Masyarakat Sipil Serukan Penolakan
MESKI fraksi-fraksi di DPR mendukung, sejumlah pihak di luar parlemen menyuarakan penolakan pemunculan kembali GBHN. Sebab, GBHN akan berimplikasi luas terhadap sistem demokrasi Indonesia. Implikasi itu cenderung mundur, bukan progresif sebagaimana yang diinginkan masyarakat.
Koalisi masyarakat sipil dari beberapa lembaga kemarin angkat bicara soal wacana kembalinya GBHN. Dalam diskusi di kantor Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) itu, seluruhnya sepakat menolak GBHN. Koalisi masyarakat sipil menyebut ada kepentingan tertentu di balik wacana dimunculkannya GBHN.
Kepentingan yang dimaksud adalah momen Pemilu 2024 setelah Presiden Joko Widodo tidak lagi bisa mencalonkan diri. ’’Kalau memakai sistem yang sekarang tidak cukup kuat untuk mendorong kader mereka (menjadi presiden),’’ jelas Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi.
Pemberlakuan GBHN akan berimplikasi pada amandemen UUD 1945 dan menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Jika itu terjadi, ada potensi implikasi lainnya, yakni mengembalikan sistem pemilihan presiden oleh MPR. Sebab, dulu salah satu fungsi MPR adalah memilih presiden dan wakil presiden.
Sementara itu, Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu Kaka Suminta mengungkapkan, dalam konteks demokrasi, kembalinya GBHN merupakan pertanda bahwa parpol lelah dalam berpemilu. Padahal, Indonesia baru saja mengimplementasikan pasal 22E dan 6A UUD 1945. ’’Kami baru saja uji coba, tetapi harus ganti mesin dan malah mundur,’’ tuturnya.
Untuk saat ini, wacana harus dilawan dengan wacana pula. Publik harus lebih aware dengan mulai membuat mosi atau pernyataan penolakan kepada DPR dan MPR. ’’Kami bikin penolakan secara tertulis,’’ tutur peneliti Formappi Djadiono. Kembalinya GBHN dan amandemen UUD 1945 tidak seharusnya dilakukan, kecuali jika sifatnya progresif. Sebagaimana amandemen pertama, kedua, ketiga, dan keempat.