Beri Insentif Perpajakan untuk Perkuat SDM
JAKARTA, Jawa Pos – Kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi fokus pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tahun depan. Dengan kualitas SDM yang baik, produk atau output usaha yang dihasilkan juga diharapkan jauh lebih baik. Berbagai peluang dapat ditarik agar pertumbuhan ekonomi meningkat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, ekspor ke depan berpotensi membaik meski terbatas
Kita senang dengan pemberian insentif ini. Tentunya akan berdampak baik buat industri.”
ROSAN ROESLANI Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia
Sektor yang menghasilkan devisa seperti pariwisata akan menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi ke depan. Selain itu, ekspor produk manufaktur masih potensial seiring upaya peningkatan kualitas daya saing dalam negeri. Sementara itu, impor juga berpotensi meningkat, sejalan dengan prospek pertumbuhan ekonomi domestik yang membaik.
Pemerintah akan memberikan sejumlah insentif bagi pelaku usaha. ”Hal baru di RAPBN 2020 yaitu adanya insentif perpajakan untuk meningkatkan SDM dan daya saing,” katanya. Pemerintah akan meluncurkan tiga jenis insentif perpajakan baru yang bisa dimanfaatkan pelaku usaha. Yakni, super deductible tax untuk kegiatan vokasi dan litbang (penelitian dan pengembangan). Insentif fiskal itu akan diberikan kepada industri yang terlibat dalam program pendidikan vokasi serta litbang untuk menghasilkan inovasi. Lalu, mini tax holiday untuk investasi di bawah Rp 500 miliar dan investment allowance untuk industri padat karya.
Pemerintah juga akan terus melakukan penguatan fiskal untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan, baik jangka pendek maupun panjang. Pihaknya masih optimistis capaian target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen (rentang 5,2–5,5 persen) masih realistis. Meski, itu sangat bergantung pada sumber pertumbuhan domestik lantaran pertumbuhan ekonomi global tahun depan masih melemah. ”Baik dari sisi pertumbuhan ekonomi global maupun perdagangan internasional, semuanya diproyeksikan lebih lemah dari 2018 dan 2019. Kita harus mewaspadai risiko itu dalam asumsi RAPBN,” papar Ani, sapaan akrabnya. Hal tersebut memang menjadi tantangan bagi ekonomi Indonesia. Apalagi, lembaga internasional seperti World Bank dan International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan hanya 5,2 persen. ”Ini tantangan kita untuk menjaga komponen pertumbuhan ekonomi, baik konsumsi, investasi, maupun ekspor yang sedang mengalami tekanan pada 2019,” urainya.
Meski demikian, masih ada optimisme dari arus modal masuk yang terus meningkat, yakni mencapai Rp 189,116 triliun. Lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami apresiasi hingga Juli 2019. ”Laju inflasi stabil, nanti nilai tukar Rp 14.400 dan masih align dengan faktor pendukungnya,” imbuhnya. Konsumsi rumah tangga diperkirakan tetap tumbuh stabil. Sedangkan pengeluaran konsumsi LNPRT (lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga) diperkirakan lebih rendah dari 2019. Selain itu, investasi diperkirakan membaik sejalan dengan perbaikan iklim investasi dan pendalaman sektor keuangan.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani menambahkan, peluang ekonomi digital ke depan kian besar. Itu terlihat dari banyaknya investasi yang masuk ke sektor tersebut. Selain itu, industri manufaktur akan bergairah. Sebab, pemerintah telah memberikan berbagai insentif fiskal untuk mendorong investasi SDM. Insentif fiskal juga diberikan kepada industri yang berorientasi ekspor. ”Kita senang dengan pemberian insentif ini. Tentunya akan berdampak baik buat industri,” ujarnya.
Sektor lain yang mengandalkan kreativitas SDM juga berpotensi menggeliat. Misalnya, pariwisata yang berpotensi mengangkat produk warga setempat. Usahausaha travel pun akan tumbuh. ”Pariwisata ini ada jasa wisata, dokumentasi, kerajinan, itu kita bisa dorong. Kita juga sudah ada KUR (kredit usaha rakyat) khusus pariwisata. Nah, itu bisa dimanfaatkan,” ujar Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution.
Namun, selain potensi, tentu masih ada tantangan yang harus dihadapi Indonesia ke depan. Misalnya, dari sisi perbankan. Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiaatmadja mengakui bahwa tantangan ekonomi tahun depan cukup berat. Khususnya dari segi pendanaan. Karena itu, pihaknya akan menyiasati dengan tidak lagi mengandalkan sektor bisnis tertentu, melainkan langsung pada perusahaan-perusahaan perseorangan. ”Pendanaan memang agak berat, risiko nggak besar kalau tidak terlalu agresif. Tapi, prinsipnya, jangan terlalu lihat sektor, tapi per individual company sampai karakter masingmasing owner,” urainya.
Peneliti Indef M. Rizal Taufikurahman menuturkan, asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3 persen sejatinya tidak beranjak dari target tahun ini. Artinya, perekonomian nasional tahun depan tidak akan jauh lebih baik dari tahun ini. Kemudian, target pertumbuhan ekonomi tersebut mengandalkan konsumsi dan investasi sebagai motor penggerak utama. Hal tersebut cukup sulit tercapai. ”Karena kedua indikator tersebut, triwulan II tahun ini, belum memberikan sinyal yang sesuai harapan. Misalnya, target investasi belum memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan II. Termasuk daya beli yang perlu digenjot lagi, agar konsumsi masyarakat semakin meningkat,” urainya.
Peneliti Indef Abdul Manap Pulungan menambahkan, cukup sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen. Sebab, selama semester I periode 2015 hingga 2019 ini, ekonomi domestik hanya mampu tumbuh tertinggi di angka 5,27 persen yoy. ”Sebagai negara berkembang, kita harus tumbuh tinggi agar tidak terjebak pada middle income trap. Jika tidak mampu, perbaikilah struktur pertumbuhan,” jelasnya.