Jangan Ada Rangkap Jabatan di Kabinet
JAKARTA, Jawa Pos – Keinginan Presiden Joko Widodo mengangkat sejumlah menteri baru di Kabinet Indonesia Kerja Jilid II wajib memperhatikan sejumlah aturan. Salah satu di antaranya, ketentuan mengenai rangkap jabatan. Bila diangkat menjadi menteri, seseorang harus melepas jabatan yang diemban di lembaga negara atau organisasi lainnya.
Aturan mengenai hal itu tegas disebut dalam UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam pasal 23, ada tiga jenis jabatan yang tidak boleh dirangkap menteri. Yakni, pejabat negara, pejabat perusahaan negara atau swasta, dan pejabat atau pimpinan organisasi yang dibiayai APBN. Termasuk di dalam jenis organisasi tersebut adalah partai politik. Sebab, parpol mendapatkan kucuran dana APBN berupa dana banpol.
Problem rangkap jabatan di partai politik sempat mencuat setelah reshuffle kabinet terhadap Khofifah Indar Parawansa yang maju sebagai cagub Jatim. Saat itu Presiden Joko Widodo memilih mempertahankan Airlangga Hartarto sebagai menteri perindustrian. Padahal, saat itu Airlangga resmi menjadi Ketum Partai Golkar menggantikan Setya Novanto.
’’Tinggal satu tahun saja,’’’ ujar Jokowi kala itu. Bila Airlangga diganti, akan sulit dicari sosok pengganti untuk jabatan yang pendek, kurang dari setahun. Belum lagi, menteri tersebut harus menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja dan tugas-tugasnya yang tentu membutuhkan waktu.
Pejabat negara yang berpotensi diangkat sebagai menteri adalah kepala daerah. Jokowi sudah menyampaikan bahwa dirinya akan mengambil menteri dari salah seorang kepala daerah. UU tersebut juga berlaku terhadap dia. ’’Akan mundur nanti (dari jabatan kepala daerah) ketika yang bersangkutan dilantik,’’ terang Plt Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik saat dimintai konfirmasi kemarin (16/8).
Tentunya, dalam hal ini, sang kepala daerah boleh memilih. Bila bersedia menjadi menteri, dia wajib mundur dari jabatan kepala daerah. Bila tidak bersedia, tentunya tidak terjadi apa-apa dengan posisinya.
Setelah dilantik sebagai menteri, sang kepala daerah akan mengirimkan surat pengunduran diri kepada DPRD. Dalam hal ini, DPRD bukan dalam posisi menyetujui atau menolak. ’’Salah satu pimpinan DPRD hanya mengumumkan pengunduran diri itu di sidang paripurna,’’ tuturnya. Setelah itu, DPRD mengusulkan pemberhentian yang bersangkutan kepada Mendagri.
Ketentuan yang sama juga berlaku bagi menteri yang sedang menjabat direksi atau komisaris perusahaan. Baik BUMN, BUMD, maupun swasta. Jabatan di perusahaan tersebut harus ditinggalkan. Tujuannya, saat menjadi menteri, dia bisa fokus bekerja.