Amandemen Terbatas UUD 1945 Disepakati
Munculkan GBHN, Antarkan MPR ke Posisi Lembaga Tertinggi Negara
JAKARTA, Jawa Pos – Seluruh fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyepakati dilakukannya amandemen terbatas terhadap UUD 1945. Fokusnya adalah menghidupkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai landasan bernegara. Namun, rekomendasi tentang pelaksanaan amandemen akan dibebankan kepada MPR periode 2019–2024.
Ketua MPR Zulkifli Hasan mengungkapkan, rekomendasi itu bakal disahkan dalam sidang terakhir MPR pada 27 September. Dengan menghidupkan GBHN, MPR akan berubah menjadi lembaga tertinggi negara. Sebab, hanya MPR yang bisa menyusun dan mengesahkan GBHN.
Di sisi lain, menghidupkan kembali GBHN menimbulkan kekhawatiran karena fokus kekuasaan bisa bergeser ke MPR. ”Amandemen terbatas hanya untuk haluan negara. Perlu konsultasi dengan presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara,” ucap Zulkifli setelah memimpin sidang tahunan MPR di kompleks parlemen, Jakarta, kemarin (16/8).
Dia menyebutkan, usul tersebut bukan sesuatu yang baru saja muncul. Wacana amandemen setidaknya muncul sejak periode 2004–2009. Namun, baru MPR periode ini yang menyepakati usul itu. Rekomendasi selanjutnya akan diteruskan MPR periode 2019–2024. Dia berharap pembahasan tidak sampai berjalan lama. ’’Bukunya sedang disusun. Saya kira ini akan diteruskan oleh MPR berikutnya,” papar Zulkifli.
Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani menambahkan, rapat antarfraksi sudah digelar. Hasilnya, semua setuju untuk amandemen terbatas. Tujuannya adalah memastikan kesinambungan pada arah kebijakan pembangunan dari satu periode ke periode pemerintahan yang lain. ’’Visi-misi besar yang ingin kita capai juga tidak terputus,” kata Ahmad Muzani.
MPR, lanjut dia, memang khawatir amandemen UUD 1945 bisa melebar ke mana-mana. Kuncinya, pimpinan parpol harus memiliki komitmen bersama yang kuat. Bahwa anggota fraksi MPR hanya fokus pada amandemen terbatas terkait GBHN. ”Kalau membongkar pasal seenaknya sangat bahaya. Tujuan awal kita untuk menyusun GBHN bisa tidak tercapai,” imbuh Sekjen Partai Gerindra itu.
PKS juga welcome dengan usul tersebut. Sekjen PKS Mustafa Kamal menyatakan, gagasan tentang GBHN memang bisa diterima. Saat ini, kata dia, Indonesia membutuhkan landasan bernegara yang kuat dan berkesinambungan. Tidak terpaku pada arah kebijakan presiden per periode selama lima tahun.
Menurut dia, rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) yang dirancang presiden dan wakil presiden terlalu pendek. Kebijakan pun akan bongkar pasang seiring dengan pergantian rezim. Nah, GBHN diperlukan sebagai landasan bernegara yang berkesinambungan. ”Prinsipnya kami terbuka untuk menerima gagasan ini,” kata Mustafa Kamal.
Ribut-ribut tentang amandemen terbatas UUD 1945 awalnya menggema dalam Kongres V PDIP barubaru ini. Kongres PDIP di Bali itu memang menelurkan sejumlah rekomendasi. Salah satunya amandemen terbatas UUD 1945. PDIP ingin menghidupkan kembali GBHN dengan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, Indonesia membutuhkan haluan bernegara jangka panjang. Alasannya, jalannya pembangunan tidak berjalan sporadis. Haluan tersebut harus diikuti seluruh lembaga negara. Termasuk presiden dan lembaga negara lainnya.
Terkait Presiden Jokowi yang memberikan penolakan, Hasto menjelaskan bahwa yang ditolak hanya sistem pemilihan presiden tidak langsung. Menurut dia, amandemen terbatas tidak mencakup masalah itu. Amandemen dilakukan hanya untuk memberikan haluan bernegara berubah ke GBHN. ”Presiden tetap dipilih secara langsung oleh rakyat. Sistem itu tidak diutakatik. Ini menguatkan legitimasi seorang presiden,” ucap Hasto.