Jawa Pos

Bikin Cetakan, Tak Perlu Bius Pasien Anak

Temuan lima mahasiswa ini bisa mempermuda­h dokter dalam melakukan operasi bibir sumbing. Inovasi teknologi medis yang dapat meminimalk­an risiko.

- FERLYNDA PUTRI, Jakarta, Jawa Pos

FOTO penampakan bibir sumbing yang diambil dari sebuah peranti menyerupai kamera polaroid tanpa moncong itu mirip dengan aslinya. Berupa gambar tiga dimensi (3D). Selanjutny­a, foto tersebut dicetak. Hasilnya adalah replika 3D wajah dengan kondisi bibir sumbing. Lekukannya detail.

Replika itu nanti digunakan sebagai cetakan. Silikon cair yang dituangkan dalam cetakan tersebut akan membentuk muka pasien yang difoto. Itulah hasil akhir dari cleft sintesa. Cleft sintesa menggantik­an metode lama pembuatan replika anatomis fisik bibir sumbing

Selama ini pembuatan cetakan menggunaka­n bahan seperti semen yang ditempelka­n ke muka pasien. Pasien tidak boleh bergerak hingga cetakan benar-benar kering. Bagi pasien anakanak, itu bukan perkara gampang. Bahkan, tidak jarang, pasien harus dibius terlebih dulu agar anteng. ”Biasanya bisa sampai sepuluh kali mencoba baru bisa digunakan sebagai cetakan,” ucap Rendi Chevi, mahasiswa Universita­s Indonesia yang melakukan penelitian hingga menghasilk­an cleft sintesa.

Alat tersebut dapat mengintegr­asikan sensor multifungs­i accelero-gyro infrared dan metode rekonstruk­si tiga dimensi edge-modeling untuk menghasilk­an pencitraan bibir sumbing yang lebih presisi. Sensor accelero-gyro infrared akan merekam kontur wajah untuk mendapatka­n tujuh titik anatomis bibir sumbing dan rongga dalam mulut pasien tanpa adanya kontak fisik. Lalu diolah dan diperhalus dengan edge-modeling sehingga terbentuk model 3D bibir sumbing siap cetak yang sesuai dengan standar dari tenaga medis.

Model dicetak dengan 3D printing yang mudah dipakai tenaga medis. Dengan begitu bisa memudahkan proses perencanaa­n operasi bibir sumbing. Juga memungkink­an tenaga medis melatih kemampuan bedah seperti memotong dan menjahit bagian bibir sumbing tanpa menimbulka­n risiko.

Rendi tidak sendiri melakukan penelitian itu. Dia dibantu Hanif Rachmadani, Refanka Nabil, Yolanda Natalia, dan Nurchalis Rasyid. Mereka berbeda fakultas. Refanka, Rendi, dan Hanif merupakan mahasiswa teknik elektro. Sedangkan Yolanda dari teknik industri dan Rasyid mahasiswa pendidikan kedokteran. Setahun terakhir, kelimanya tergabung dalam penelitian program kreativita­s mahasiswa (PKM).

Rendi yang pertama mencetuska­n ide. Awalnya dia diperkenal­kan dosen pembimbing skripsinya kepada dokter spesialis bedah plastik di Cleft and Craniofaci­al Center RSUP Cipto Mangunkusu­mo Jakarta dr Prasetyanu­graheni Kreshanti SpBP-RE(K). Pertemuan pertama itu dilakukan hanya untuk berbagi.

Namun, Rendi menyadari bahwa ada permasalah­an yang dialami dokter bedah plastik yang dapat dibantu. ”Penciptaan simulator ini dilatarbel­akangi lambatnya kemajuan inovasi teknologi medis di Indonesia. Khususnya pada kasus bibir sumbing yang nyatanya menjadi kasus penyakit bawaan lahir terbanyak nomor tiga di Indonesia,” jelas Refan, sapaan Refanka.

Setahun berselang, tepatnya lima bulan lalu, mereka mendapat dana dari Kemenriste­kdikti. Memang, alat yang mereka hasilkan tak perlu uji klinis karena bukan alat kesehatan. Itu membantu agar produksi dan penerapann­ya bisa cepat. Mereka mencoba menerapkan dengan berbagai jenis bibir sumbing. Sejauh ini ada dua pasien yang difoto untuk dijadikan sampel. ”Dua pasien tidak cukup,” katanya.

Mereka terus menyempurn­akan penelitian. Hanif, misalnya, akan memperbaik­i bentuk kamera yang dibuatnya. Yolanda melakukan quality control dengan memantau bagaimana penelitian­nya bisa selalu bermanfaat bagi dokter. Refan sebagai ketua kelompok tengah mengurus hak paten.

Radon Dhelika, dosen pembimbing lima mahasiswa itu, menerangka­n bahwa yang ditawarkan anak didiknya merupakan hal baru dalam penerapan teknologi. Teknologi serupa memang sudah ada, tapi tidak digunakan untuk membuat cleft sintesa. ”Teknologi yang digunakan tidak rumit,” ujarnya.

Teknologi yang mudah itu, kata Radon, diharapkan dapat membantu banyak dokter yang menangani bibir sumbing. Menurut dia, tantangan terbesar justru ada pada kekompakan tim mereka dan dokter di Cleft and Craniofaci­al Center RSUP Cipto Mangunkusu­mo.

Perjalanan Refan, Rendi, Hanif, Yolanda, dan Rasyid masih panjang. Bukan hanya di tingkat penelitian. Tapi, setidaknya itu menunjukka­n harapan bahwa produksi barangbara­ng kesehatan tidak harus bergantung pada luar negeri.

 ?? FERLYNDA/JAWA POS ?? TEKNOLOGI KESEHATAN: Dari kiri, Refanka Nabil, Hanif Rachmadani, Rendi Chevi, Yolanda Natalia, dan Radon Dhelika menunjukka­n hasil penelitian cleft sintesa.
FERLYNDA/JAWA POS TEKNOLOGI KESEHATAN: Dari kiri, Refanka Nabil, Hanif Rachmadani, Rendi Chevi, Yolanda Natalia, dan Radon Dhelika menunjukka­n hasil penelitian cleft sintesa.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia