai wadah bagi komunitas penulis. Untuk mendorong penjualan Teratai, mereka punya ide memuat cerita-cerita silat yang waktu itu diminati masyarakat.

Kho Ping Hoo lalu menghubung­i Oey Kim Tiang, seorang penulis dan penerjemah cerita silat Mandarin yang terkenal saat itu, untuk menyumbang­kan karyanya ke Teratai. Namun, permintaan tersebut ditolak. Penolakan Oey Kim Tiang itulah yang membuat Kho Ping Hoo memberanik­an diri untuk mencoba menulis sendiri cerita silat, bukan menerjemah­kan seperti Oey Kim Tiang. Sebab, dia memang tidak bisa membaca huruf Mandarin.

Sejak saat itu Kho Ping Hoo rutin menulis cerita silat Mandarin. Judul cersil pertamanya adalah Pedang Pusaka Naga Putih (Pekliong Po-kiam). Di tahun-tahun selanjutny­a, cersil karyanya terus mengalir deras dan makin digemari pembaca. Selain cersilnya dimuat di majalah, Kho Ping Hoo juga menerbitka­n sendiri karya-karyanya lewat penerbit Jelita yang didirikann­ya serta mengedarka­nnya sendiri ke toko-toko buku dan persewaan komik yang pada masa itu menjamur di berbagai daerah.

Pecahnya kerusuhan berbau rasial pada tahun 1963 membuat Kho Ping Hoo sekeluarga pindah ke Solo. Menurut Lina Setyowati (Kho Djoen Lien), adik bungsunya di Sragen, kakaknya sangat sedih saat peristiwa itu terjadi.

”Saya nggak masalah rumah dan harta benda saya dibakar, tapi saya sangat sedih karya-karya saya ikut musnah,” kenang Lina, menirukan ucapan Koh Ping, begitu dia biasa memanggil sang kakak.

Menurut Lina, Koh Ping adalah pribadi yang sangat mengayomi dan melindungi seluruh keluarga. Koh Ping juga menanggung pendidikan adik-adiknya, memberi modal usaha, bahkan membelikan tanah dan rumah untuk sang ibunda.

”Koh Ping ibarat beringin bagi kami. Dia jadi pelindung dan panutan. Dia juga menjadi penengah dan pendamai jika adik-adiknya ada masalah keluarga,” ungkap Lina.

Setelah menetap di Mertokusum­an, Solo, pada1964, Kho Ping Hoo mendirikan CV Gema, percetakan dan penerbit karya-karyanya selanjutny­a. Dalam catatan CV Gema, Kho Ping Hoo sudah menulis 133 judul cersil, baik judul lepas maupun serial. Terdiri atas 110 judul cerita silat Mandarin dan 23 judul cerita silat berlatar budaya Indonesia. Tiaptiap judul terdiri atas puluhan jilid. Yang terbanyak adalah Jodoh Rajawali, 62 jilid.

Data itu belum mencakup karya-karya awal saat Kho Ping Hoo masih berada di Tasikmalay­a. Sepeningga­l Kho Ping Hoo, CV Gema dipimpin Bunawan Sastraguna, sang menantu, dibantu anak-anak Kho Ping Hoo yang lain hingga sekarang. Bunawan mengembang­kan CV Gema dengan mencetak ulang karya-karya Kho Ping Hoo yang hingga kini masih sangat banyak penggemarn­ya. Seri Bu Kek Siansu adalah yang paling banyak dicetak ulang. Dan, dari 17 judul di seri itu, Pendekar Super Sakti merupakan judul yang paling laris. ”Kami tidak ingat lagi sudah berapa kali cetak ulang,” terang Bunawan.

Pembeli cersil Kho Ping Hoo tersebar bahkan hingga mancanegar­a. Tercatat, ada pembeli dari Amerika, Belanda, Australia, Arab Saudi, dan Taiwan. Ada juga pembeli yang memborong dalam jumlah besar semua judul, baik untuk koleksi pribadi maupun perpustaka­an.

”Ada lagi jenis ’pembaca balas dendam,’ yakni mereka yang saat remaja dulu sering dimarahi orang tuanya lantaran lebih suka baca komik daripada belajar dan kini, saat mereka sudah sukses dan kaya, mereka borong semua judul karya Kho Ping Hoo untuk dibaca sesuai urutan serialnya,” imbuh Bunawan.

 ?? DOK. KELUARGA ?? PENDEKAR SUPERSAKTI: Kho Ping Hoo (kiri). Bunawan Sastraguna, sang menantu yang memimpin CV Gema, menunjukka­n karya terlaris Kho Ping Hoo saat ditemui di Solo.
DOK. KELUARGA PENDEKAR SUPERSAKTI: Kho Ping Hoo (kiri). Bunawan Sastraguna, sang menantu yang memimpin CV Gema, menunjukka­n karya terlaris Kho Ping Hoo saat ditemui di Solo.
 ?? WAHYU KOKKANG/JAWA POS ??
WAHYU KOKKANG/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia