Jawa Pos

Harus Ada Blueprint

- Oleh INDRA CHARISMIAJ­I

DALAM pidato nota keuangan di gedung DPR, Presiden Joko Widodo menyinggun­g soal pembanguna­n kualitas manusia. Salah satunya pembanguna­n di bidang pendidikan. Namun, sepertinya, presiden lupa bahwa ada hal penting yang harus ditekankan

Perlu diingat bahwa Indonesia belum memiliki blueprint sumber daya manusia (SDM).

Blueprint ini saya ibaratkan sebagai rancangan rumah dari bentuk gambar. Bisa untuk mengetahui apa saja yang harus dipenuhi. Termasuk biayanya. Dengan adanya blueprint, kita punya panduan untuk mengetahui rencana dan kemampuan awal. Blueprint ini harus segera dibuat. Singapura saja yang luas daerahnya kecil sudah punya

blueprint SDM. Ini akan menjadi panduan bagi dinas pendidikan untuk menyelengg­arakan pendidikan. Kalau mau ada inovasi yang lebih hebat dari dinas pendidikan, tidak apa-apa. Namun, setidaknya standar minimal dan capaiannya sama. Setidaknya anggaran pendidikan yang diberikan ke daerah tidak akan sia-sia. Dengan adanya blueprint, akan ketahuan ke mana larinya dana pendidikan. Hasilnya pun akan terlihat. Pusat akan lebih mudah untuk memantau.

Saya contohkan hasil tidak adanya blueprint. Ditjen Guru dan Tenaga Kependidik­an (GTK) memiliki anggaran Rp 900 miliar. Anggaran itu nantinya diserahkan ke seluruh musyawarah guru mata pelajaran (MGMP). Katanya untuk pelatihan. Namun, saya melihat akan ada kesulitan pertanggun­gjawabanny­a. Bukan soal pertanggun­gjawaban uangnya, melainkan hasil yang dicapai.

Selain itu, soal pendidikan vokasi yang seperti euforia. Tiap-tiap kementeria­n menyelengg­arakan pendidikan vokasi. Namun, karena tidak ada blueprint, terlihat pendidikan vokasi hanya seperti retorika. Saya contohkan, Kemenaker punya program balai latihan kerja (BLK) untuk 1,5 juta lulusan SMK. Apakah ini artinya lulusan SMK diberi training ulang? Lalu, Kemenkomin­fo membuat SMK coding. Kalau memang punya Kemenkomin­fo lebih bagus, yang dimiliki Kemendikbu­d dihapus saja. Tumpang-tindih ini membuang-buang anggaran. Seharusnya anggaran tersebut bisa digunakan untuk yang lain. Misalnya menciptaka­n demand. Menciptaka­n lapangan kerja baru.

Selama ini, saat bicara vokasi, yang jadi fokus hanya supply. Tidak bicara demand. Artinya, hanya menyiapkan keterampil­an, tapi tidak diciptakan lapangan kerjanya. Padahal, perlu diingat bahwa ada 1,5 juta lulusan SMK. Sedangkan jumlah lulusan S-1 mencapai 1,1 juta orang.

Bank Dunia menyebutka­n bahwa Indonesia bisa membuat 1,8 juta lapangan pekerjaan setiap tahun. Jika melihat jumlah lulusan, setiap tahun setidaknya ada 800 ribu penganggur­an baru. Ini seharusnya menjadi sorotan. Bagaimana agar peluang kerja meningkat. Mau dilakukan training apa pun, kalau pekerjaann­ya hanya 1,8 juta, pasti ada yang

nganggur. Padahal, dana dari program yang tumpang-tindih itu bisa dialihkan untuk mengurangi penganggur­an. Dana tersebut bisa dijadikan pinjaman atau hibah usaha. Misalnya, diminta untuk membuat aplikasi yang layak jual, jadi anak didorong menjadi digipreneu­r.

Semoga ke depan Presiden Joko Widodo mau menginisia­tori pembentuka­n blueprint tersebut. Ini langkah jangka pendek yang harus dilakukan. Lalu, ditunjuk satu kementeria­n yang menjadi

leading sector. Tidak harus Kementeria­n Pendidikan dan Kebudayaan.

Disarikan dari wawancara dengan wartawan Jawa Pos

Ferlynda Putri

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia